Ketika Cinta Bertasbih Oleh : Habiburrahman El Shirazy mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt Bab 1 - 20 DAFTAR ISI 01. Senja Bertasbih di Alexanderia 02. Tekad Berrajut Doa 03. Bidadari dari Daarul Quran 04. Cerita Furqon 05. Meminang 06. Lagu-lagu Cinta 07. SMS untuk Anna 08. Siang di Kampus Maydan Husein 09. Perjalanan ke Sayyeda Zaenab 10. Pengejaran dengan Taksi 11. Rezeki Silaturrahmi 12. Rumus Keberhasilan 13. Tamu Tak Diundang 14. Hari yang Menegangkan 15. Pesona Gadis Aceh 16. Insyaf 17. Pertemuan yang Menggetarkan 18. Airmata Cinta 19. Surat dari Indonesia 20. Bintang yang Bersinar Terang 21. Ratapan Hati 22. Rasa Optimis 23. Periksa Darah 24. Pasrah 25. Langit Seolah Runtuh 26. Kabar Gembira 27. Resep Cinta Ibnu Athaillah 28. Sepucuk Surat di Hari Penghabisan 29. Tangis Sang Pengantin 30. Bunga-bunga Harapan SENJA BERTASBIH DI ALEXANDRIA Di matanya, Kota Alexandria sore itu tampak begitu memesona. Cahaya mataharinya yang kuning keemasan seolah menyepuh atap-atap rumah, gedung-gedung, menara-menara, dan kendaraan-kendaraan yang lalu lalang di jalan. Semburat cahaya kuning yang terpantul dari riak gelombang di pantai menciptakan aura ketenangan dan kedamaian. Di atas pasir pantai yang putih, anak-anak masih asyik bermain kejar-kejaran. Ada juga yang bermain rumahrumahan dari pasir. Di tangan anak-anak itu pasir pasir putih tampak seumpama butir-butir emas yang lembut berkilauan diterpa sinar matahari senja. 5 Di beberapa tempat, di sepanjang pantai, sepasang mudamudi tampak bercengkerama mesra. Di antara mereka masih ada yang membawa buku-buku tebal di tangan. Menandakan mereka baru saja dari kampus dan belum sempat pulang ke rumah. Suasana senja di pantai rupanya lebih menarik bagi mereka daripada suasana senja di rumah. Bercengkerama dengan pujaan hati rupanya lebih mereka pilih daripada bercengkerama dengan keluarga; ayah, ibu, adik dan kakak di rumah. Di mana-mana muda-mudi yang sedang jatuh cinta sama. Senja menjadi waktu istimewa bagi mereka. Waktu untuk bertemu, saling memandang, duduk berdampingan dan bercerita yang indah-indah. Saat itu yang ada dalam hati dan pikiran mereka adalah pesona sang kekasih yang dicinta. Tak terlintas sedikit pun bahwa senja yang indah yang mereka lalui itu akan menjadi saksi sejarah bagi mereka kelak. Ya, kelak ketika masa muda mereka harus dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Pencipta Cinta. Dan jatuh cinta mereka pun harus dipertanggung jawabkan kepada-Nya: Di hadapan pengadilan Dzat Yang Maha Adil, yang tidak ada sedikit pun kezaliman dan ketidakadilan di sana. Di matanya, Kota Alexandria sore itu tampak begitu indah. Ia memandang ke arah pantai. Ombaknya berbuih putih. Bergelombang naik turun. Berkejar kejaran menampakkan keriangan yang sangat menawan. Semilir angin mengalirkan kesejukan. Suara desaunya benarbenar terasa seumpama desau suara zikir alam yang menciptakan suasana tenteram. 6 Dari jendela kamarnya yang terletak di lantai lima Hotel Al Haram, ia menyaksikan sihir itu. Di matanya, Alexandria sore itu telah membuatnya seolah tak lagi berada di dunia. Namun di sebuah alam yang hanya dipenuhi keindahan dan kedamaian saja. Sesungguhnya bukan semata-mata cuaca dan suasana menjelang musim semi yang membuat Alexandria senja itu begitu memesona. Bukan semata-mata sihir matahari senja yang membuat Alexandria begitu menakjubkan. Bukan semata-mata pasir putihnya yang bersih yang membuat Alexandria begitu menawan. Akan tetapi, lebih dari itu, yang membuat segala yang dipandangnya tampak menakjubkan adalah karena musim semi sedang bertandang di hatinya. Matahari kebahagiaan sedang bersinar terang di sana. Bunga bunga kesturi sedang menebar wanginya. Tembang tembang cinta mengalun di dalam hatinya, memperdengarkan irama terindahnya. Dan penyebab itu semua, tak lain dan tak bukan adalah seorang gadis pualam, yang di matanya memiliki kecantikan bunga mawar putih yang sedang merekah. Gadis yang di matanya seumpama permata safir yang paling indah. Gadis itu adalah kilau matahari di musim semi. Sosok yang sedang menjadi buah bibir di kalangan mahasiswa dan masyarakat Indonesia di Mesir. Gadis yang pesonanya dikagumi banyak orang. Dikagumi tidak hanya karena kecantikan fisiknya, tapi juga karena kecerdasan dan prestasi-prestasi yang telah diraihnya. 7 Lebih dari itu, gadis itu adalah putri orang nomor satu bagi masyarakat Indonesia di Mesir. Dialah Eliana Pramesthi Alam. Putri satu-satunya Bapak Duta Besar Republik Indonesia di Mesir. Hampir genap satu tahun gadis itu tinggal di Mesir. Selain untuk menemani kedua orangtuanya, keberadaannya di Negeri Pyramid itu untuk melanjutkan S.2-nya di American University in Cairo (AUC). Belum begitu lama menghirup udara Mesir, gadis yang memiliki suara jernih itu langsung menunjukkan prestasinya. Kontan, ia langsung jadi pusat perhatian. Sebab baru satu bulan di Cairo, tulisan opininya dalam bahasa Inggris sudah dimuat di koran Ahram Gazzette. Opininya menyoroti peran Liga Arab yang mandul dalam memperjuangkan martabat anggota-anggotanya. Liga Arab yang tak punya nyali berhadapan dengan Israel dan sekutunya. Liga Arab yang hanya bisa bersuara, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Tulisannya rapi runtut, berkarakter, tajam dan kuat datanya. Orang dengan pengetahuan memadai, akan menilai tulisannya merupakan perpaduan pandangan seorang jurnalis, sastrawan dan diplomat ulung. Karena opininya itulah ia langsung diminta jadi bintang tamu di Nile TV. Di layar Nile TV ia berdebat dengan Sekjen Liga Arab. Hampir seluruh masyarakat Indonesia di Mesir menyaksikan siaran langsung istimewa itu. Baru kali ini ada anak Indonesia berbicara di sebuah forum yang tidak sembarang orang diundang. Sejak itulah Eliana menjadi bintang yang bersinar di langit cakrawala Mesir, terutama di kalangan mahasiswa Indonesia. 8 Terhitung, gadis yang menyelesaikan S.l-nya di EHESS Prancis itu sudah tiga kali tampil di layar televesi Mesir. Sekali di NileTV. Dua kali di Channel 2. Wajahnya yang tak kalah pesonanya dengan diva pop dari Lebanon, Nawal Zoughbi, dianggap layak tampil di layar kaca. Selain karena ia memang putri seorang duta besar yang cerdas dan fasih berbahasa Inggris dan Prancis. Eliana, Putri Pak Dubes itulah yang membuatnya berada di Alexandria dan tidur di hotel berbintang lima selama satu pekan ini. Meskipun ia sudah berulangkali ke Alexandria, namun keberadaannya di Alexandria kali ini ia rasakan begitu istimewa. Ia tidak bisa mengingkari dirinya adalah manusia biasa, bukan malaikat. Ia tak bisa menafikan dirinya adalah pemuda biasa yang bisa berbunga-bunga karena merasa dekat dan dianggap penting oleh seorang gadis cantik dan terhormat seperti Eliana. Gadis yang membuat matahari kebahagiaan sedang bersinar terang di hatinya. Awalnya adalah Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) yang mengadakan acara "Pekan Promosi Wisata dan Budaya Indonesia di Alexandria". Beberapa acara pagelaran budaya digelar di Auditorium Alexandria University selama satu pekan. Selama itu juga ada promosi masakan dan makanan khas Indonesia. Ada empat makanan yang dipromosikan yaitu Nasi Timlo Solo, Sate Madura, Coto Makassar, dan Empek-empek Palembang. Dan Elianalah yang menjadi penanggung jawab promosi makanan khas Indonesia itu. Sementara ia, dikenal sebagai mahasiswa paling mahir memasak. Dan ia dikontrak KBRI untuk membuka stand Nasi Timlo Solo. Mulanya ia menolak. Sebab, dengan begitu ia harus meninggalkan bisnisnya membuat tempe selama semingu. Ia khawatir langganannya kecewa. Namun 9 Putri Dubes itu terus mendesak dan memohon kesediaannya. Akhirnya ia luluh dan bersedia. Sejak itulah hatinya berbunga-bunga. Sebab sebelum berangkat ke Alexandria ia sering ditelpon Eliana. Dan saat di Alexandria hampir tiap hari Eliana datang ke standnya untuk mengontrol, melihat -lihat, atau hanya sekadar untuk mengajaknya bicara apa saja. "Aku salut Iho ada mahasiswa yang mandiri seperti Mas Insinyur." Puji Eliana. Hatinya tersanjung luar biasa. Bagaimana tidak, gadis jelita itu seolah begitu menghormatinya. Ia dipanggil dengan panggilan "Mas Insinyur", bukan langsung memanggil namanya, atau dengan kata ganti "kamu" atau "Anda". Orang-orang memang biasa memanggilnya "Mas Khairul", karena namanya Khairul Azzam, atau "Mas Insinyur" karena ia memang dikenal sebagai "Insinyur"-nya dunia masak memasak di kalangan mahasiswa Indonesia di Cairo. Entah kenapa, mendengar pujian dari Eliana itu, ia merasakan kebahagiaan dengan nuansa yang sangat lain. Kebahagiaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia tersenyum sendiri. Kedua matanya memandang ke arah pantai. Dua orang muda-mudi Mesir berjalan mesra menyusuri Pantai Cleopatra yang berada tepat di depan hotel. Ia tersenyum sendiri. Entah kenapa tiba-tiba berkelebat pikiran, andai yang berjalan itu adalah dirinya dan Eliana. Alangkah indahnya. Astaghfirullal! la beristighfar. 10 Ia merasa apa yang berkelebat dalam pikirannya itu sudah tidak dianggap benar. Ia mengalihkan pandangannya jauh ke tengah laut Mediterania. Nun jauh di sana ia melihat tiga kapal yang tampak kecil dan hitam. Kapal-kapal itu ada yang sedang menuju Alexandria, ada juga yang sedang meninggalkan Alexandria. Sejak dulu Alexandria memang terkenal sebagai kota pelabuhan yang penting di kawasan Mediterania. Pelabuhan utama Alexandria saat ini ada di kanan dan kiri kawasan Ras El Tin dan kawasan El Anfusi. Dua kawasan itu terletak di semenanjung Alexandria lama. Di ujung semenanjung itu berdiri dua benteng bersejarah Yaitu Benteng Qaitbai dan Benteng El Atta. Dari jendela kamarnya ia bisa melihat Benteng Qaitbai itu di kejauhan. Kedua matanya kembali mengamati tiga kapal yang letaknya berjauhan satu sama lain. Ia edarkan pandangannya ke kiri dan ke kanan. Laut itu terlihat begitu luas dan kapal itu begitu kecil. Padahal di dalam kapal itu mungkin ada ratusan manusia. Ia jadi berpikir, alangkah kecilnya manusia. Dan alangkah Maha Penyayangnya Tuhan yang menjinakkan lautan sedemikian luas supaya tenang dilalui kapal kapal berisi manusia. Padahal, mungkin sekali di antara manusia yang berada di dalam kapal itu terdapat manusia-manusia yang sangat durhaka kepada Tuhan. Toh begitu, Tuhan masih saja menunjukkan kasih sayangNya. Ia jinakkan lautan, yang jika Ia berkehendak, Ia bisa menitahkan ombak untuk menenggelamkan kapal itu dan bahkan meluluhlantakkan seluruh isi Kota Alexandria. Ia teringat firman-Nya yang indah, 11 "Tidakkah engkau memperhatikan bahwa sesungguhya kapal itu berlayar di laut dengan nikmat Allah, agar diperlihatkan- Nya kepadamu sebagian dari tanda-tanda kebesaran-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda kebesaran-Nya bagi setiap orang yang sangat sabar lagi banyak bersyukur." 1 Ia terus memandang ke laut Mediterania. Laut itu telah menjadi saksi sejarah atas terjadinya peristiwa peristiwa besar yang menggetarkan dunia. Perang besar yang berkobar karena memperebutkan cinta Ratu Cleopatra terjadi di laut itu. Pertemuan bersejarah yang diabadikan dalam Al-Quran antara Nabi Musa dan Nabi Khidir, konon, juga terjadi di salah satu pantai laut Mediterania itu. "Laut yang indah, penuh nilai sejarah," lirihnya pada dirinya sendiri. "Akankah aku juga akan mencatatkan sejarahku di pantai laut ini?" Ia berkata begitu karena nanti malam ada jadwal makan malam bersama seluruh staf KBRI di Pantai El Mumtazah. la yakin akan bertemu lagi dengara Eliana disana. Matahari terus berjalan mendekati peraduannya. Sinarnya yang kuning keemasan kini mulai bersulam kemerahan. Ombak datang silih berganti seolah menyapa dan menciumi pasir-pasir pantai yang putih nan bersih. Terasa damai dan indah. Menyaksikan fenomena alam yang dahsyat itu Azzam bertasbih, "Subhanallah. Maha Suci Allah yang telah mencip takan alam seindah ini." 1 OS. Luqman (Luqman) [311]: 31 12 Ya, alam bertasbih dengan keindahannya. Alam bertasbih dengan keteraturannya. Alam bertasbih dengan pesonanya. Segala keindahan, keteraturan dan pesona alam bertasbih, menjelaskan keagungan Sang Penciptanya. Bertasbih, menyucikan Tuhan dari sifat kurang. Keindahan senja sore itu menjelaskan kepada siapa saja yang menyaksikannya bahwa Tuhan yang menciptakan senja yang luar biasa indah adalah Tuhan Yang Maha Kuasa, Yang Maha Sempurna ilmu-Nya. Siang malam, senja, dan pagi bertasbih. Matahari, udara. laut, ombak dan pasir bertasbih. Semua benda yang ada di alam semesta ini bertasbih, menyucikan asma Allah Semua telah tahu bagaimana cara melakukan shalat dan tasbihnya. Dengan sinarnya, matahari bertasbih di peredarannya. Dengan hembusannya udara bertasbih di alirannya. Dengan gelombangnya ombak bertasbih di jalannya. Semua telah tahu bagaimana cara menunjukan tidak ada Tuhan selain Allah Yang Maha Kuasa. Keteraturan alam semesta, langit yang membentang tanpa tiang, pergantian siang dan malam, lautan luas membentang, gunung gunung yang menjulang, awan yang membawa air hujan, air yang menumbuhkan tanam-tanaman, proses penciptaan manusia sembilan bulan di rahim, binatang-binatang yang menjaga ekosistem dan keteraturar-keteraturan lainnya, itu semua menuniukkan bahwa ada Dzat Yang Maha Kuasa dan Maha Sempurna. Dzat yang kekuasaan-Nya tidak ada batasnya. Dzat yang menciptakan itu semua. Dan Dzat itu adalah Tuhan Penguasa alam semesta. Dan jelas Tuhan itu hanya boleh satu adanya. Tak mungkin dua, tiga dan seterusnya. Tak mungkin. 13 Sebab, jika Tuhan itu lebih dari satu pastilah terjadi kerusakan di alam semesta ini. Sebab masing-masing akan merasa paling berkuasa. Masing-masing akan memaksakan keinginan-Nya. Mereka akan berkelahi. Misalnya satu menghendaki matahari terbit dari timur, sementara yang satu menghendaki matahari terbit dari barat. Terjadilah perseteruan. Dan rusaklah alam. Ternyata matahari terbit dari timur dan tenggelam di barat, dengan sangat teraturnya. Matahari tak pernah terlambat terbit. Matahari juga tak pernah bermain main, belari-lari ke sana kemari di langit seperti anak kecil bermain bola atau petak umpet. Ia beredar di jalan yang ditetapkan Tuhan untuknya. Dan selalu tenggelam di ufuk barat tepat pada waktunya. Keteraturan ini menunjukkan, Tuhan Yang Menciptakan alam semesta ini adalah satu. Yaitu ‘Allah Wa Jalla, Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhan yang menciptakan alam semesta ini, yang tak terbatas kekuasaan-Nya itu memang tak mungkin berjumlah lebih dari satu. Sebab seandainya Tuhan lebih dari satu, lalu mereka sepakat menciptakan matahari, misalnya. Maka ada dua kemungkinan di sana. Pertama, Tuhan yang satu menciptakan, sementara Tuhan yang lain berpangku tangan. Tidak berbuat apa-apa. Dengan begitu, bisa berarti bahwa Tuhan yang tidak berbuat apa apa itu tidaklah Tuhan yang berkuasa. Sia-sia saja ia jadi Tuhan. Sebab, pada saat matahari diciptakan ia tidak berperan menciptakannya. Ia menganggur. Sama seperti makhluk yang menganggur. Jadi ia bukan Tuhan dan tidak bisa disebutTuhan. Atau kemungkinan kedua, Tuhan-tuhan itu bekerja sama menciptakan matahari. Matahari diciptakan dengan 14 keroyokan. Jika demikian, jelas jelas mereka bukanlah Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebab mereka lemah. Bagaimana tidak. Untuk menciptakan matahari saja mereka harus bekerja sama. Tidak bisa menciptakan sendiri. Kekuasaan-Nya tidak mutlak. Yang terbatas kekuasaanya berarti lemah dan tidak layak disebut sebagai Tuhan. Jika Tuhan itu lebih dari satu, bisa saja terjadi pembagian tugas. Ada yang bertugas mencipta matahari, ada yang bertugas mencipta bumi, ada yang bertugas mencipta langit dan seterusnya. Jika demikian, mereka bukan Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebab pembagian tugas itu menunjukkan kelemahan, menunjukkan ketidak-mahakuasa- an. Tuhan yang sesungguhnya adalah Tuhan Yang menciptakan dan menguasai seru sekalian alam. Tuhan yang menciptakan alam semesta ini dengan kekuasaan-Nya yang sempurna. Tuhan yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Dan yang memiliki sifat maha sempurna seperti itu hanya ada satu, yaitu Allah Swt. Dialah Tuhan yang sesungguhnya. Sebab tidak ada yang memproklamirkan diri sebagai pencipta alam semesta ini kecuali hanya Allah Swt. "Seandainya pada keduanya (di langit dan di bumi) ada tuhan-tuhan selain Allah, tentu keduanya telah binasa. Maha suci Allah yang memiliki ‘Arsy dari apa yang mereka sifatkan”2 Pemuda bemama Khairul Azzam itu masih menatap ke arah laut. Matahari masih satu jengkal di atas laut. Sebentar lagi matahari itu akan tenggelam. Warna kuning keemasan bersepuh kemerahan yang terpancar 2 QS. Al Anbiyaa’ (Nabi-nabi) [21]: 22 15 dati bola matahari menampilkan pemandangan luar biasa indah. Ia jadi ingat sabda Nabi, ''Sessungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan." "Subhanallah!" Kembali ia bertasbih dalam hati. Ia terus menikmati detik-detik pergantian siang dan malam yang indah itu. Cahaya matahari seperti masuk ke dalam laut yang perlahan menjadi gelap. Siang seolah olah masuk ke dalam perut malam. Matahari hilang tenggelam. Lalu perlahan bulan datang. Subhanallah. Siapakah yang mengatur ini semua? Siapakah yang mampu memasukkan siang ke dalam perut malam? Seketika azan berkumandang menjawab pertanyaan itu dengan suara lantang: Allaahu Akbar! Allaahu Akbar! Allah Maha Besar. Allah Maha Besar. Ya, hanya Allah Yang Maha Besar kekuasaan-Nyalah yang mampu memasukkan siang ke dalam perut malam. Dan memasukkan malam ke dalam perut siang. "Tidakkah engkau memperhatikan, bahwa Allah memasukkan malam ke dalam siang dan memasukan siang ke dalam malam dan Dia menundukkan matahari dan bulan, masing-masing beredar sampai kepada waktu yang ditentukan. Sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." 3 Malam mulai membentangkan jubah hitamnya. Lampulampu jalan berpendaran. Alexandria memperlihatkan sihirnya yang lain. Sihir malamnya yang tak kalah indahnya. Kelap-kelip lampu kota yang mendapat julukan "Sang Pengantin Laut Mediterania" itu bagai tebaran intan berlian. Khairul Azzam menutup gorden jendela 3 QS. Luqman ~Luqman) [31]: 29. 16 kamarnya. Ia bergegas untuk shalat di masjid yang jaraknya tak jauh dari hotel. Saat tangannya menyentuh gagang pintu hendak keluar, telpon di kamarnya berdering. Ia terdiam sesaat. Ia menatap telpon yang sedang berdering itu sesaat dan terus membuka pintu lalu melangkah keluar. “Kalau dia benar-benar perlu, nanti pasti nelpon lagi setelah shalat. Apa tidak tahu ini saatnya shalat," lirihnya menuju lift. Ia membenarkan tindakannya itu dengan berpikir bahwa datangnya azan yang memanggilnya itu lebih dulu dari datangnya dering telpon itu. Dan ia harus mendahulukan yang datang lebih dulu. Ia harus mengutamakan undangan yang datang lebih dulu. Apalagi undangan yang datang lebih dulu itu adalah undangan untuk meraih kebahagiaan akhirat. Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan le bih kekal. 4 *** Saat pulang dari masjid, Azzam bertemu Eliana didepan pintu masuk lobby hotel. Melihat Azzam wajah Eliana tampak riang. "Hei ke mana saja? Aku sudah mencari Mas Khairul ke mana-mana? Sudah dua puluh tujuh kali aku ngebel ke kamar Mas Khairul! Ada hal penting! Ayo kita bicara di lobby saja!" Eliana nerocos tanpa memberi kesempatan menjawab. Gadis berpostur tubuh indah itu berbalut kaos lengan panjang ketat berwarna merah muda dan celana jeans putih ketat. Balutan khas gadis-gadis aristokrat Eropa itu membuatnya tampak langsing, padat, dan 4 QS. Al A’la (Yang Paling tinggi) [871]: 17. 17 berisi. Parfumnya menebarkan aroma bunga-bungaan segar dan sedikit aroma apel. Wajahnya yang putih dengan mata yang bulat jernih memancarkan pesona yang mampu menghangatkan aliran darah setiap pemuda yang menatapnya. Azzam masih berdiri di tempatnya. Entah kenapa begitu ia mencium parfum yang dipakai Putri Pak Dubes itu ia merasakan nafasnya sedikit sesak, jantungnya berdegup lebih kencang, dan ada sesuatu yang tiba-tiba datang begitu saja mengaliri tubuhnya. "Lho kok diam saja, ayo Mas, kita bicarakan di lobby! Ini penting!" Eliana kembali mengajak Azzam masuk ke lobby hotel. Azzam tergagap. Ia mengangguk. Dan mau tidak mau Azzam mengikutinya. Sebab ia berada di Alexandria karena kontrak kerja dengannya. "Mbak Eliana sudah shalat?" tanya Azzam pelan. Ia mencoba menguasai dirinya, yang sesaat sempat oleng. Ia memanggilnya 'Mbak', meskipun ia tahu Eliana lebih muda tiga tahun dari dirinya. Tak lain, hal itu karena rasa hormatnya pada gadis itu sebagai Putri Pak Duta Besar. "Ah shalat itu gampang! Yang penting itu. Ada tugas penting untuk Mas Khairul malam ini. Tugas terakhir. Aku janji!" sahut Eliana nyerocos tanpa rasa dosa karena menggampangkan shalat. “Tu... tugas?" “Ya." "Untuk saya!?" "Ya, untuk siapa lagi kalau bukan untuk Mas Khairul?" 18 "Tugas dari siapa?" "Ya dariku." "Dari Mbak?" "Iya." Azzam menghirup nafas. Detak jantungnya sudah normal. Ia sudah menguasai dirinya sepenuhnya. Dengan mimik serius ia berkata, "Sebentar Mbak, bukankah tugas saya sudah selesai tadi sore Mbak? Dengan berakhirnya acara Pekan Promosi Wisata tadi sore berarti tugas saya kan sudah selesai. Dalam kesepakatan yang kita buat, saya bertugas membuat dan menjaga Nasi Timlo Solo se lama enam hari. Dari jam sepuluh pagi sampai jam empat sore. Menunggu stand enam jam setiap hari. Berarti tugas saya sudah selesai dong. Jika ada tugas lagi ini jelas di luar kesepakatan. Jelas saya tidak bisa menerimanya Mbak, maaf! Apa hubungannya Mbak dengan saya sehingga dengan seenaknya Mbak memberi tugas kepada saya!? Apa saya bawahan Mbak!? Maaf saya tidak bisa Mbak!" Meskipun ia di kalangan mahasiswa Cairo dikenal sebagai penjual tempe, ia tidak mau diperlakukan seenaknya. Ia sangat sensitif terhadap hal-hal yang terasa melecehkan harga diriya. Memberi perintah seenaknya kepadanya adalah bentuk dari penjajahan atas harga dirinya. Azzam adalah orang yang sangat menghargai kemerdekaannya sebagai manusia yang hanya menghamba kepada Allah Swt. 19 Eliana yang pernah sekian tahun tinggal di Prancis agaknya langsung menyadari kekhilafannya. Ia buru buru meralat ucapannya dan meminta maaf. "Maafkan aku Mas Khairul. Mas benar. Sesuai dengan kesepakatan kontrak kita, tugas Mas sudah selesai. Tetapi ini ada masalah penting yang sedang aku hadapi. Dan aku rasa yang bisa membantu adalah Mas. Baiklah, ini di luar kontrak. Ini antara aku dan Mas sebagai sahabat. Ya sebagai sahabat yang harus saling tolong menolong. Saling bantu membantu. "Begini, acara makan malam nanti jam delapan di Pantai El Muntazah. Aku sudah pesan menunya ke Omar Khayyam Restaurant. Masalahnya, dalam acara makan malam nanti secara mengejutkan kita kedatangan Bapak Duta Besar Indonesia untuk Turki yang datang tadi siang. Beliau teman kuliah ayahku di FISIPOL UGM dulu. Ayah ingin menyuguhkan menu istimewa untuknya. Menu yang mengingatkan akan kenangan masa lalu. Menu itu adalah nasi panas dengan lauk ikan bakar dan sambal pedas khas Jogja. Ayah dulu sering makan menu itu bareng beliau di Pantai Parangtritis. Sebelum Maghrib tadi ayah memintaku untuk menyiapkan menu ini. Aku pusing tujuh keliling. Yang jelas aku sudah memerintahkan Pak Ali, sopir KBRI itu untuk mencari ikan yang segar. Ikan apa saja yang penting layak dibakar. Pak Ali membeli enam kilo dan sekarang sudah ada di dalam kulkas di kamamya. Dan aku datang menjumpai Mas untuk minta tolong kepada Mas menyiapkan ikan bakar itu. Mas Insinyur, tolong ya? Please, ya?" Kata Eliana dengan nada memelas. Azzam diam saja. Sesaat lamanya dia diam tidak menjawab apa-apa. 20 "Sungguh Mas, tolong aku ya. Please tolonglah. Aku janji nanti Mas akan aku kasih hadiah spesial. Please tolong aku. Ini masalah kredibilitasku dihadapan ayahku. Kalau ngurusi ikan bakar saja aku tidak bisa, beliau akan susah percaya pada kredibilitasku mengorganisir sesuatu yang lebih penting. Tolong aku, Mas, please. Aku tahu ini waktunya sangat mepet. Tapi aku yakin Mas bisa. Ayolah please ya?" Eliana meminta dengan nada memelas sambil menangkupkan kedua tangannya di depan hidungnya. Gadis itu benar-benar memelas di hadapan Azzam. Melihat wajah memelas di hadapannya Azzam luluh. Sosok yang sangat tersinggung jika harga dirinya direndahkan itu adalah juga sosok yang paling mudah tersentuh hatinya. "Baiklah akan saya bantu sebisa saya. Tapi sebelum membantu Mbak Eliana, saya ingin hak saya atas apa yang sudah saya kerjakan selama enam hari di sini dibayar.” Jawab Azzam tenang. "Sekarang?" "Ya, sekarang." "Apa Mas Khairul tidak percaya padaku?" “Siapa yang tidak percaya? Saya hanya menuntut hak saya.” “Baiklah.” Eliana mengeluarkan dompet dari celana jeannya. Lalu mengeluarkan lembaran dolar pada Azzam. "Ini tiga ratus dollar. Seperti kesepakatan kita satu harinya lima puluh dollar." 21 "Terima kasih." Azzam menerima uang itu sambil tersenyum. "Nanti kuitansinya menyusul ya. Nah, sekarang bisa membantu saya?" "Baiklah, sekarang masalah bantu membantu. Bukan bisnis. Saya ingin murni membantu, jadi saya tidak akan mengharapkan apapun dari Mbak." "Tapi aku tadi sudah bilang akan memberi hadiah spesial." "Itu tak penting. Karena waktunya sudah mepet yang paling penting saat ini adalah mencari bumbu untuk ikan bakar itu dan untuk sambalnya. Bumbu yang masih tersisa dari Nasi Timlo tidak mencukupi. Di tempat saya juga sudah tidak ada lombok satu bijipun." Jawab Azzam. "Kalau begitu sekarang juga kita berangkat mencari apa yang Mas butuhkan. Sebentar aku panggil Pak Ali dulu, ia lebih paham seluk beluk Alexandria." Sahut Eliana bersemangat. Gadis itu langsung menghubungi Pak Ali dengan telpon genggamnya. "Kita diminta ke depan. Kebetulan Pak Ali sudah ada di mobil. Memang tadi saya berpesan akan pergi setelah shalat Maghrib. Ayo kita berangkat!" Kata Eliana usai menelpon. "Sebentar. Apa tidak sebaiknya Mbak shalat Maghrib dulu kalau belum shalat?" “Aduh, shalat lagi, shalat lagi. Shalat itu gampang!" 22 "Lho jangan meremehkan shalat dong Mbak. Kalau bak belum shalat mending Mbak shalat saja. Biar saya dan Pak Ali saja yang belanja." "Tidak, saya harus ikut. Tidak tenang rasanya kalau saya tidak ikut. Tentang shalat yang Mas Khairul ributkan itu tenang saja Mas. Aku memang sedang tidak shalat. Kalau shalat malah dosa. Tahu sendiri kan perempuan ada saat-saat dia tidak boleh shalat. Ayo kita berangkat. Kita harus cepat, waktunya sempit!" "Kalau begitu ayo." Azzam bangkit. Mereka berdua berjalan tergesa ke luar hotel. Tepat di depan pintu hotel Pak Ali telah menunggu dengan mobil BMW hitam. Petugas hotel membukakan pintu mobil. Azzam duduk di depan, di samping Pak Ali dan Eliana duduk di bangku belakang. Eliana memberi instruksi kepada Pak Ali agar membawa ke kedai penjual bumbu secepat mungkm. Pak Ali langsung tancap gas melintas di atas El Ghaish Street menuju ke arah pusat perbelanjaan di kawasan El Manshiya. Azzam menikmati perjalanan itu dengan hati nyaman dan bahagia. Meskipun sebenarnya ia sangat lelah, namun rasa bahagia itu mampu mengatasi rasa lelahnya. Entah kenapa ia merasa malam itu terasa begitu indah. Berjalan di sepanjang jalan utama Kota Alexandria dengan mobil mewah bersama seorang Putri Duta Besar yang pualam. Ia merasa kebahagiaan itu akan sempurna jika mobil BMW itu adalah miliknya, ia sendiri yang mengendarainya dan Eliana duduk di sampingnya sebagai isterinya dengan busana Muslimah yang anggun memesona. 23 "Hayo, Mas Insinyur melamun ya?" Suara Eliana mengagetkan lamunannya. "E ti. . tidak! Saya hanya takjub dengan suasana malam kota ini. Dan saya bertanya kapan bisa memiliki mobil semewah ini, dan mengendarainya bersama isteri di kota ini?" Jawab Azzam sedikit gugup. "Wah impian Mas Insinyur tinggi juga ya? Saya yakin jarang ada orang yang bermimpi seperti Mas. Anak muda Indonesia yang punya impian mengendarai mobil BMW saya rasa tidak banyak. Apalagi yang bermimpi mengendarainya bersama isterinya di kota ini. Jangankan bermimpi seperti itu, BWM saja mungkin ada yang belum tahu apa itu dan ada yang belum pernah lihat bentuknya. Lha bagaimana bisa bermimpi? Bahkan, mungkin di antara anak muda Indonesia, terutama di daerah terbelakang masih ada yang beranggapan bahwa BMW itu merk sepeda, sejenis dengan BMX." Azzam tersenyum mendengar komentar Eliana. Komentar yang baginya terasa memandang rendah anak muda Indonesia. Tapi dulu saat ia masih di Madrasah Aliyah dan mengadakan camping dakwah di ujung tenggara Wonogiri, ia bertemu dengan jenis anak anak remaja dan anak muda yang masih sangat terbelakang cara berpikirnya. Mereka merasa cukup dengan hanya lulus SD saja. Bahkan banyak yang tidak lulus SD. Mereka lebih suka mencari kayu bakar di hutan. Atau menggembalakan kambing di hutan. Mimpi mereka adalah bagaimana dapat kayu bakar yang banyak. Atau kambing mereka cepat beranak pinak. Itulah mimpi anakanak muda yang ada dipedalaman daratan pulau Jawa. Ia bayangkan bagaimana dengan yang berada di tengah hutan Kalimantan dan Papua? Mereka yang berpikiran 24 memakai baju yang layak saja belum. Yang untuk menjamah mereka saja harus menempuh perjalanan yang sangat sulit. Ia langsung membandingkan mereka dengan anak muda seperti Eliana yang sudah selesai kuliah di Prancis di usia yang masih belia. Sudah pernah merasakan tidur di hotel paling mewah di Eropa. Sudah pernah debat dengan Sekjen Liga Arab dengan bahasa Inggris yang fasih. Alangkah jauh bedanya. "Ya, yang kau katakan mungkin ada benarnya. Memang tidak banyak dari mereka yang memiliki impian tinggi." Komentarnya ringan. Dalam hati Azzam menambah, "Apalagi yang bermimpi bisa menyunting Putri Dubes yang sekuler seperti dirimu dan bisa menjadikannya Muslimah yang baik pastilah sangat sangat sedikit jumlahnya." "Karena pemudanya tidak banyak yang punya impian tinggi dan besar itulah, maka Indonesia tidak maju-maju. Kalau yang kau impikan selama ini apa Mas? Bukan yang tadi lho. Yang selama ini kau impikan." Tanya Eliana. "Kira-kira apa, coba, kau bisa tebak tidak?" Sahut Azzam. "Mm... mungkin mendirikan pesantren." “Salah.” “Terus apa?" Jadi orang paling kaya di pulau Jawa he he he..." "Wow...gila! It's great dream, man! Tak kuduga Mas Khairul punya impian segede itu. Impian yang aku sendiri pun tidak menjangkaunya. Gila! Boleh... Boleh! Kali ini aku boleh salut pada Mas Khairul." 25 BMW itu terus melaju dengan tenang dan elegan. Beberapa menit kemudian mobil itu berhenti di depan kedai penjual bumbu-bumbu di El Hurriya Street. Dengan cepat dan cermat Azzam membeli bumbu. Azzam tidak lupa mengajak ke kedai penjual sayurmayur. "Untung saya ingat, ikan bakar itu harus ada lalapannya." Kata Azzam pada Eliana. Ia bergegas masuk ke kedai penjual sayur mayur dan membeli ketimun, kubis, dan tomat untuk dibuat lalapan. Setelah itu mereka meluncur kembali ke hotel dengan perasaan lega. Dan yang paling lega tentu saja Eliana. Jika bahan baku telah didapat, bumbu telah didapat, dan koki yang akan menggarap bisa diandalkan, apakah tidak layak baginya untuk merasa lega. Dalam perialanan ke hotel, Pak Ali memilih menelusuri El Hurriya Street. Terus ke arah timur laut. Mereka melewati Konsulat Amerika Serikat. Terus melaju tenang. Sampai di kawasan Ibrahimiya sebelum Sporting Club belok kiri. Lalu belok kanan melaju di El Amir Ibrahim Street. Dari dalam mobil, Azzam melihat trem listrik yang penuh penumpang. Kereta itu melaju ke arah El Manshiya. Gadis-gadis Mesir tampak berdiri di dalam trem. Tangan kanan mereka menggenggam erat pegangan seperti gelang, sedangkan tangan kiri mereka memegang buku. “Sepertinya gadis-gadis itu baru pulang dari kampus ya." Eliana kembali membuka suara. Eliana seperti tahu apa yang diperhatikan Azzam. "Iya." Pelan Azzam. 26 “Gadis Mesir itu cantik-cantik ya. Langsing langsing." "Iya." "Tapi saya lihat kalau sudah jadi ibu-ibu kok gemuk gemuk sekali ya?" “Iya. Setahu saya memang adat di Mesir itu seorang suami malu kalau isterinya tidak gemuk. Malu dianggap tidak bisa memberi makan dan tidak bisa mensejahterakan isterinya." "Aneh. Apa sejahtera itu berarti harus gemuk?" "Tidak juga. Ada juga kan orang merana, orang stres malah gemuk. Tapi masyarakat Mesir modern agaknya sudah mulai meninggalkan adat itu. Kita juga mudah menemui ibu-ibu Mesir yang tetap langsing." “Ngomong-ngomong apa Mas Insinyur punya impian menikah dengan gadis Mesir?" "Menikah dengan gadis Mesir?" Spontan Azzam mengulang pertanyaan Eliana. "Iya. Pernah terbersit dalam hati?” "Pernah." "Punya kenalan gadis Mesir?" “Punya." “Cantik?” 27 “Pasti.” "Wow. Tak kusangka. Mas Insinyur ternyata benarbenar pemuda berselera tinggi. Eh Mas, jujur ya, kalau gadis seperti diriku ini menurut Mas cantik tidak?" Muka Azzam memerah mendengar pertanyaan itu. Seandainya ada cahaya yang terang pasti perubahan wajahnya akan tampak. Namun keadaan malam itu menutupi perubahan wajahnya. Ia sama sekali tidak menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu. Tiba tiba rasa tinggi hatinya muncul. Ia tidak mau mengakui begitu saja kecantikan Putri Duta Besar itu. Ia tidak mau menyanjungnya sebagaimana orang-orang banyak menyanjungnya. "Kok diam Mas? Bagaimana Mas, orang seperti aku ini menurut Mas cantik tidak?" Eliana kembali mengulang pertanyaannya. "Bilang aja cantik! Gitu aja kok mikir!" Sahut Pak, Ali sambil terus berkonsentrasi menjalankan mobil ke arah El Ghaish Street. Sebentar lagi mereka sampai. | “Jangan dipengaruhi Pak. Biar dia jujur menilainya. Cantik tidak?" Tanya Eliana ketiga kalinya. “Tidak! " Jawab Azzam sambil tersenyum. Azzam lalu memandang bulan purnama yang bersinar terang di atas laut. Purnama itu seolah tersenyum dan bertasbih bersama bintang-bintang dan angin malam. Azzam tak mau tahu apa perasaan Eliana saat itu, yang penting ia merasa menang. 28 "Ah. Kau tidak jujur itu Mas! Ayo jujur sajalah!" Protes Pak Ali dengan suara agak keras. Azzam hanya tersenyum. Dan diam. Cukup dengan diam ia sudah menang. Dan Eliana pun diam. Ia belum menemukan kata-kata yang tepat untuk bicara. Maka ia memilih diam. Sesaat lamanya Azzam dan Eliana saling diam. Mobil terus bergerak ke depan. Tak terasa mereka sudah sampai di halaman Hotel El Haram. 29 2 TEKAD BERAJUT DOA Acara makan malam itu berlangsung di sebuah taman yang terletak di garis Pantai El Muntazah. Sebuah pantai yang terkenal keindahannya di Alexandria. Azzam sama sekali tidak bisa menikmati acara itu, sebab ia sibuk mempersiapkan ikan bakar permintaan khusus Bapak Duta Besar, ayah Eliana. Azzam yang ingin istirahat di malam terakhir merasa tidak bisa istirahat. Ia yang sedikit ingin merasakan nuansa romantis di El Muntazah yang sangat terkenal itu sama sekali tidak bisa merasakannya. Azzam membakar semua ikan yang dibeli Pak Ali. Ia meracik bumbu sedetil mungkin. Ia minta Pak Ali membantunya mengipasi arang agar terjaga baranya, sementara ia membuat sambalnya. Akhirya ia bisa menghidangkan ikan bakar keinginan itu ke hadapan dua 30 orang Duta Besar, yaitu ayah Eliana, Duta Besar Indonesia untuk Mesir dan kawannya Duta Besar Indonesia untuk Turki. Dua Duta Besar itu duduk di tempat terpisah dari staf KBRI yang lain. Mereka memang ingin bernostalgia berdua saja. Di hadapan mereka ada satu nampan berisi nasi panas yang masih mengepulkan asap. Nampan berisi ikan bakar. Dua piring kecil berisi sambal. Dua piring agak besar berisi lalapan. Lalu dua mangkok berisi air untuk cuci tangan. Dan dua piring besar yang masih kosong. Azzam mempersilakan keduanya untuk menikmati hidangan itu. "Terima kasih Mas ya." Kata Pak Alam, ayah Eliana pada Azzam. Azzam tersenyum dan mengangguk dengan ramah sambil sekali lagi mempersilakan untuk menyantap. Ia lalu minta diri. "Hidangan ikan bakar ini untuk mengingatkan masamasa kita belajar di Jogja dulu. Meskipun kita ada di Alexandria, tapi ini saya siapkan ikan bakar seperti yang kita rasakan di Parangtritis dulu." Kata Pak Alam. "Wah sungguh tidak rugi aku berkunjung ke Mesir menjenguk teman lama. Sungguh, aku merasa sangat terhormat menerima surprise ini." Sahut Pak Juneidi dengan senyum mengembang. "Ayo langsung saja Pak Jun. Mencium baunya sudah tidak sabar rasanya perut ini. Ayo kita pulu'an pakai tangan saja rasanya lebih nikmat." Kata Pak Alam sambil mengambil satu piring yang kosong dan mengisinya dengan nasi. Lalu ia mencuci tangan kanannya ke dalam mangkok berisi air dan jeruk nipis. 31 “Ya benar Pak Alam. Pulu'an dengan tangan memang lebih nikmat." Tukas Pak Juneidi seraya melakukan hal yang sama. Dua Duta Besar itu langsung asyik bernostalgia sambil menikmati ikan bakar buatan Azzam. Dari jauh Azzam melihat dengan mata puas. Ia lalu duduk melihat sekeliling. Di sisi yang lain tak jauh dari dua Duta Besar itu staf KBRI sedang berpesta bersama beberapa orang mahasiswa dan rombongan Penari Saman yang didatangkan dari Aceh. Ia melihat Eliana ada di tengah tengah mereka. Eliana duduk berbincang-bincang dengan seseorang yang sangat ia kenal. Orang yang berbincang dengan Eliana adalah Furqan. Teman satu pesawat saat datang ke Mesir dulu. Ada sedikit bara memercik dalam dadanya, namun ia redam segera. Ia merasa tidak pada tempatnya ia merasa cemburu. Eliana itu siapa? Bukan siapa-siapanya. Melihat Furqan yang selalu dalam posisi begitu terhormat, Azzam tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Bahwa ada rasa iri. Iri ingin seperti dia. Rasa itu begitu halus masuk ke dalam hatinya. Dulu ia dan Furqan satu pesawat. Lalu selama satu tahun satu rumah. Tahun pertama di Mesir ia naik tingkat dengan nilai lebih baik dari anak konglomerat Jakarta itu. Bahkan Furqan sering bertanya padanya tentang kosa kata bahasa Arab yang musykil saat membaca diktat. Tapi kini, teman lamanya sudah hampir selesai S.2-nya di Cairo University. Dan ia sendiri S.1 saja masih juga belum lulus-lulus, apalagi S.2. Furqan lebih dikenal sebagai intelektual muda yang sering diminta menjadi nara sumber di pelbagai kelompok kajian, sedangkan dirinya lebih dikenal sebagai penjual tempe, pembuat bakso dan tukang masak serba bisa, namun tidak juga lulus ujian. 32 Azzam menghela nafas panjang. Ia lalu berdiri mencaricari Pak Ali. Ia menengok ke kanan dan ke kiri mengedarkan pandangannya ke segala arah. Namun tak juga ia temukan Pak Ali. Ia sendirian. Hendak bergabung dengan staf KBRI itu rasanya canggung. Mereka sudah memulai acara dua puluh menit yang lalu. Ia memutuskan untuk menikmati kesendiriannya itu. Untung ia tadi sempat mengambil sepiring nasi dan satu ikan untuk dicicipi. Dan sambil duduk Azzam mulai menyantap ikan bakar itu. Perutnya sudah sangat lapar. Ia makan dengan lahap sendirian, sambil menatap bulan dan bintang bintang. Tiba-tiba ia teringat ibu dan ketiga adiknya di Indonesia. "Mereka pasti sedang tidur nyenyak di sana. Ibu mungkin sedang berdoa dalam shalat malamnya." Lirihnya pada diri sendiri sambil membayangkan wajah ibunya dalam balutan mukena putih dengan mata berkaca-kaca. Ada keharuan yang tiba-tiba menyusup begitu saja ke dalarn dadanya. Kalaulah ia harus jujur, maka impiannya yang paling tulus adalah segera pulang ke Tanah Air bertemu dengan ibu dan adik-adiknya. Tak ada impian yang lebih kuat dalam jiwanya melebihi itu. Namun akal sehatnya selalu menahan agar impiannya itu tidak sampai meledak dan melemahkannya. Adalah wajar bagi seseorang yang sudah bertahun -tahun tidak bertemu keluarganya dan mengharap bertemu keluarganya. Namun jika dengan sedikit kesabaran pertemuan itu akan menjadi lebih bermakna kenapa tidak sedikit bersabar. Ia bisa saja mengusahakan pulang. Tapi kuliahnya belum tuntas dan adik-adiknya masih 33 memerlukan dirinya untuk bekerja keras. Ia tidak ingin menyerah pada kerinduan yang menjadi penghalang kesuksesan. Ia ingin adik-adiknya sukses, dirinya sukses. Semua sukses. Gambaran masa depan jelas. Baru ia akan pulang. "Mas Khairul, pulang yuk!" Suara itu mengagetkannya. Ia menengok ke asal suara. Pak Ali telah berdiri di samping kanannya. "Dari mana saja Pak Ali? Saya cari-cari dari tadi." Sapanya. "Aduh Mas, perutku sakit. Aku habis dari toilet. Yuk kita pulang ke hotel yuk. Kayaknya aku harus segera istirahat nih." "Lha Pak Ali tidak menunggu Pak Dubes. Nanti kalau Pak Dubes mencari bagaimana? Terus kalau saya pulang yang membereskan barang-barang siapa?" “Tenang. Aku sudah tidak ada tugas malam ini. Pak Dubes nanti biar disopiri Pak Amrun. Terus barang barang biar diurus sama Mbak Eliana. Aku sudah bicara dengan Mbak Eliana. Katanya kita pulang tak apa-apa. Apalagi sebagian mereka mau begadang sampai pagi. Termasuk Pak Dubes dan kawannya dari Turki.” “Baik kalau begitu. Saya juga sudah letih. Terus kita pulang pakai apa Pak Ali?" "Gampang. Yang penting sama Pak Ali beres deh. Kita pulang pakai taksi biar aku yang bayar." 34 "Ya sudah kalau begitu. Ayo." Dua orang itu bergegas ke luar ke jalan lalu meluncur ke hotel dengan taksi. Dalam perjalanan ke hotel Azzam lebih banyak diam. Ia hanya bicara jika Pak Ali bertanya. Azzam masih terbayang-bayang oleh wajah ibu dan adikadiknya. "Kalau boleh tahu berapa umurmu Mas Khairul?" "Dua puluh delapan Pak." "Kalau aku perhatikan, gurat wajahmu lebih tua sedikit dari umurmu. Kayaknya kau memikul sebuah beban yang lumayan berat. Aku perhatikan kau lebih banyak bekerja daripada belajar di Mesir ini. Boleh aku tahu tentang hal ini?" "Ah Pak Ali terlalu perhatian pada saya. Saya memang harus bekerja keras Pak. Bagi saya ini bukan beban. Saya tidak merasakannya sebagai beban. Meskipun orang lain mungkin melihatnya sebagai beban. Saya memang harus bekerja untuk menghidupi adik adik saya di Indonesia. Ayah saya wafat saat saya baru satu tahun kuliah di Mesir. Saya punya tiga adik. Semuanya perempuan. Saya tidak ingin pulang dan putus kuliah di tengah jalan. Maka satu-satunya jalan adalah saya harus bekerja keras di sini. Jadi itulah kenapa saya sampai jualan tempe, jualan bakso, dan membuka jasa katering." Pak Ali mengangguk-angguk sambil membetulkan letak kaca matanya mendengar penuturan Azzam. Ada rasa kagum yang hadir begitu saja dalam hatinya. Anak muda yang kelihatannya tidak begitu berprestasi itu 35 sesungguhnya memiliki prestasi yang jarang dimiliki anak muda seusianya. "Aku sama sekali tak menyangka bahwa kau menghidupi adik-adikmu di Indonesia. Aku sangat salut dan hormat padamu Mas. Sungguh. Ketika banyak mahasiswa yang sangat manja dan menggantungkan kiriman orangtua, kau justru sebaliknya. Teruslah bekerja keras Mas. Aku yakin engkau kelak akan meraih kejayaan dan kegemilangan. Teruslah bekerja keras Mas, setahu saya yang membedakan orang yang berhasil dengan yang tidak berhasil adalah kerja keras. Dan nanti kalau kau sudah sukses jagalah kesuksesan itu. Setahu saya, dari membaca biografi orang-orang sukses, ternyata hal paling berat tentang sukses adalah menjaga diri yang telah sukses agar tetap sukses." "Terima kasih Pak Ali. Tapi saya minta Pak Ali tidak menceritakan apa yang barusan saya ceritakan pada Pak Ali kepada orang lain. Saya tidak mau itu jadi konsumsi banyak orang. Biarlah masyarakat Indonesia di Cairo tahunya saya adalah mahasiswa Al Azhar yang tidak lulus-lulus karena lebih senang bisnis tempe, bakso dan katering. Itu bagi saya sudah cukup membuat nyaman. Janji Pak ya?" "Ya, saya janji." Tak terasa taksi sudah sampai di depan hotel. Azzam turun. Pak Ali membayar ongkos taksi lalu menyusul turun. “Perutnya masih sakit Pak?" "Ya. Masih terasa. Aku rasa aku harus segera ke toilet. O ya Mas Khairul, kau langsung ingin istirahat?" 36 "Iya Pak, saya merasa letih banget." “Baiklah. O ya, bagaimana kalau besok habis shalat subuh kita ngobrol-ngobrol sambil jalan-jalan di sepanjang pantai. Semoga saja sakit perutku sudah sembuh." "Wah dengan senang hati Pak." "Kalau begitu nanti kalau kau mau shalat subuh aku dibel ya. Kita subuhan di masjid bersama. Dari masjid kita langsung jalan jalan. Aku akan memberimu cerita yang indah. Kau pasti senang mendengarnya." "Baik Pak. Man Pak, assalamu 'alaikum." Kata Azzam. "Wa'alaikumussalam. Sampai ketemu besok." Jawab Azzam bergegas menuju lift, sementara Pak Ali menuju toilet. Hotel itu masih ramai. Beberapa orang masih asyik ngobrol di lobby hotel. Dua orang lelaki kulit putih tampak sedang serius berbicara dengan orang Arab berjubah putih. Dari caranya memakai kafayeh tampaknya ia orang teluk. Lourantos Restaurant yang terletak tak jauh dari lobby juga ramai dengan pengunjung. Sampai di kamar Azzam langsung merebahkan badannya. Ia tinggal menunggu mata terpejam. Telpon di kamarnya berdering. Ia sangat tidak menginginkan telpon itu. Ia paksakan untuk bangkit dan mengangkatnya. Dari Eliana. “Hei Mas Insinyur, kok sudah pulang sih?" Suara dari gagang telpon. 37 "Iya, diajak Pak Ali yang sakit perut. Saya juga sudah letih.” “Seharusnya kalau mau pulang bilang-bilang dong. Terima kasih ya, ikan bakarnya mantap. Pak Juneidi puas banget. O ya sebetulnya aku mau kasih hadiah spesialnya lho. Tapi Mas Insinyur keburu pulang sih?" "Hadiahnya apa?" "Mau tahu?" “Iya." "Ciuman spesial dariku." “Apa? Ciuman spesial?" "Yes." "Ciuman spesialnya Mbak Eliana itu ciuman yang bagaimana?" "French kiss, ciuman khas Prancis." "Mbak mau menghadiahi aku ciuman khas Prancis? Ah yang benar saja?" "Benar, sungguh! Tapi Mas Khairul keburu pulang sih. Jadi sorry dech ya." "Ah Mbak jangan menggoda orang miskin dong." "Saya tidak menggoda, serius. Saya sungguh sungguh mau memberi Mas Khairul ciuman itu tadi, sayang Mas keburu pulang.” “Alhamdulillah. Untung saya keburu pulang." "Lho kok malah merasa untung." 38 “Iya soalnya jika dapat ciuman khas Prancis dari Mbak, bagi saya bukanlah jadi hadiah, tapi jadi musibah!’ "Jadi musibah?” “Iya.” "Dapat French kiss dariku bagimu jadi musibah!?" "Iya." "Serius!? Nggak bercanda kan!?" "Serius! Sangat serius!" "Bisa dijelaskan kenapa jadi musibah?" "Penjelasannya panjang, besok saja! Yang jelas perlu Mbak ingat baik-baik saya bukan orang bule! Sudah ya, saya harus istirahat. Maaf!" Azzam memutus pembicaraan dan meletakkan gagang telponnya sambil mendesis kesal, "Dasar perempuan didikan Prancis tidak tahu adab kesopanan. Sudah tahu aku ini mahasiswa Al Azhar mau disamakan sama bule saja! Sinting kali!" Telpon di kamarnya berdering lagi. Ia biarkan saja. Tidak ia sentuh sama sekali. Ia yakin itu telpon dari Eliana yang mungkin sedang emosi atau penasaran. Telpon itu berdering-dering sampai mati. Azzam mengambil air wudhu . Membaca doa. Mengecilkan AC . D an siap untuk tidur. TeIpon di kamarnya kembali berdering. Ia sedang membaca Ayat Kursi. Sama sekali ia tidak bergeming dari tempat tidumya. Telpon itu terus berdering sampai akhirnya mati sendiri. Ia tak perlu mengangkatnya, toh jika umur masih panjang besok bisa bertemu dan berbicara panjang lebar kenapa hadiah ciuman itu baginya adalah musibah. 39 Sementara di El Muntazah, Eliana tampak gusar dan geram. Berani-beraninya pemuda itu memutus pembicaraan begitu saja. Dan berani-beraninya ia memandang sebelah mata terhadap dirinya. Pikirnya. Baru kali ini ia tidak dianggap bahkan diremehkan oleh seorang pemuda. Yang membuatnya geram kali ini yang meremehkannya justru orang yang sama sekali tidak diperhitungkannya. "Dasar pemuda kampungan kolot! Pemuda konservatif! Pemuda bahlul bin tolol! Awas nanti ya!" Geramnya. Orang-orang yang memperhatikan tingkah Eliana itu jadi bertanya-tanya. Ada apa dengan Putri Pak Duta Besar itu? Siapa pemuda yang dikatakannya kolot itu? Siapa pemuda yang diumpatnya itu? *** Selesai membaca Ayat Kursi Azzam tidak bisa langsung tidur. Ia merasa ada yang salah hari ini. Yang salah itu adalah rasa tertariknya pada anak Pak Dubes dan harapannya yang tidak-tidak padanya. Setelah sembilan tahun, baru kali ini hatinya tertarik pada seorang gadis. Dulu waktu di pesantren, waktu di Madrasah Aliyah ia pernah merasa suka pada seorang santriwati yang di matanya sangat memesona. Namanya Salwa. Selain Wajahnya yang menurutnya bagai bidadari suaranya sangat merdu. Santriwati dari Pati itu menjuarai MTQ tingkat Jawa Tengah. Namun ia hanya bisa memendam rasa sukanya itu dalam hati. Sebab ia tahu, Salwa sudah dipinang oleh putra sulung Pengasuh Pesantren, Gus Mifdhal. Setelah itu ia tidak mau membuka hatinya lagi. 40 Yang ia heran, entah kenapa ketika mendengar prestasiprestasi Putri Pak Dubes itu hatinya merasakan sesuatu yang lain. Ia mengagumi gadis itu. Dan ketika melihat wajahnya ia semakin kagum. Lalu ketika ia baru sedikit dekat saja sudah merasakan apa yang dulu ia rasakan terhadap Salwa. Ia harus mengakui ia jatuh cinta pada Eliana dan berharap yang tidak-tidak. Ia sendiri heran, kenapa? Padahal ini bukan kali pertama ia bertemu dengan gadis cantik. Ia sering membantu bapak-bapak pejabat KBRI dan sering bertemu dengan anak gadis mereka yang sebenarnya tidak kalah jelitanya. Tapi ia merasa biasa biasa saja. Ia bahkan pernah umrah dan membimbing jamaah dari Jakarta. Di antara jamaah itu ada seorang foto model yang masih kuliah di Jakarta. Namanya Vera. Foto model cantik itu kelihatannya tertarik padanya. Sebab setelah Vera kembali ke Jakarta sering menelpon dirinya dan mengirimnya paket. Namun ia sama sekali tidak tertarik padanya. Kini Vera sudah jadi bintang sinetron. Dan ia juga tidak minta sedikit pun untuk sekadar menyapanya. Ia sama sekali tidak tertarik dengan foto model itu karena gaya hidupnya yang ia anggap tidak sejalan dengan jiwanya. Dan cara berpakaiannya yang menurutnya kurang santun meskipun sudah berulang kali umrah dan naik haji. Dalam hati ia berkata dengan tegas, "Cantik iya. Tapi kalau tidak bisa menjaga aurat, tidak memiliki rasa malu, tidak memakai jilbab, tidak mencintai cara hidup yang agamis, berarti bukan gadis yang aku idamkan!" 41 Standar dia untuk calon isteri minimal adalah Salwa. Dan standar itu tidak pernah ia turunkan. Tapi entah kenapa saat bertemu Eliana yang cara berpakaian dan cara hidupnya, menurutnya, tidak berbeda dengan Vera hatinya bisa luluh. Kenapa ia menurunkan standar yang telah bertahun-tahun ia jaga. Bahwa calon isterinya, minimal adalah perempuan yang berjilbab rapat, bisa membaca Al-Quran dan pernah mengecap kehidupan pesantren. Dan betapa menyesalnya dirinya begitu menurunkan standar ternyata yang ia dapatkan adalah kehinaan. Akal sehatnya menggiringnya untuk kecewa pada Eliana. Kecewa karena ia merasa sudah bisa meraba cara hidup Eliana. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupan Putri Pak Dubes itu saat kuliah di Prancis. Sudah berapa lelaki bule dan tidak bule yang berciuman bibir dengannya. Dan ia ditawari untuk jadi lelaki ke sekian yang berciuman dengannya. Ini jelas bertentangan dengan apa yang ia jaga selama ini. Yaitu kesucian. Kesucian jasad, kesucian jiwa, kesucian hati, kesucian niat, kesucian pikiran, kesucian hidup dan kesucian mati. Entah kenapa tiba-tiba ia merasa berdosa. Ia merasa berdosa dan jijik pada dirinya sendiri yang begitu rapuh, mudah terperdaya oleh tampilan luar yang menipu. Ia jijik pada dirinya sendiri yang ia rasa terlalu cair pada lawan jenis yang belum halal baginya. Ia heran sendiri kenapa jati dirinya seolah pudar saat berhadapan atau berdekatan dengan Eliana. Apakah telah sedemikian lemah imannya sehingga kecantikan jasadi telah sedemikian mudah menyihir dirinya. Ia beristighfar dalam hatinya. Berkali-kali ia meminta ampun pada Dzat yang menguasai hatinya. 42 Azzam meratapi kekhilafannya dan memarahi dirinya sendiri. Dalam hati ia bersumpah akan lebih menjaga diri, dan hal yang menistakan seperti itu tidak boleh terjadi lagi. Ia juga bersumpah untuk segera menemukan orang yang tidak kalah hebatnya dengan Eliana, tapi berjilbab rapat, salehah, bisa berbahasa Arab dan berbahasa Inggeris dengan fasih. Kalau terpaksa gadis itu harus orang Mesir tak apa. Yang jelas rasa terhinanya harus ia sirnakan. Ia harus menemukan kembali kehormatannya sebagai seorang Azzam yang memiliki harga diri. Meskipun masyarakat Indonesia di Mesir mengenalnya hanya sebagai tukang masak atau penjual tempe, tapi harga diri dan kesucian diri tidak boleh diremehkan oleh siapapun juga. Ia yakin akan mendapatkan isteri yang lebih jelita dari Eliana, dan lebih baik darinya. Ia yakin. Itu tekadnya. Ia ulang-ulang tekad itu dalam hatinya. Ia rajut dengan doa. Ia bawa tekad itu ke dalam tidurnya. Ke dalam mimpinya. Dan ke dalam alam bawah sadarnya. 43 3 BIDADARI DARI DAARU QURAN Azzam bangun dua puluh menit sebelum azan Subuh berkumandang. Ia masih punya kesempat an buang hajat dan sikat gigi. Setelah itu ia mengambil air wudhu. Ia teringat belum shalat Witir. Ia sempatkan untuk Witir tiga rakaat. Selesai shalat ia sempatkan untuk nyebutnyebut ibu dan adik-adiknya dalam munajat. Azan Subuh berkumandang. Ia bangkit membuka gorden kamarnya. Jalan utama Kota Alexandria masih lengang. Hanya satu dua mobil yang berjalan. Kabut tipis tampak rata menyelimuti gedung gedung. Kaca jendela sedikit mengembun. Udara di luar berarti dingin. Alexandria memang sedang memasuki peralihan musim. 44 Peralihan dari musim dingin ke musim semi. Sisa-sisa musim dingin masih terasa. Saat Subuh tiba udara masih menyengatkan hawa dinginnya. Dalam kondisi seperti itu melingkarkan tubuh di tempat tidur dengan kehangatan selimut tebal terasa sangat nyaman. Lebih nyaman daripada bangkit menuju masjid. Hayya 'alash shalaah. Hayya 'alash shalaah. Hayya 'alal falaah. Hayya 'alal falaah. Ash shalaatu khairun minan nauum. Ash shataatu khairun minan nauum. Suara azan menggema, memantul dari gedung ke gedung. Menyusup masuk ke rumah-rumah menggugah jiwa jiwa yang lelap. Suara itu nyaring bagaai burung camar, terbang ke tengah laut. Dan mencumbui laut dengan mesra. Shalat itu lebih baik dan tidur. Shalat itu lebih baik dari tidur. Allahu akbar Allahu akbar. Laa ilaaha illallah. Suara suci itu bergerak dengan lembut dan cepat. Menyapa alam. Menyapa pasir-pasir di pantai. Menyapa kerikil-kerikil. Menyapa aspal. Menyapa pohon-pohon 45 kurma. Menyapa embun-embun. Menyapa ombak yang berdesir. Menyapa gelombang yang naik turun. Menyapa kabut yang lembut. Menyapa udara. Menyapa, alam semesta. Menyapa apa saja. Semuanya menjawab. Semuanya shalat. Semuanya menyucikan dan mengagungkan asma Allah. Semuanya bertakbir kecuali yang tetap tidur. Seolah mengiringi takbir alam di pagi itu, bibir Azzam bergetar mengucap takbir menjawab azan. Dengan tenang ia melangkahkan kedua kakinya meninggalkan hotel yang masih lengang. Sampai di masjid ia mendapati Pak Ali yang sedang sujud di shaf depan. Azzam shalat Tahiyatul Masjid. Lalu shalat Qabliyah Subuh. Sambil menunggu imam berdiri di mihrabnya ia mengulangulang doa Nabi Yunus. Doa yang telah menyelamatkan Nabi Yunus dari kegelapan di perut ikan. Doa yang mampu menurunkan kasih sayang Tuhan. Doa yang mampu mendatangkan keajaiban-keajaiban. Doa yang nikmat dilantunkan dan terasa sejuk di hati dan pikiran. Laa ilaaha illa anta. Subhanaka inni kuntu minadzdzaalimiin. Orang-orang Mesir berdatangan. Ada dua puluhan orang. Seorang lelaki separo baya dengan jenggot yang telah memutih sebagian, maju ke depan. Shalat Subuh didirikan. Sang imam membaca surat An Najm. Azzam larut dalam penghayatan. Orang Mesir yang shalat di samping kanannya menangis sesenggukan. Bacaan sang imam memang menyentuh perasaan. Apalagi orang Mesir biasanya paham makna ayat-ayat suci Al-Quran yang dibacakan. 46 Azzam sendiri hanyut dalam keindahan ayat demi ayat yang dibaca sang imam. Hati dan pikirannya terbetot dalam tadabbur yang dalam. Ia merasakan seolah-olah Tuhan yang menurunkan Al-Quran mengabarkan kepadanya bagaimana Rasulullah menerima wahyu yang diturunkan. Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang ia ucapkan itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat. Yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril) itu menampakkan diri dengan rupa yang asli.5 Ia seolah-olah terbetot masuk ke jaman kenabian. Seolaholah ia ikut serta menyaksikan Rasulullah Saw. menerima ayat-ayat suci Al-Quran. Seolah-olah ia mendengar suara Jibril mendiktekan Al-Quran, sampai Rasulullah Saw. hafal tanpa keraguan. Seolah-olah ia mendengar bagaimana Rasulullah Saw. Mengajarkan Al-Quran kepada sahabat sahabatnya yang selalu haus hikmah dan ilmu pengetahuan. 5 QS. An Najm (Bintang) [53]:1-6. 47 Ayat demi ayat dibaca sang irnam. Orang Mesir di samping kanannya terus sesenggukan. Pikiran dan hatinya masih larut dalam tadabbur dan penghayatan. Surat An Najm membuatnya merinding ketika menguraikan untuk apa Islam diturunkan. Demi kebahagiaan manusia dan alam semesta Islam diturunkan. Tuhan menurunkannya dengan segenap cinta dan kasih sayang-Nya. Tak ada sedikit pun Tuhan memiliki keinginan mengambil keuntungan dari makhluk-Nya. Allah yang menggenggam langit dan bumi serta isinya sama sekali tidak membutuhkan makhluk-makhluk-Nya. Justru makhluk-makhluk-Nyalah yang membutuhkan Allah, Tuhan Yang Maha Kaya dan Maha Penyayang. Allah memberi kebebasan seluasluasnya kepada makhluk makhluk-Nya untuk memilih berbuat baik atau kejahatan. Semua ada balasannya masing-masing. Adil. Tak ada kezaliman. Setiap orang mengetam apa yang ia tanam. Dan hanya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi supaya. Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan. Dan memberi balasan keepada orang orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik. 6 *** Sambil menyenandungkan zikir pagi Azzam berjalan di atas pasir yang lembut. Ia berjalan di samping Pak Ali. Hari masih sangat pagi. Pantai Cleopatra masih sepi. Udara berkabut tipis. Desau angin laut yang berhembus 6 QS. An Najm (Bintang) [53]: 31 48 terasa membelai dengan lembut relung-relung jiwa. Kedamaian yang nyaris sempurna. Tiga orang gadis Mesir dengan lari-lari kecil melintasi mereka berdua. Sambil berlari mereka bercanda bahagia. Tubuh mereka tertutup rapat celana training panjang dan kaos lengan panjang. Yang dua menutup kepala dengan jilbab Turki. Sedangkan yang satu membiarkan rambutnya tergerai diterpa angin ke sana kemari. Seorang di antara mereka menengok ke belakang. Sekilas Azzam menatap wajahnya. Putih bersih khas Mesir. Gadis itu langsung menarik wajahnya dan tertawa sambil terus berlari bersama dua temannya. Meskipun cuma melihat sekilas gadis Mesir itu tak kalah memesonanya dibanding Eliana. "Cantik ya Mas?" Suara Pak Ali menyadarkan Azzam bahwa ia tidak sedang berjalan sendirian. "Siapa Pak yang cantik?" Sahut Azzam. "Ya gadis Mesir itu, yang menengok dan menatap kamu." "Kalau gadis Mesir ya jangan ditanya lah Pak. Katanya kalau ada gadis Mesir tiga, maka yang cantik enam." Jawab Azzam santai. "Kok bisa. Tiga orang kok yang cantik enam." "Bayangannya juga cantik." "Wah kau ada-ada saja." "Saya kan cuma bilang katanya tho Pak. Katanya kan bisa benar bisa tidak." 49 "Ngomong-ngomong cantik mana gadis tadi sama anaknya Pak Dubes, Eliana." Azzam terhenyak, tak mengira akan mendapat pertanyaan seperti itu dari Pak Ali. Entah mengapa ia sebenarnya sedang tidak ingin berbicara tentang Eliana. Sudah terlalu sering Eliana dijadikan topik pembicaraan di kalangan mahasiswa, putra maupun putri, juga kalangan masyarakat Indonesia. Baik di dalam KBRI maupun di luar KBRI. Azzam sudah bosan, apalagi jika teringat kejadian tadi malam. Ia sama sekali sudah tidak tertarik dengan Eliana. "Apa tidak ada topik lain Pak, selain Eliana? Pagi-pagi begini sudah membahas Eliana. Eliana lagi, Eliana lagi." Pak Ali tersenyum mendengar jawaban Azzam. "Aku ingin menceritakan hal penting padamu. Untuk kebaikanmu." "Tentang Eliana?" "Bisa dikatakan tentang Eliana bisa juga dikatakan "Mendengar nama Eliana saja saya sudah bosan Pak” "Ah yang benar?" "Benar Pak, sungguh." "Mas, Bapak ini sudah makan asam garam lebih darimu. Bapak tidak bisa kau bohongi. Jujur saja Bapak sungguh memperhatikanmu empat hari ini. Dan Bapak melihat 50 kamu itu sesungguhnya sangat mengagumi Putri Pak Dubes itu. Bahkan bapak berani menyimpulkan kamu itu sebenarnya suka sama dia." "Berarti Bapak salah menganalisis dan salah menyimpulkan!" "Itu tak penting. Yang penting Bapak ingin memberi saran sama kamu. Ini serius, sebaiknya orang seperti kamu jangan jatuh cinta sama sekali pada Eliana, dan orang seperti kamu jangan sekali-kali memimpikan isteri model Eliana. Itu saja! " Seketika Azzam menghentikan langkahnya. Karena ada larangan dalam saran Pak Ali ia menjadi terhenyak penasaran. Seperti Nabi Adam ketika dilarang makan buah Khuldi malah jadi penasaran. Dan begitulah manusia jika mendapat larangan seringkali reaksi yang pertama kali timbul adalah justru penasaran ingin tahu. Ada apa dilarang? Kenapa dilarang? "Memangnya kenapa Pak?" Pak Ali tersenyum mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulutAzzam. "Sudah kuduga, pasti pertanyaan itu yang akan langsung keluar. Kau pasti penasaran. Kenapa aku sarankan sebaiknya jangan memimpikan isteri model Eliana, alasan utamanya adalah agar kau tidak sengsara. Tidak hidup sia-sia. Agar kau bahagia! Aku melihat kau sama sekali tidak cocok jika punya isteri gadis model Eliana. Ya, dia cantik dan cerdas. Juga kaya. Anak pejabat. Tapi kebahagiaan rumah tangga tidak cukup hanya dengan memiliki isteri yang cantik, cerdas, kaya dan terhormat. 51 Tidak. Akhir-akhir ini Eliana memang jadi buah bibir. Termasuk di kalangan mahasiswa Al Azhar. Baik putra maupun putri. Tidak sedikit yang aku lihat sangat tertarik pada Eliana. Meskipun mereka tahu bagaimana cara berpakaiannya yang terkadang tak kalah beraninya dengan artis Hollywood. Yang aku heran, bagaimana mungkin ada mahasiswa Al Azhar tertarik dengan gadis model itu. Mana Quran dan Hadis yang telah kalian pelajari? Dan aku lihat kamu sendiri sebenarnya juga terpikat kecantikan Eliana. Aku bisa melihat dan bahasa tubuhmu sorot matamu, dan getar suaramu. Kau boleh saja mengatakan bosan mendengar namanya. Tapi aku lebih tua darimu." "Tapi Eliana itu kalau pakai jilbab seperti ketika menjadi M.C. peringatan tahun baru hijriah tampak anggun dan cantik lho Pak?" "Lho, bisa bilang begitu kok mengingkari kalau tertarik pada Eliana. Ya, Nicole Kidman kalau pakai jilbab juga cantik. Eliana juga. Tapi kalau di diskotik tak kalah dengan penari perut. Kau mau punya isteri seperti itu!?" "Pak jangan membuka aib orang, jangan memfitnah orang dong!" Pak Ali malah tersenyum. "Kalau aku mengatakan si Tiara, mahasiswi Al Azhar yang biasa mengajar Al-Quran di Masjid SIC itu kalau di diskotik tak kalah dengan penari perut barulah aku memfitnah dia. Lha ini, orang Eliana sendiri bangga cerita ke mana-mana. Bahkan ia sudah cerita di website pribadinya. Ayahnya yang jadi Dubes itu juga bangga. Bahkan pernah meminta putrinya menunjukkan 52 kebolehannya dihadapan diplomat-diplomat asing. Sampai ada seorang sutradara Mesir yang akan memintanya ikut main film. Kalau kemungkaran itu ditutup-tutupi saya akan berusaha ikut menutupi. Ini kemungkarannya malah dipropagandakan, dibanggabanggakan. Coba kau renungkan apakah ketika aku mewanti-wanti anak perempuanku agar tidak mencontoh Nicole Kidman yang sangat bangga tampil tanpa busana di sebuah pertunjukan teater di Inggris, aku katakan: 'jangan mengagumi orang yang suka bermaksiat terangterangan itu! ', apakah itu berarti aku memfitnah bintang Holywood itu? Padahal berita perbuatan gilanya itu dimuat di koran koran dan internet di seluruh dunia. " "Kok saya tidak pernah tahu hal-hal seperti itu ya Pak?" "Sebaiknya memang kamu tidak tahu yang begitu-begitu. Kalau tahu nanti malah gawat, kau tidak jadi bikin tempe. Tidak juga jadi kuliah. Adik-adikmu di Indonesia bisa kelaparan. Karena pikiranmu ke mana mana. Aku hanya ingin mengingatkan padamu jangan mudah tertarik pada perempuan cantik. Di akhir jaman itu tidak sedikit perempuan yang cantik memesona, namun sebenarnya adalah seorang pelacur. Na'udzubillaah!" "Tapi perempuan cantik yang salehah, benar-benar salehah dan menjaga kesuciannya banyak lh o Pak." Pak Ali kembali tersenyum. "Iya bapak percaya itu. Karena itulah kamu harus benarbenar matang dalam memilih isteri. Jangan asal cantik. Lha kebetulan Bapak punya cerita tentang gadis yang cantik, salehah, memesona dan cerdas. Kau mau mendengarkan? " 53 "Wah, boleh Pak." "Kalau begitu ayo kita duduk di sana. Bapak akan cerita panjang lebar." Kata Pak Ali sambil menunjuk pembatas jalan di pinggir trotoar yang bisa diduduki. Mereka berdua berjalan ke sana. Alexandria semakin terang. Kabut mulai hilang perlahan-lahan. Pantai mulai ramai. Jalan jalan sudah mulai dipenuhi kendaraan yang lalu lalang. Di kejauhan tampak Benteng Qaitbey berdiri di ujung tanjung. Gagah dan menawan. Mereka duduk menghadap laut yang bergelombang tenang. Azzam memandang ke arah kiri, ke arah benteng. Sementara Pak Ali memandang ke arah kanan. "Lha kalau mereka itu aku yakin wanita-wanita salehah. " Gumam Pak Ali memandang Azzam, mengalihkan pandangan. "Itu mana Pak?' "Itu." Tunjuk Pak Ali ke arah rombongan gadis-gadis berjilbab. Dari cara mereka memakai jilbab dan cara mereka berjalan menunjukkan kalau mereka dari Asia. "Mereka anak-anak Malaysia. Hampir semua yang kuliah di Al Azhar Banat di sini adalah mahasiswi dari Malaysia. Indonesia boleh dikatakan tidak ada. Semua mahasiswinya ngumpul di Cairo." Pak Ali menjelaskan panjang lebar seolah Azzam bukan mahasiswa Al Azhar. Azzam diam saja, tanpa dijelaskan pun ia sudah tahu. Ia sudah sembilan tahun tinggal di Mesir. "Sudahlah Pak, tidak usah membahas mahasiswi Malaysia itu. Langsung saja pada cerita yang ingin Pak Ali 54 sampaikan tadi. Matahari sudah bersinar terang. Kita belum sarapan." "Baiklah Mas. Dengarkan baik-baik ya. Ceritanya ada sangkut-pautnya sedikit dengan hidupku." Pak Ali memandang jauh ke tengah lautan. Ia mengambil nafas lalu melanjutkan, "Dulu saya anak orang paling kaya di Pedan, Klaten. Saya kuliah di Bandung. Saat kuliah saya kenal dengan gadis asli Bandung, sebut saja namanya Neneng. Saya tergila-gila pada Neneng. Neneng memang primadona di kampus. Kecantikannya tak kalah dengan Sri Devi, bintang legendaris India itu. Sampai ia dapat julukan Sri Devi from Bandung. Ia anak seorang diplomat. Ibunya asli India. Pokoknya cantiknya luar biasa. "Segala cara aku gunakan untuk mendapatkan dia. Aku yakin bisa mendapatkannya. Aku berkeyakinan kalau aku berusaha aku pasti bisa. Benar, akhirnya aku bisa menyuntingnya. Saat ayahnya tugas di London, ia minta aku membawanya ke London. Karena kami sudah keluarga sendiri, ayahnya tidak mau membiayai hidup kami di London. Aku yang harus bertanggung jawab. Aku yang harus membiayainya. Sebab akulah suaminya. "Demi cintaku padanya segala yang kumiliki aku korbankan. Harta orangtuaku aku habiskan untuk membiayai hidup di London. Kau tahu sendirikan, betapa mahal hidup di London. Sekaya-kayanya orang Pedan yang mengandalkan hasil pertanian mampu kuat berapa lama hidup di London? Akhirnya harta orangtuaku ludes. Aku sendiri menanggung utang tidak sedikit. Aku benar benar tidak memiliki apa-apa. Aku hanya bisa kerja part 55 time di sebuat toko swalayan di London. Gaji kerjaku hanya bisa untuk makan. Yang menyakitkan, isteriku yang cantik itu kerja di Club Malam. Ia bisa menari ala India. Dan tiap malam ia pulang diantar pasangan barunya. Ia hidup tanpa menganggapku sebagai suaminya. Saat itu aku nyaris gila. "Aku sangat mencintainya. Semua telah aku korbankan untuknya. Tapi ia tanpa risih sedikit pun mengatakan kepadaku, 'Ali di rumah aku isterimu, tapi di luar rumah aku milik banyak orang. Kau jangan cemburu ya. Kau justru harus bangga memiliki isteri yang disukai banyak orang!' "Aku tidak kuat dengan perlakuannya. Akhirnya aku ceraikan dia. Saat itu dia sedang hamil dua bulan. Tetapi aku tidak bisa yakin kalau yang sedang di kandungnya itu adalah anakku. Aku akhirnya pulang kembali ke Indonesia sebagai gembel. Keluarga besarku yang dulu kaya-raya telah hancur berantakan. Orangtua dan adikadikku memusuhiku. Aku lalu hidup menggelandang di Solo. Di stasiun Balapan. Aku lakukan apa saja untuk dapat uang. Segala jenis kejahatan sudah pernah aku lakukan. Sampai suatu hari aku nyaris mati karena tertangkap oleh warga kampung saat aku mencuri. "Untungnya ada seorang kiai yang menyelamatkan nyawaku. Kiai itu memiliki pesantren tak jauh dari tempat aku mencuri. Di tangan kiai itu aku insyaf. Kiai itu begitu baik. Ia bagai malaikat. "Aku belajar agama di pesantrennya selama satu tahun. Selama satu tahun aku makan dan tidur gratis di pesantren. Setelah hidup satu tahun di pesantren barulah aku memahami untuk apa aku hidup. Aku lalu pamit hendak merantau. Pak Kiai menyarankan agar aku kerja 56 saja di Saudi, kebetulan ada teman Pak Kiai yang memiliki usaha kontainer di Jeddah. Namanya Pak Ahmad. Pak Ahmad membutuhkan sopir pribadi yang bisa berbahasa Inggris. Dan minta pada Pak Kiai kalau ada di antara santrinya yang bisa. Pak Kiai menawarkan padaku. Aku menerimanya dengan harapan bisa ke Tanah Suci untuk menangis kepada Allah di depan Ka'bah. "Aku pun berangkat ke Saudi. Teman Pak Kiai itu yang membiayai tiketnya. Aku bekerja di Jeddah. Sangat nyaman. Aku merasakan hidup tenang. Hubunganku dengan Pak Ahmad sangat baik. Aku sudah dianggap saudara sendiri oleh keluarga Pak Ahmad. Aku berdoa di depan Ka'bah agar diberi pendamping hidup yang setia dan baik. Doa itu dikabulkan oleh Allah. Suatu pagi, ya pagi seperti ini, aku dipanggil Pak Ahmad. Pak Ahmad berkata, 'Li, kamu mau nikah?' Aku kaget sekali. Memang itulah doaku setiap kali aku ada kesempatan berdoa di Multazam. 'Mau, Pak.' Jawabku. ' 'Tapi dia janda beranak dua. Tidak perawan. Bagaimana? Mau?' 'Asal salehah mau Pak.' 'Dia salehah insya Allah. Begini Li. Kalau kau mau kau harus ke Mesir. Perempuan itu sekarang ada di Mesir. Suaminya telah meninggal setengah tahun yang lalu. Dua anaknya masih kecil-kecil. Dan ia tetap ingin di Mesir sampai punya bekal yang layak untuk hidup di Indonesia.' 57 "Aku langsung bertanya, 'Jadi saya nanti harus meninggalkan Jeddah dan tinggal di Mesir Pak?' 'Tidak apa-apa. Kalau kau mau kau berarti menolong janda dan dua anaknya. Kalau ikhlas besar pahalanya. Dan kau di Mesir sana akan langsung dapat pekerjaan. Jangan kuatir.' 'Apa Pak pekerjaannya, Pak?' 'Menggantikan pekerjaan almarhum suami janda itu. yaitu cleaning service merangkap sopir KBRI. Bagaimana Li kamu mau?' "Aku lalu menjawab, 'Baiklah, bismillah saya mau.' "Akhirnya aku menikah dengan orang yang sekarang menjadi isteriku. Allah tidak hanya memberiku isteri yang salehah. Tapi Allah juga memberiku isteri yang cantik, penyabar, dan sangat pengertian. Lebih dari itu Allah menganugerahiku dua orang anak yang sangat menyejukkan hati. Dua anak itu tidak pernah menganggap aku bukan ayahnya. Mereka tahunya, ayah mereka ya aku ini. Inilah jalan hidup yang diatur oleh Allah. Sebab sekian tahun aku berumah tangga tidak juga punya keturunan. Ternyata setelah diperiksa medis aku divonis tidak bisa punya keturunan. Aku semakin sayang pada isteri dan anak anakku. Mereka pun semakin sayang padaku. Anakku yang pertama sekarang kuliah di Malaysia. Anak yang kedua kuliah di Fakultas Kedokteran UNS Solo. Seperti yang kau ketahui, di sini aku hidup berdua bersama isteri. Sesekali kami yang menjenguk mereka atau mereka yang menjenguk kami. Kini aku sangat bahagia. Tahun depan aku dan isteri 58 berencana meninggalkan Mesir. Alhamdulillah kami sudah punya rumah di Solo Baru." Pak Ali menghela nafas. Ada gurat kepuasan yang tergurat di wajahnya. Pak Ali membetulkan letak kaca matanya. Azzam merasa belum puas. Ia merasa belum mendapatkan apa yang dijanjikan Pak Ali. "Lha cerita gadis cantik salehahnya mana Pak?" Pak Ali tersenyum "Sabar tho Mas. Gadis cantik saja yang kaupikir." "Lho Pak Ali tadi kan bilangnya mau cerita tentang gadis cantik yang salehah. Lha ini sudah ke mana-mana kok belum muncul-muncul juga." "Kau ini kok inginnya meloncat. Langsung ke intinya. Film kalau langsung ke intinya tidak menarik. Novel kalau langsung kau baca intinya juga tidak menarik. Kau harus sabar membacanya. Baca yang urut bab demi bab. Paragraf demi paragraf. Kata demi kata. Huruf demi huruf. Baru akan kau temukan keindahan rangkaian novel itu. Keutuhan cerita novel itu. Jangan lompatlompat. Jangan main potong langsung ke inti. Cerita tentang gadis salehah yang indah ini juga begitu. Ada rangkaian ceritanya yang tidak boleh ditinggalkan. Kalau ditinggalkan ceritanya tidak utuh. " "Sudahlah Pak, ayo dilanjutkan saja ceritanya. Jangan malah ceramah tentang novel segala. Apa hubungannya? Kayak sastrawan saja!" "Lho erat sekali hubungannya cerita dengan novel lho Mas. Begini..." 59 Azzam langsung memotong, "Dilanjut saja ceritanya Pak. Tentan g sastra, hubungan cerita dengan novel biar nanti saya baca sendiri saja di perpustakaan SIC. Keburu siang Pak." "Baiklah. Anakku yang kuliah di Malaysia itu laki laki namanya Amir. Dulu selesai SMP di SIC langsung kulempar ke Al Munawwir Krapyak Jogja. Selesai Madrasah Aliyah langsung dapat beasiswa ke Madinah. Sekarang S.2 di Malaysia. Dia belum menikah. Dia sendiri tidak tahu kisah kelam masa laluku sebelum tobat. Dia hanya tahu aku adalah seorang ayah yang dulu pernah nyantri di pesantren. Dan aku pikir dia tidak perlu tahu. Biar dia tahu yang baik-baik saja. Nanti kalau dia mau cari isteri baru akan bapak kasih tahu. " "Berarti kira-kira dia seusia dengan saya ya Pak." "Lebih tua kamu dua tahun. Aku lanjutkan ya. Sedangkan adiknya yang kini kuliah di Fakultas Kedokteran UNS, sejak SMP sudah kuletakkan di pesantren." "Di pesantren mana Pak?" "Di pesantren tempat aku nyantri dulu. Aku titipkan pada Pak Kiai yang menggemblengku selama satu tahun itu. Pak Kiai itu namanya K.H. Lutfi Hakim. Nama pesantrennya, Daarul Quran. Terletak di Desa Wangen, Polanharjo." 60 "Oh ya saya tahu Pak. Saya dulu pernah ke sana sekali. Itu kan arahnya dari Popongan terus ke barat. Dekat dengan daerah Janti Klaten. " "Ya benar." "Terus hubungannya apa pesantren itu dengan cerita gadis cantik yang salehah itu? Apa yang Pak Ali maksud adalah anak gadis Pak Ali itu?" Azzam sudah tidak sabar. Ia merasa Pak Ali ceritanya melingkar-lingkar tidak segera sampai yang dimaksud. "Tidak. Sama sekali tidak. Aku sudah tahu standar kecantikan yang kau pakai. Standar kamu adalah Eliana dan gadis-gadis Mesir. Maka anak gadisku meskipun menurutku cantik, tapi jika standarnya Eliana bisa dikatakan tidak cantik. Bersabarlah sedikit, sudah hampir sampai pada tujuan. Aku kembali ke alur cerita. Anak gadisku itu aku titipkan kepada Pak Kiai Lutfi. Beliau jaga dan beliau didik dengan baik. Pada saat yang sama Pak Kiai Luffi punya anak gadis yang sangat cerdas. Dan sangat cantik. Sungguh sangat cantik. Kecantikannya ibarat permata maknun yang mengalahkan semua permata yang ada di dunia. Aku berani bertaruh kecantikannya bisa mengatasi Eliana. Ini menurutku lho Mas. Sebab kecantikan seorang perempuan di mata lelaki itu relatif. Dan untuk kecerdasannya aku berani bertaruh, tak banyak gadis seperti dia. Aku tahu persis, sebab aku pernah belajar pada ayahnya selama satu tahun. Jika Eliana bisa bahasa Prancis dan Inggris. Maka Putri Pak Kiai Lutfi ini bisa bahasa Arab, Inggris dan Mandarin. Saat di Madrasah Aliyah dia pernah ikut program pertukaran pelajar ke Wales,U.K. Dan apa kau tahu di mana dia sekarang?" 61 Azzam menggelengkan kepala. "Dia sekarang ada di Carro. Sedang menempuh S.2 di Kuliyyatul Banat, Al Azhar. Dia sedang mengajukan judul tesisnya." "Sedang S.2? Siapa namanya? Kok saya tidak pernah dengar ceritanya." "Namanya Anna Althafunnisa." "Anna Althafunisa?" "Ya." "Baru kali ini saya dengar nama itu. Aneh sekali. Padahal orang-orang di rumah saya semuanya aktivis. Tapi mereka kok tidak pernah nyebut -nyebut nama itu ya?" "Tidak banyak orang yang tahu. Sebab Anna Althafunnisa menyelesaikan S.1-nya tidak di Cairo. Tapi di Alexandria sini. Ia lebih banyak berinteraksi dengan mahasiswi Malaysia daripada mahasiswi Indonesia. Dan Anna lebih memilih menutup diri dari kegiatan-kegiatan yang bersifat glamour. Kalau kau sempat membaca majalah Al Wa'yu Al Islami, cobalah cari edisi bulan lalu. Ada artikel dia dimuat di sana. Dia memakai nama pena Anna Lutfi Hakim." "Sekarang dia tinggal di Cairo?" "Iya. Dialah gadis cantik dan salehah yang aku maksud. Dan saat ini ayahnya menginginkan dia segera menikah. Aku pikir kamu lebih baik menikah dengan orang yang sekualitas Anna daripada dengan yang model Eliana. 62 Kalau kamu mendapatkan Anna, kamu telah mendapatkan surga sebelum surga. Percayalah padaku. Aku tahu betul kualitas Anna, ayahnya, dan keluarganya. Mereka dari golongan orang-orang yang ikhlas. Saran saya khitbahlahAnna Althafunnisa itu sebelum bidadari dari Pesantren Daarul Quran itu dikhitbah orang lain." Hati Azzam berbunga-bunga. Ada rasa sejuk yang tibatiba menyelinap ke dalam dadanya. Namun ia tiba tiba diserang rasa ragu. "Apa saya pantas melamarnya Pak? Apa saya pantas untuknya? Saya ini S.1 saja sudah sembilan tahun belum juga selesai. Dan apa prestasi saya? Apa yang bisa saya andalkan? Membuat tempe? Apa ada kiai yang mau anaknya menikah dengan penjual tempe?" "Kenapa kamu jadi inferior begitu. Percayalah padaku, Pak Kiai Lutfi itu tidak pemah memandang dunia. Dunia itu remeh bagi beliau. Datanglah, lamarlah. Belilah tiket, pulanglah ke Indonesia dan lamarlah bidadari itu!" "Waduh kalau harus pulang berat Pak. Apa tidak ada cara lain selain pulang?" Pak Ali diam mengerutkan keningnya, sebentar kemudian, wajahnya cerah. Setengah berteriak ia menjawab, "Ada! Kau bisa melamar lewat Ustadz Mujab. Ustadz Mujab itu masih keluarga dekat Kiai Lutfi. Kau datangi saja Ustadz Mujab dan sampaikan maksudmu untuk disampaikan kepada Kiai Lutfi dan Anna. Insya Allah semua akan mudah. Ustadz Mujab kau kenal kan?" "Wah lebih dari kenal. Saya sangat akrab dengannya. Tapi yang membuat saya heran, kenapa beliau sama 63 sekali tidak pernah menyinggung nama Anna Althafunnisa sama sekali ya?" "Itulah mahalnya Anna Althafunnisa. Tidak sembarangan dibicarakan. Tidak sembarangan diobral. Bukankah permata yang sangat mahal itu jarang dipamerkan orang?" "Pak Ali punya fotonya?" "Aduh, sayang sekali tidak punya. Tapi itu tidak penting. Langsung saja kau lamar. Kalau setelah menyuntingnya kamu menyesal, akan aku serahkan leherku ini untuk kau pancung. Sungguh!" Azzam tersenyum. Kata-kata terakhir Pak Ali semakin membuatnya mantap sekaligus penasaran. Seperti apa Anna itu? Namun, ia merasa telah mendapat jawaban atas tekad yang ia ikrarkan sebelum tidur tadi malam. Tekad yang ia rajut dengan doa. Ia yakin Anna adalah jawaban atas doanya yang ia bawa sampai tidur. Ia yakin bukanlah sebuah kebetulan jika pagi itu Pak Ali akan bercerita tentang Anna Althafunnisa. Itu bukanlah kebetulan belaka. Sebab ia meyakini bahwa segala yang terjadi di alam semesta ini tidak ada yang kebetulan. Semua sudah ditulis takdirnya dan diatur oleh Yang Maha Kuasa. Tekadnya telah bulat. Begitu sampai di Cairo ia akan datang ke rumah Ustadz Mujab. Datang untuk menanyakan gadis yang disebut sebut Pak Ali sebagai "Bidadari dari Pesantren Daarul Quran". Ia akan menanyakan apakah gadis itu masih kosong, belum dikhitbah orang? Apakah gadis itu bisa 64 dipinangnya? Kalau ya, maka ia akan langsung meminangnya. Saat itu juga kalau bisa. Tak ada lagi keraguan dalam hatinya. 65 4 CERITA FURQAN Berulang kali Eliana menelpon kamar Azzam. Tak ada yang menjawab. Ia ingin membuat perhitungan dengan Azzam. Kata-kata Azzam tadi malam ia anggap sangat merendahkannya. Ia sangat tersinggung. Apalagi tadi malam pemuda kurus itu memutus pembicaraan dengannya secara sepihak. Siapa dia berani-beraninya berlaku tidak sopan padanya? Baginya tindakan Azzam itu tidak hanya tidak sopan, tapi sangat menghinanya. Ia memang orang yang mudah emosi jika ada sedikit saja hal yang tidak sesuai dengan suasana hatinya. Eliana mondar-mandir di lobby hotel. Ia memperhatikan dengan seksama orang-orang yang duduk dan lalu lalang di situ. Ia menanti Azzam untuk dilabraknya. Ia hendak memarahinya seperti ia memarahi pembantu-pemban66 tunya yang melakukan sesuatu yang mem-buatnya murka. Pagi itu suasa hotel sudah terasa sangat panas bagi Eliana. Ia menanyakan keberadaan Azzam kepada semua orang Indonesia. Para mahasiswa, rombongan Penari Saman, para staf KBRI, bahkan ayahnya sendiri. Semua menjawab tidak tahu pasti. Ada yang menjawab mungkin sedang jalan-jalan di Pasar El Manshiya. Ada yang menjawab mungkin sedang mencari sesuatu di Abu Qir. Ada yang menjawab mungkin sedang ziarah ke Masjid Nabi Daniyal. Ada yang menjawab mungkin sedang renang di pantai. Semua jawaban tidak ada yang memuaskannya. Ia ingin segera bertemu dengan pemuda tidak tahu diuntung itu. Ia ingin segera menumpahkan segala murkanya. Ia ingin segera melumatnya jika bisa. Sementara Azzam dan Pak Ali berjalan santai menelusuri pantai. Azzam melepas sandalnya dan membiarkan kakinya telanjang menginjak pasir pantai yang lembut. "Pak Ali." Sapa Azzam pelan. "Ya, Mas." "Pak Ali sudah lapar?" "Iya." "Mau sarapan di hotel?" "Entah kenapa ya Mas. Aku kok sudah bosen banget sarapan di hotel." 67 "Saya juga Pak Ali. Kalau begitu kita cari tha'miyah bil baidh 7 di luar hotel yuk?" "Ayuk." Mereka langsung berjalan mencari kedai tha'miyah, kedai yang menjual makanan khas Mesir terdekat. Saat mereka melintasi jalan raya menuju ke kedai itu seseorang memanggil-manggil nama mereka. Mereka menengok ke arah suara. Ternyata si Romi. Mahasiswa asal Madura yang dipercaya membuat dan menjaga stand Sate Madura. Anak asli Pamekasan itu berjalan dengan setengah berlari ke arah mereka. Tubuh kurusnya dibalut kaos hitam dan celana panjang hitam. Tangan kanannya menenteng kantong plastik hitam. "Ada apa Mi?" Sapa Azzam begitu jaraknya dengan Romi tidak terlalu jauh. "Anu, anu Mas Khairul. Kamu dicari-cari oleh Mbak Eliana. Kelihatannya kok dia sedang marah. Segeralah kamu ke lobby hotel. Jika tidak segera ke sana aku kuatir dia semakin marah. Dan jika dia marah celakalah kita semua. Cepat-cepatlah kamu minta maaf?" "Minta maaf atas apa Mi?" "Ya tidak tahu. Yang penting minta maaf. Mungkin dia tersinggung karena sesuatu yang tidak kamu sadari. Apa 7 tha'miyab bil baidh: Makanan khas Mesir, berbentuk sandwich isinya antara lain sayur, kentang goreng, dan telor rebus yang dihancurkan bersama isi lainnya. 68 sih beratnya minta maaf? Jangan sampai kemarahannya berimbas pada bisnis kita." "Wualah tho Mi, kamu kok berpikir terlalu jauh. Kenapa kamu takut sekali rezeki kamu terancam oleh kemarahan seorang Eliana. Apalagi dia. marahnya sama aku. Kok kamu yang takut?" "Tidak gitu Mas Khairul. Saya hanya tidak mau ambil risiko. Saya tidak mau susah. Marahnya orang kaya sering membuat susah orang miskin. Marahnya pejabat sering membuat susah rakyat. Eliana kalau membawa bawa ayahnya kan bisa membuat kita repot. Bukan begitu PakAli?" Jelas Romi sambil memandang PakAli. PakAli hanya menyahut ringan, "Itu urusan kalian." Azzam memandang Pak Ali. Wajah Pak Ali tetap seperti semula, tak ada perubahan. Lalu sambil menepuk pundak Romi, Azzam menenangkan, "Jangan berpikir ke mana-mana. Tenanglah, tak akan terjadi apa-apa. Akan segera kutemui Eliana." Romi hanya diam saja. "Kau mau ke mana Mi? Kau kemari hanya untuk menemui kami atau ada keperluan lain?" Tanya Azzam mengalihkan pembicaraan. "Aku mau renang di pantai. Terakhir sebelum pulang. " "Bawa salin?" "Bawa. Ini." Jawab Romi sambil mengangkat kantong plastiknya. 69 "Kok sendirian? Tidak ngajak teman?" "Iya yang lain tak ada yang mau. Katanya sudah bosan. Ya sudah, aku berangkat sendiri saja. Atau kau mau menemani?" "Aduh aku masih banyak hal yang harus aku bereskan. Ya sudah ya. Hati-hati." "Ya." Azzam danPakAli melanjutkan perjalananke kedai tha'miya. Romi semakin mendekati pantai. Udara belum hangat betul. Orang yang berenang di pantai bisa dihitung dengan jari. Saat itu belum banyak pengunjung yang datang. Sebab masih ada sisa-sisa musim dingin. Pantai itu akan menjadi sangat ramai ketika libur musim panas datang. "Mas Khairul. Saya sarankan kau damai saja sama putrinya Pak Dubes itu. Tidak usah cari penyakit. Aku tidak tahu masalahmu dengannya. Tapi damai adalah hal yang disukai oleh fitrah umat manusia di mana saja." Saran PakAli. Azzam lalu menjelaskan kejadian tadi malam setelah pulang dari El Muntazah. Tentang telpon Eliana. Tentang hadiah spesial berupa ciuman khas Prancis. Tentang jawabannya. Tentang pemutusan pembicaraan secara sepihak darinya. Pak Ali mendengarkan sambil berjalan. 70 "Ada saran tambahan Pak Ali?" Tanya Azzam sambil mensejajarkan langkahnya dengan langkah Pak Ali yang agak lambat. "Saranku. Sebaiknya kau minta maaf. Lalu jelaskan dengan detil dan baik-baik kenapa menolak ciuman itu. Tidak usah dihadapi dengan emosi. Api bertemu api akan semakin panas. Emosi lebih banyak merugikannya daripada menguntungkannya "Aku sangat yakin dia sangat marah Pak. Trus bagaimana cara meredamnya?" "Gampang. Hati wanita mudah diluluhkan. Belikan diahadiah kejutan. Dia akanmerasa senang. Rasa senang bisa meredam amarah. Sebab amarah itu datang biasanya karena rasa tidak senang." "Enaknya hadiahnya apa ya Pak?" "Apa saja yang bisa didapat pagi ini. Tidak harus mahal." "Pak Ali punya usul, barang apa begitu?" Pak Ali mengerutkan dahi sesaat. Tiba-tiba wajahnya seperti bersinar. "Yah ini saja. Belikan saja rnakanan khas Mesir kesukaannya. Ini mudah didapat pagi ini dan murah." "Kalau dia sudah makan pagi bagaimana? Apa tidak jadi mubazir?" "Percayalah, dia belum makan pagi. Orang kalau sedang marah malas makan. Dia akan makan kalau marahnya 71 mulai reda. Percayalah dia belurn makan pagi. Dan percayalah dia juga sudah bosan dengan menu hotel." "Apa makanan kesukaannya Pak?" "Habasy takanat." 8 "Yang benar Pak? Masak gadis selangsing dia suka habasy takanat? "Iya. Habasy takanat itu tidak otomatis bikin gemuk Iho. Bikin kenyang iya. Tapi bikin gemuk belum tentu." "Ayo Pak kalau begitu kita segera beli." Mereka berdua berdua mempercepat langkah. Sampai di kedai yang dituju, mereka memesan empat tha'miyah bil baidh untuk dimakan di situ dan dua habasy takanat , untuk dibungkus. Pemilik kedai itu adalah orang Mesir gemuk dengan jenggot hampir menutupi setengah wajahnya. Keangkeran wajahnya sirna oIeh senyum dan keramahannya. Azzam senang dengan keramahan itu. Sebab tidak sedikit pemilik kedai tha'miyah yang tidak ramah. Ia masih ingat dengan pemilik kedai tha'miyah di kawasan Hay E1 Ashir Cairo yang sangat tidak ramah. Tak pernah senyum. Ia pernah diabaikan. Benar-benar diabaikan. Pemilik itu melayani semua orang Mesir tapi seolah-olah tidak melihat keberadaannya. Ia sama sekali tidak dianggap. Ia sendiri tidak tahu, apa sebabnya. 8 Makanan mirip tha'miyah bn baldh. hanya isinya lebih berrnacam- macam sehingga porsinya lebih besar. 72 Azzam melahap tha'miyah bil baidh dengan lahap. Pak Ali juga. Setelah kenyang mereka menuju hotel. Di tengah jalan Pak Ali menghentikan langkahnya dan berkata, "Mas. Habasy takanat-nya biar saya saja yang memberikan. Kalau sudah dia makan, saya akan mengatakan itu hadia darimu. Kau Jalan jalan saja dulu. Kira-kira satu jam. Setelah itu kau boleh datang. Dan insya Alaah semua akan damai dan aman." "Wah ide yang bagus itu Pak." Sahut Azzam berbinar. Ia lalu menyerahkan bungkusan berisi habasy takanat itu kepada Pak Ali. Pak Ali tersenyum. Lalu berjalan ke hotel. Sementara Azzam langsung naik Eltramco ke Pasar El Manshiya. Ia ingin membeli oleholeh untuk teman-teman satu rumahnya *** Begitu masuk hotel, Pak Ali langsung ditanya oleh Eliana seolah-olah Eliana sudah lama menantinya. "Pak Ali ke mana saja? Lihat tukang masak kurus itu tidak?" Nadanya tidak lembut seperti biasanya. "Saya dari jalan jalan menghirup udara pantai. Biar segar. Tukang masak kurus itu yang Mbak Eliana maksud siapa? Si Romi?" "Bukan si Romi. Itu si Khairul." "Kalau si Romi saya tahu. Dia sedang renang di pantai. Kalau Khairul sekarang persisnya saya tidak tahu. Tadi sih ketemu di jalan. Dia naik Eltramco ke El Manshiya." 73 Eliana mendengus. Wajah yang biasanya putih cemerlang itu tampak merah padam. Ia lalu duduk di sofa. Tak jauh darinya dua remaja putri Mesir sedang berbincang-bincang dengan serunya. Sesekali terdengar suara cekikikan dari mereka. Pak Ali duduk di depan Eliana. "Eh ngomong-ngomong Mbak Eliana sudah makan pagi?" Tanya Pak Ali. "Belum Pak. Lagi tidak nafsu. Apalagi menu hotel. Sudah bosan sekali rasanya." Pak Ali tersenyum, lalu berkata, "Kalau habasy takanat mau?" Mendengar tawaran Pak Ali, wajah Eliana sedikit cerah. "Wah itu boleh Pak. Sebenarnya saya lapar. Yuk kita keluar cari habasy takanat Pak Ali yuk?" "Tak usah keluar. Ini saya sudah bawa. Tadi saya baru saja makan tha'miyah bil baidh. Ini saya bawa untuk Mbak Eliana." Jawab Pak Ali sambil menyerahkan bungkusan dalam plastik hitam berisi habasy takanat. "Wah terima kasih banget Pak ya. Wah enaknya langsung dimakan saja ini. Pak temani saya ke restaurant yuk. Biar ini saya makan di sana sambil minum the panas." "Ayo." Mereka berdua lalu masuk Lourantos Restaurant. 74 Desain interior restauran itu perpaduan Arab dan Eropa. Menu yang dihidangkan pagi itu adalah menu Arab dan Italia. Tapi habasy takanat tidak ditemukan di situ. Eliana menyantap habasy takanat dengan lahap dan penuh semangat. Selesai menyantap makanan khas Mesir itu Eliana lalu menyeruput teh panasnya yang kental. Gadis itu kelihatan begitu menikmati makan paginya. Dan Pak Ali melihatnya dengan hati lega. "Ada apa sih Mbak, kok mencari Mas Insinyur Khairul? Kelihatannya ada urusan penting ya?" "Ya. Aku sedang marah padanya?" "Kenapa?" "Ia berani menghinaku tadi malam." "Ah yang benar saja Mbak. Saya sama sekaIi tidak percaya anak itu berani menghina Mbak." "Pak Ali percaya atau tidak percaya itu tidak penting " "Bukanbegitu Mbak EIiana. Saya kuatir Mbak Eliana salah paham. Sebab saat ketemu saya tadi Mas Khairul justru memperlihatkan hal yang sebaliknya pada saya. Mas Khairul begitu perhatian sama Mbak. Tadi saya dan Mas Khairul juga bertemu Romi. Romi bilang Mbak Eliana marah besar pada Khairul. Khairul malah tersenyum saja. Terus Khairul nitip pada saya untuk memberikan habasy takanat ini pada Mbak." "Apa!? Jadi bukan Pak Ali yang membelikan untuk saya?" 75 "Bukan. Yang membelikan itu Mas Khairul. Lha yang membawa kemari saya." "Pak Ali, PakAli kenapa tidak bilang dari tadi. Aduh, aduh, aduh! Saya kira itu dari PakAli." "Saya tadi kan bilang, ini saya bawa habasy takanat. Yang membelikan adalah Khairul. Dititipkan pada saya." "Kenapa tidak dia sendiri yang memberikan pada saya!?" Tanya Eliana ketus. "Saya tidak tahu Mbak Eliana. Kelihatannya dia tergesa gesa. Dia bilang mau belibarang-barang di pasar. Tidak ada waktu lagi katanya. Yang penting ini menunjukkan bahwa Mas Khairul sendiri tidak merasa memiliki masalah pada Mbak Eliana. Kalau dia merasa memiliki masalah mana mungkin mau membelikan habasy takanat, makanan kesukaan Mbak. Justru kelihatannya dia sangat menghormati Mbak. Dan ingin membuat Mbak merasa senang." Eliana diam. Kata-kata Pak Ali masuk ke dalam hatinya. Menyejukkan panas amarahnya. Tapi ia belum bisa lega sepenuhnya. Amarahnyabelum mau juga sirna seluruhnya. "Tapi tadi malam dia berkata kasar ditelpon pada saya Pak. Dia juga memutus pembicaraan seenaknya saja! Apa itu tidak penghinaan PakAli!?" Pak Ali tersenyum. 76 "Mungkin saat itu Mas Khairul sedang capek. Letih. Orang kalau letih itu pikirannya bisa tidak jernih. Cobalah ingat, kemarin itu ia kerja sejak pagi sampai malam." Penjelasan Pak Ali semakin meluluhkan hatinya. "Semestinya Mbak Eliana harus berterima kasih pada Mas Khairul. Enam hari ini tenaga dan waktunya ia curahkan untuk membantu Mbak Eliana. Bahkan dalam kondisi sangat letih, dia masih mau membakarkan ikan untuk membantu Mbak Eliana. Dan pagi ini, dia mengirim sesuatu yang sangat Mbak suka. Semestinya Mbak berterima kasih sama dia. Saya dengar orang Barat yang terdidik itu mudah mengucapkan terima kasih pada orang yang membantunya." Sambung Pak Ali. Amarah Eliana perlahan mereda. Ruang di hatinya yang semula berisi amarah yang meluap-luap pada Azzam perlahan berubah diisi rasa kasihan. Ia menyesal sudah sedemikian emosi dan marah, sementara orang yang akan dimarahinya sedemikian tulus padanya. Diam-diam menyusup ke dalam dadanya rasa malu pada dirinya sendiri. Ia menyadari apa yang disampaikan Pak Ali ada benarnya. Penjual tempe yang pandai masak itu memang sudah banyak membantunya. "Pak Ali. Nanti kalau ketemu Mas Khairul sampaikan terima kasih saya ya atas habasy takanat -nya. Saya mau mandi dan berkemas-kemas." Kata Eliana dengan wajah lebih cerah. "Insya Allah, tapi kalau menyampaikan sendiri tentu lebih baik. "' Jawab Pak Ali dengan senyum mengembang. 77 "Ya. Nanti kalau ketemu dia." Tukas Eliana sambil bangkit dari duduknya * * * Di sebuah toko buku di E1 Manshiya, Azzam bertemu dengan Furqan. SeteIah berpelukan, Furqan mengajak Azzam menemaninya makan roti kibdah 9 di samping sebuah masjid tua sambil berbincang-bincang. Azzam menuruti ajakan teman lamanya itu dengan senang. "Saya ini sedang bingung menentukan pilihan." Kata Furqan sambil mengunyah roti kibdah-nya. "Pilihan apa?" Sahut Azzam kalem. Matanya memandang ke arah seorang kakek berjubah abu-abu yangberjualan tasbih dan kopiah putih. Kakek itu duduk termenung Matanya memandang ke arah jalan. Azzam berusaha mereka-reka apa yang ada dalam pikiran kakek itu saat itu. "Bingung memilih dua gadis yang sama-sama memiliki kelebihan untuk aku nikahi." Jawaban Furqan membuatAzzam langsung mengalihkan pandangannya dari kakek berjubah abu-abu ke wajah Furqan yang masih asyik dengan roti kibdah-nya. "Ceritanya bagaimana?" Tanya Azzam dengan nada serius. 9 Roti kibdah: terrnasuk makanan khas Mesir berbentuk roti berbentuk panjang diisi hati sapi. 78 Furqan menghentikan makannya. Ia meneguk air putih untuk membersihkan tenggorokannya. Lalu memandang Azzam lekat-lekat. "Aku akan cerita. Tapi janji tidak kaubocorkan siapa siapa. Masyi ?" 10 "Masyi." "Begini. Aku saat ini sedang dikejar-kejar sama Eliana. Putri Pak Dubes itu?" "Dikejar-kejar Eliana? Ah yang benar Fur!?" Azzam kaget mendengar penuturan sahabatnya itu. "Benar. Aku tidak bohong. Kau tahu sendirilah Rul. Eliana itu bukan mahasiswi Al Azhar yang sangat menjaga akhlak. Ia lulusan Prancis. Ia langsung saja bicara terus terang padaku. Tadi malam dia menanyakan lagi jawabanku. Aku belum jawab. Eliana aku lihat sudah berusaha fair dan jujur. Ia telah menceritakan semua hubungannya dengan pacar-pacarnya yang gagal. Ia sudah pernah ganti pacar lima kali. Sekali waktu di SMA. Empatkali waktu di Prancis. Duapacarnya yang terakhir adalah orang bule. Eliana menyadari tidak cocok dengan mereka. Ia ingin hidup yang lurus-lurus saja. Dia bilang ingin memiliki suami yang bisa membimbingnya. Jujur saja Rul. Aku tertarik padanya. Aku tertarik tidak semata mata karena kecantikan wajahnya. Tapi aku tertarik karena potensi yang ada dalam dirinya yang jika diarahkan di jalur yang benar bisa sangat bermanfaat bagi umat." 10 Masyi: setuju. 79 "Potensi itu misalnya apa Fur?" "Kau tahu sendiri kepiawaiannya menulis dalam bahasa Inggris dan Prancis. Pesona keartisan dirinya. Dia bercerita akan main dalam sebuah film garapan sutradara Mesir. Dan ia juga sudah ditawari main film di Indonesia. Tak lama lagi dia akan menjadi artis Rul. Dan kau bayangkan jika artis itu bisa memberikan teladan yang baik. Maka masyarakat yang mengaguminya akan meniru kebaikannya. Jika keartisannya nanti digunakan untuk berdakwah, apa tidak dahsyat Rul." "Kalau yang terjadi sebaliknya bagaimana? Misalnya ia jadi artis terus gaya hidupnya yang hedonis sebagaimana artis pada umumnya bagaimana? Apa kau sudah benarbenar tahu siapa Eliana?" Furqan terdiam sesaat. Ia lalu berkata, "Aku melihat kesungguhan Eliana untuk baik. Itu yang meyakinkan aku. Dia akan baik jika dibimbing oleh yang mampu membimbingnya." "Terus yang kau bingungkan apa? Kelihatanrnya kau sudah mantap begitu" "Masalahnya aku sudah terlanjur melamar seseorang. Dia mahasiswi A1 Azhar. Tapi sampai sekarang dia belum memberi jawaban. Aku bingung. Kalau aku batalkan lamaranku dan aku memilih Eliana yang sudah jelas mengejarku aku takut dianggap lelaki plin-plan. Aku takut dianggap memainkan anak orang. Tapi kalau aku menunggu terlalu lama, aku takut akhirnya lamaranku itu ditolak, dan aku khawatir Eliana sudah berubah pikiran. Aku bingung Rul." 80 "Begitu kok bingung. Percayalah padaku, tak ada mahasiswi Cairo yang akan menolak lamaranmu, kecuali mahasiswi itu sudah punya calon atau ia sudah dilamar orang. Siapa yang menolak lamaran pemuda tampan, cerdas kaya dan kandidat master dari Cairo University? siapa? Hanya gadis tolol yang akan menolak. Yang cerdas itu ya Eliana. Ia mengejar kamu karena dia cerdas. Aku yakin Eliana sudah tahu reputasi kamu dengan baik. Maka percayalah mahasiswi yang kau lamar itu pasti mau. Kalau begitu sebenarnya kau sudah bisa memutuskan apa yang harus kauputuskan." "Kau tidak tahu sih siapa mahasiswi itu." "Memangnya dia siapa?" Furqan ragu untuk menjawab. Akhirnya dia tidak mau berterus terang. "Ah sudahlah kalau itu rahasia. Aku tidak enak menyebutnya." Lirihnya. "Ya sudah. Kalau begitu ya istikhara saja." "Ya, insya Allah. Kau ada nasihat untukku?" Azzam tersenyum. "Tinggalkan apa yang meragukan bagimu, dan ambillah yang tidak meragukan bagimu." "Terima kasih. Yuk kita ke hotel. Pakai taksi saja. Biar aku yang bayar." "Ayo" 81 Sebelum pergi terlebih dahulu Furqan membayar roti kibdah yang dibawanya. Cerita Furqan semakin mengukuhkan hati Azzam bahwa ia tidak boleh mengharapkan Eliana. Bisa jadi Eliana akan menjadi isteri sahabatnya itu. Ia tidak mau mengarah apa yang kelihatannya diarah juga oleh sahabatnya. Namun ia masih ragu apakah bisa orang seperti Eliana diajak untuk berdakwah dan berkomitmen menjalankan agama dengan baik. Apakah orang seperti Eliana tidak akan melihat aturan-aturan agama sebagai dogma yang membatasi kebebasannya sebagai manusia? Apa reaksi Furqan jika Eliana hendak memberihadiah ciuman khas Prancis padanya? Ia hanya bisa berharap bahwa sahabatnya itu akan ditunjukkan yang terbaik oleh Allah Swt. Sebab tak ada yang baik di dunia ini kecuali datangnya dari Allah Subhanahu wa ta'ala. 82 5 MEMINANG Siang itu sebelum jam dua belas, semua orang dalam rombongan "Pekan Promosi Wisata dan Budaya Indonesia di Alexandria" sudah keluar dari hotel. Tepat jam setengah satu mereka sudah bergerak meninggalkan Alexandria menuju Cairo. Rombongan yang terdiri atas empat puluh lima orang itu meluncur ke Cairo dengan dua mobil mewah KBRI, satu bus dan satu mobil barang. Azzam duduk di samping Romi. Pak Ali mengendarai BMW bersama Pak Dubes dan teman Pak Dubes. Mobil mewah satunya dikendarai oleh Atase Pendidikan dan Atase Perdagangan. Yang lainnya ikut dalam bus yang tak kalah nyaman. Baru keluar dari Alexandria Romi sudah harus ke toilet. Ia tidak sempat membersihkan perutnya sebelum berangkat sebab tergesa gesa. Ia tadi 83 terlalu asyik berenang di pantai dan nyaris lupa waktu. Kalau saja Pak Atase Perdagangan tidak mengabsen semua orang di lobby, bisa jadi Romi akan ketinggalan. Saat Romi pergi ke toilet itulah Eliana yang duduk agak di belakang maju dan duduk di tempat duduk Romi yang kosong. Azzam dan Eliana belum sempat berbincang sejak peristiwa pemutusan pembicaraan tadi malam. Eliana mendahului percakapan, "Eh Mas Khairul, terima kasih atas kiriman habasy takanat-nya ya? " "Oh sama-sama. Oh iya, sama minta maaf atas sikap saya yang mungkin tidak berkenan tadi malam. Mungkin itu membuat Mbak Eliana marah. Saya dengat dari Romi tadi pagi Mbak marah." "Ah tidak. Hanya sedikit emosi saja. Kita lupakansaja itu semua. Ini kalau boleh sayatanya, kenapa kau menjawab mendapat ciuman Prancisitu musibah. Saya yakin Mas Khairul tadi malam mengatakan dengan serius." Azzam tersenyum. Ia geli sendiri mendengar perkataan Eliana. Katanya lupakan saja semuanya, tapi masih bertanya tentang jawabannya tadi malam. Namun ia tidak mau mengungkit hal itu. Ia ingin langsung menjawab pertanyaan Eliana. 84 "Setiap orang punya prinsip. Dan prinsip seseoran itu biasanya berdasar pada apa yang diyakininya. Iya kan Mbak?" Kata Azzam mengawali jawabannya. "Iya." Kata Eliana sambil mengangukkan kepala. Saat itu ia sama sekali tidak memandang Azzam sebagai tukang masak, tapi memandang Azzam sebagai seorang mahasiswa yang memiliki satu sikap dan pendirian. "Saya juga memiliki prinsip. Prinsip hidup. Prinsip hidup Saya itu saya dasarkan pada Islam. Sebab saya paling yakin dengan ajaran Islam. Di antara ajaran Islam yang saya yakini adalah ajaran tentang menjaga kesucian. Kesucian lahir dan kesucian batin. Kenapa dalam bukubuku fikih pelajaran pertama pasti tentang thaharah. Tentang bersuci. Adalah agar pemeluk Islam senantiasa menjaga kesuciar lahir dan batin. Di antara kesuciankesucian yang dijaga oleh Islam adalah kesucian hubungan antara pria dan wanita. Islam sama sekali tidak membolehkan ada persentuhan intim antara pria dan wanita kecuali itu adalah suami isteri yang sah. Dan ciuman gaya Prancis itu bagi saya sudah termasuk kalegori sentuhan sangat intim. Yang dalam Islam tidak boleh dilakukan kecuali oleh pasangan suami isteri. Ini demi menjaga kesucian. Kesucian kaum pria dan kaum wanita. "Ketika saya mengatakan bahwa jika sampai saya melakukan ciuman itu dengan wanita yang tidak halal bagi saya, maka saya telah menodai kesucian saya sendiri dan menodai kesucian wanita itu. Dan itu bagi saya 85 adalah suatu musibah yang luar biasa besarnya. Saya telah kehilangan kesucian bibir saya. Tidak hanya itu, saya juga kehilangan kesucian jiwa saya. Jiwa saya telah terkotori oleh dosa yang entah bagaimana cara menghapusnya. Jika bibir ini kotor oleh gincu bisa dibersihkan dengar air atau yang lainnya. Tapi jika terkotori oleh bibir yang tidak halal, kotor yang tidak tampak bagaimana cara membersihkannya. Meskipun bisa beristighfar, meminta ampun kepada Allah tetap saja bibir ini pernah kotor, pernah ternoda, pernah melakukan dosa yang menjijikkan. Saya tidak mau melakukan hal itu. Saya ingin menjaga kesucian diri saya seluruhnya. Saya ingin menghadiahkan kesucian ini kepada isteri saya kelak. Biar dialah yang menyentuhnya pertama kali. Biar dialah yang akan mewangikan jiwa dan raga ini dengan sentuhan-sentuhan yang mendatangkan pahala. " "Itulah prinsip yang caya yakini. Mungkin saya akan dikatakan pemuda kolot. Pemuda primitif. Pemuda kampungan. Pemuda tidak tahu perkembangan dan lain sebagainya. Tapi saya tidakpeduli. Saya bahagia dengan apa yang saya yakini kebenarannya. Dan saya yakin Mbak Eliana yang pernah belajar di negeri yang mengagungkan kebebasan berpendapat itu akan bisa menghargai pendapat saya. " Azzam menjelaskan panjang lebar. Eliana mendengarkan dengan seksama. Tak terasa air matanya berkaca-kaca. Ia belum pernah mendengarkan penjelasan tentang kesucian seperti itu sebelumnya. 86 "Aku mengerti." Lirih Eliana. "Terima kasih atas penjelasannya. Lanjutnya. Saat itu Romi keluar dari toilet. Eliana lalu kembali ke tempatnya semula. Penjelasan Azzam masih membekas dalam hatinya. Tiba-tiba ia merasa dirinya sangat kotor. Bibirnya entah berapa kali bercium dengan pria yang belum menjadi suaminya. Ia tidak bisa menghitungnya. Untuk pertama kalinya ia merasa menjadi perempuan yang tidak berharga. Ia teringat dengan saudara sepupunya yang tinggal di pelosok Lumajang. Namanya Nurjanah. Sejak kecil selalu memakai jilbab. Saat diajak salaman ayahnya saja tidak mau. Ayahnya sempat tersinggung. Tap sepupunya yang sekarang menjadi pengajar di sebuah Madrasah Ibtidaiyyah itu bersikukuh dengan pendiriannya. Tidak mau bersentuhan kecuali dengan lelaki yang halal baginya. Sekarang baru ia tahu rahasianya. Itu karena ajaran kesucian itu. Nurjanah bersikukuh mempertahankan kesucian dirinya secara utuh. Tiba-tiba ia merasa gadis seperti Nurjanal alangkah lebih muliamya. Ia merasa tidak ada apa apanya dibanding Nurjanah. Ada yang merembes dari ujung kedua matanya. Bus terus melaju membelah padang sahara yang luas. Sejauh mata memandang yang tampak adalah hamparan padang pasir kecoklatan. Ada yang rata, ada yang bergelombang seperti berbukit-bukit. Eliana memandang ke jendela. Ia melihat debu-debu berhamburan di pinggi 87 jalan. Angin berhembus sangat kencang. Namum bus terus melaju dengan tenang. * * * Sampai di Cairo. Azzam langsung meluncur pulang kerumahnya di Hay El Asher. Tepat menjelang Maghrib ia sampai di rumah. Teman satu rumahnya menyambutnya dengan penuh kerinduan. Ia minta mereka untuk membuka kardus berisi oleh-olehnya. Isinya kurma isi kacang. Buah Zaitun. Kacang Arab berwarna hijau. Dan Makaronah untuk dimasak. Tak ada yang istimewa Sernua adalah makanan Mesir yang sebenarnya ada di Cairo. Namun mereka tetap menyambut oleh-oleh itu dengan penuh antusias dan gembira. Azzam langsung mandi. Setelah itu ia langsung pamitan pergi. "Ceritanya nanti saja ya. Aku ada urusan penting sekali malam ini." Kata Azzam pada mereka. Mereka pun menganggukpaham. Azzam meluncur ke Hay El Sabe'. Ia shalat Maghrib di Masjid Ridhwan. Tujuannya setelah itu hanya satu, yaitu ke rumah Ustadz Saiful Mujab, untuk melamar Anna Althafunnisa. Ia sampai ke masjid itu saat imam sudah rakaat kedua. Ia bahagia melihat Ustadz Mujab ada. Di shaf kedua. Ia takbir di shaf ketiga. Selesai shalat ia 88 bertemu dengan Ustadz Mujab. Dan Ustadz Mujab tersenyum gembira berjumpa dengannya. "Lho, aku dengar kau ikut rombongan KBRI ke Alexandria. Kok sudah di sini, Rul?" Sapa Ustadz Mujab. "Iya Ustadz. Baru pulang menjelang Maghrib tadi dan langsung meluncur kesini." Jawab Azzam. "Ada urusan apa? Kok kelihatannya penting sekali sampai tidak istirahat segala. Malah langsung kemari?" "Saya ada urusan pribadi yang sangat penting. Saya ingin membicarakannya pada Ustadz. Ustadz ada waktu?" "O begitu. Boleh-boleh. Ayo kita ke rumah" Mereka lalu pergi ke rurnah Ustadz Mujab yang tak jauh dari Masjid Ridhwan itu. Ustadz Mujab yang sedang S. 2 di Institut Liga Arab itu hidup di Cairo bersama keluarganya. Bersama anak dan isterinya. Rumahnya sederhana. Namun rurnah itu membuat betah siapa saja yang berkunjung ke sana. Tak lain dan tak bukan, karena keramahan pemilik rumahnya. Yaitu Ustadz Mujab dan isterinya. Setelah duduk diruang tamu beberapa saat, dan teh panas dikeluarkan bersama satu piring roti cokelat, ustadz Mujab bertanya pada Azzam dengan mata memandang lekat-lekat, 89 "Ada urusan apa? Apa yang bisa kubantu?" "Saya sebenarnya malu Ustadz. Saya tidak tahu dari mana saya harus memulai." JawabAzzam. "Tidak usah malu. Jika kebaikan yang dicari tidak usah malu." "Baiklah Ustadz. Saya ingin minta bantuan Ustadz untuk melamar seseorang untuk saya." Kata Azzam dengan suara bergetar. "Oh itu. Begitu saja kok malu. Kamu memang sudah saatnya kok Rul." Ustadz Mujab biasa memanggilnya "Rul" kependekan dari "Khairul" yang diambil dari namanya "Khairul Azzam". Jadi di Cairo ada yang memanggilnya "Mas Khairul", "Mas Insinyur", "Rul", "Irul" dan ada yang memanggil dengan nama belakangnya yaitu ''Azzam". Yang memanggil dengan panggilan Azzam hanya orang orang satu rumahnya saja. Itu pun atas permintaannya. Sedangkan di luar rumah banyak yang memanggil "Khairul" dan "Insinyur". "Aku akan membantu sebisanya. Siapa nama gadis yang kaupilih itu. Dan siapa nama orang tuanya. Orang mana? Kalau di Al Azhar, tingkat berapa?" Ustadz Mujab melanjutkan. 90 Dengan mengumpulkan semua keberaniannya ia menjawab dengan suara bergetar. Dan dengan hati bergetar pula, "Namanya Anna Althafunnisa Putri Pak Kiai Luffi Hakim. Asal Klaten. Kalau tidak salah sekarang sedang program pascasarjana di Kuliyyatul Banat, Al Azhar." Ustadz Mujab kaget mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Azzam. Ia seperti mendengar suara petir yang nyaris merobohkan apartemen di mana dia dan keluarganya tinggal. "Anna Althafunnisa?" Tanya Ustadz Mujab tidak percaya. Azam mengangguk dengan tetap menundukkan kcpala. Ustadz Mujab menghela nafas panjang. Ia seperti hendak mengeluarkan sesuatu yang menyesak di dadanya. "Siapa yang mengabarkan kamu tentang Anna Althafunnisa?" "Ada. Tapi dia tidak mau disebut-sebut namanya Ustadz," Ustadz Mujab kembali menghela nafas panjang. "Allahlah yang mengatur perjalanan hidup ini. Sungguh aku ingin membantumu Rul. Tapi agaknya takdir tidak 91 menghendaki aku bisa membantumu kali ini. Anna Althafunnisa itu masih terhitung sepupu denganku. Aku tahu persis keadaan dia saat ini. Sayang kau datang tidak tepat pada waktuya. Anna Althafunnisa sudah dilamar orang. Ia sudah dilamar oleh temanmu sendiri. "Sudah dilamar temanku sendiri? Siapa?" "Furqan! Ia sudah dilamar Furqan satu bulan yang lalu." Mendengar hal itu tulang-tulang Azzam bagai dilolosi satu per satu. Lidah dan bibirnya terasa kelu. Furqan lagi. Ia berusaha keras mengendalikan hati dan perasaannya untuk bersabar. "Maafkan aku Rul. Aku sarankan kau mencari yang lain saja. Mahasiswi Indonesia di Al Azhar kan banyak. Dunia tidak selebar daun kelor." Ustadz Mujab berusaha menenteramkan. "Iya Ustadz. Tapi saya akan mencari yang sekualitas Anna Althafunnisa. " Ustadz Mujab terhenyak mendengar jawaban Khairul Azzam. Begitu mantapnya ia memasang standar. Ia seolah lah sudah tahu persis Anna Althafunnisa. "Apa kamu sudah pernah ketemu Anna?" "Belum." 92 'Sudah pernah tahu wajahnya?" "Belum." "Aneh. Bagaimana mungkin kau begitu mantap memilih Anna Althafunnisa? Bagaimana mungkin kau menjadikan Anna sebagai standar." "Firasat yang membuat saya mantap Ustadz." "Tapi menikah tidak cukup memakai firasat Rul. Jujur Rul aku sangat kaget dengan standarmu ini. Baiklah aku buka sedikit. Anna adalah bintangnya Pesantren Daaru Quran. Sejak kecil ia menghiasi dirinya dengan prestasi, dan prestasi selain dengan akhlak mulia tentunya. Ia menyelesaikan S.1-nya di Alexandria dengan predikat mumtaz. Kalau ingin memiliki isteri seperti dia. Cobalah kau menstandarkan dirimu dulu seperti dia. Kalau aku jadi orang tuanya, dan ada dua mahasiswa Al Azhar yang satu serius belajarnya yang satu hanya sibuk membuat tempe. Maaf Rul, pasti aku akan memilih yang lebih serius belajamya. Kau tentu sudah paham maksudku. Bukan aku ingin menyinggungmu, tapi aku ingin kau memperbaiki dirimu. Aku ingin kau lebih realistis. Cobalah kauraba apa opini di Cairo tentang dirimu." "Iya Ustadz. Terima kasih. Ini akan jadi nasihat yang sangat berharga bagi saya." Jawab Azzam dengan mata berlinang. Kalimat Ustadz Saiful Mujab sangat berat ia terima. Ia sangat tersindir. Tapi ia tidak bisa berbuat apa apa. Dengan bahasa lain, sebenamya Ustadz Mujab 93 seolah ingin mengatakan bahwa dia sama sekali "tidak berhak" melamar Anna. Atau lebih tepatnya sama sekali "tidak layak" melamar Anna. Hanya mereka yang berprestasi yang berhak dan layak melamarnya. Dan lagi-lagi, prestasi yang dilihat adalah prestasi akademis. Dan di mata orang orang yang mengenalnya di dunia akademis, ia sangat dipandang remeh karena tidak juga lulus dari Al Azhar. Padahal sudah delapan tahun lebih ia menjalaninya. Azzam lalu minta diri. Dalam perjalanan ke rumahnya ia meneteskan air mata. Ia berusaha tegar dan sabar. Namun setegar-tegarnya ia adalah manusia biasa yang memiliki airmata. Ia bukan robot yang tidak memiliki perasaan apa-apa. Ia mengusap air matanya. Ia tidak bisa menyalahkan siapa saja jika ada yang meremehkannya. Karena memang kenyataannya ia belum juga lulus. Ia berusaha meneguhkan hatinya bahwa hidup ini terus bergulir dan berproses. "Baiklah saat ini aku belum berhasil menunjukkan prestasi. Tapi tunggulah lima tahun kedepan. Akan aku buktihan bahwa, aku, Khairul Azzam berhak melamar gadis salehah yang mana saja." Sampai di rumah ia langsung ke kamarnya untuk istirahat. Diatas meja masih tergeletak surat dari Husna, adiknya di Indonesia yang mengabarkan bahwa si kecil Sarah perlu operasi amandel. Dan perlu biaya seragam pondok pesantren. Ia langsung teringat akan tanggung 94 jawabnya sebagai kakak tertua. Ia menangis. Ia merasakan betapa sayangnya Allah kepadanya. Allah masih ingin ia fokus pada tanggung jawabnya membiayai adik-adiknya. Inilah hikmah yang ia dapat dari peristiwa kekecewaannya karena Anna telah dilamar orang lain. "Allah belum mengijinkan aku menikah. Aku masih harus memperhatikan adik-adikku sampai ke gerbang masa depan yang jelas dan cerah. Kalau aku menikah saat ini, perhatianku pada adik-adikku akan berkurang." Ia berbisik pada dirinya sendiri. Ia bertekad untuk menutup semua pintu hatinya. Dan akan ia buka kembali saat nanti sudah pulang ke Indonesia. Setelah ia sudah selesa S.1 dan adik-adiknya sudah bisa ia percaya mampu meraih masa depannya. Tiba-tiba ia tersenyum. "Bodohnya aku kenapa aku memasukkan Eliana dan Anna ke dalam hati. Bodohnya aku. Tugas yang jelas di mata menuntut tanggung jawab saja masih panjang kok malah tergoda dengan yang tidak jelas." Gumamnya lagi pada diri sendiri. Ia menancapkan tekadnya untuk bekerja lebih keras lagi. Dan ia akan belajar lebih keras. Ia ingin sukses dua duanya. Ia lalu teringat harus segera mengirimkan uang ke Indonesia. Ke rekening Husna, agar si Sarah bisa belajar dengan tenang di pesantrennya. Ia ingin adik bungsunya itu menghafal Al-Quran. Tiba-tiba ia rindu seperti apa adik bungsunya itu. Ia tidak tahu seperti apa 95 wajah adiknya itu sebenarnya. Ia hanya tahu wajahnya yang ada di foto. Sebab ia belum pernah bertemu dengannya sama sekali. Saat ia meninggalkan Indonesia dulu, Sarah masih berada dalam kandungan ibunya. "Ah semua sudah ada yang mengatur. Yaitu Allah Subhanahu wa Ta'ala. Jika saatnya ketemu nanti akan ketemu juga." Gumamnya dalam hati. 96 6 LAGU-LAGU CINTA Jam setengah tiga. Purnama bulat sempurna. Bintangbintang bertaburan menghias angkasa. Malam itu Kota Cairo terasa sejahtera. Angin musim semi mengalir semilir. Pelan. Berhembus dari utara ke selatan. Menerobos sela-sela pintu dan jendela apartemen. Menebarkan kesejukan-kesejukan. Dua ekor kucing bercengkerama. Sesekali mengeong. Sesekali menjerit-jerit, melengking lengking membahana. Keduanya kejar-kejaran dengan suara yang sangat gaduh bagi yang mendengarnya. Di taman sebuah apartmen di kawasan Mutsallats, dua ekor kucing itu menikmali indahnya musim semi. Diiringi tasbih daun daun yang dibelai angin musim semi, mereka saling merayu. Mereka mendendangkan lagu-lagu cinta. Ya. 97 Lagu cinta yang sangat indah, yang hanya bisa dipahami oleh mereka berdua. Tak begitu jauh dari situ, sebuah kedai kopi tampak masih ramai. Belasan orang terjaga menikmati musim semi dengan minum kopi, menghisap shisha, main kartu dan berbincang tentang apa saja. Ada yang sedang menikmati film india. Ada juga yang sedang berdiskusi dengan serius. Temanya meloncat -loncat, ke mana-mana. Musim semi memang indah. Paginya indah. Siangnya indah. Sorenya indah. Malamnya pun indah. Lebih lebih bagi mereka yang menikmatmya dengan penghayatan ibadah. Namun demikian, ada juga orang-orang yang sama sekali tidak peduli dengan datangnya musim semi. Ada juga bahkan yang tidak pernah merasakan datangnya musim semi. Mereka bahkan nyaris tidak pernah merasakan adanya pergantian musim. Semua itu, lantaran kerasnya kehidupan yang harus mereka hadapi dan lalui. Lantaran mereka harus terus memeras otak dan menghadapi hidup dengan kucuran keringat dan bekerja tiada henti. Di antara orang-orang yang nyaris tak pernah peduli datangnya musim semi itu adalah "Mas Insinyur" Khairul Azzam, dan beberapa orang mahasiswa yang bekerja dengannya. Malam itu, di kamarnya yang berada di sebuah apartemen, tepat di samping taman di mana ada dua ekor 98 kucing yang sedang mendendangkan lagu-lagu cinta, ia masih juga belum istirahat dari pekerjaannya. Sementara teman-temannya satu rumah sudah larut bermesraan dengan mimpi indahnya masing masing. Azzam masih sibuk berkutat dengan kacang kedelainya yang telah ia beri ragi. Dengan penuh kesabaran ia harus membungkusnya agar menjadi tempe. Sejak lamarannya pada Anna Althafunnisa telah didahului oleh sahabatnya sendiri, Azzam memutuskan untuk total bekerja. Sejak Ustadz Mujab menyarankan agar ia mengukur dirinya, ia memutuskan untuk total membaktikan diri pada ibu dan adik-adiknya di Indonesia. Ia niatkan itu semua sebagai ibadah dan rahmah yang tiada duanya. Ia juga meniatkannya sebagai tempaan dan pelajaran hidup yang harus ia tempuh di universitas besar kehidupan. Ia yakin, semua itu tidak akan sia-sia. Bukankah Allah tak pernah menciptakan segala sesuah dengan kesia-siaan. Ia tidak lagi memiliki mimpi yang melangit tentang calon isteri. Ia sudah bisa mengaca diri. Ia yakin jodohnya telah ada, telah disiapkan oleh Allah Swt. Maka ia tidak perlu kuatir. Jodoh adalah bagian dari rezeki. Rezeki seseorang sudah ada jatahnya. Dan jatah rezeki seseorang tidak akan diambil oleh orang lain. Begitulah yang tergores dalam pikirannya. Maka ia merasa tenang dan tenteram. Tetapi tempaan hidup, ilmu hidup harus diusahakan. Allah tidak akan menambah ilmu seseorang kecuali seseorang itu berusaha menambah ilmunya. Ia merasa bekerja serius adalah bagian dari upaya menambah ilmu dan bagian dari usaha mengubah nasib. 99 Sejak peristiwa itu ia merasa harus lebih serius menghadapi hidup. Ia mulai membangun diri untuk berproses tidak hanya sukses secara bisnis, tapi juga sukses secara akademis. Ia mulai menata diri untuk menyelesaikan S.1 tahun ini juga. Setelah itu ia tetap akan belajar dan belajar tiada hentinya. Wajahnya tampak lelah. Kedua matanya telah merah. Namun sepertinva ia tak mau menyerah. Dalam kondisi sangat letih, ia harus tetap bekerja. Ia tak mau kalah oleh keadaan. Ia tak mau semangatnya luntur begitu saja oleh rasa kantuk yang terus menderanya. Bila sudah begitu, ia selalu ingat perkataan Al Barudi yang selalu melecut jiwanya, Orang yang memiliki semangat. Ia akan mencintai semua yang dihadapinya. Ia melihat jam yang tergantung di dinding kamarnya. Ia menghela nafas dalam-dalam. Sudah masuk ujung malam, dua jam lagi pagi datang. Ia harus menyelesaikan pekerjaannya dengan segera. Ia harus punya waktu untuk istirahat, meskipun cuma satu jam memejam mata. Ia lalu berdiri dan menggerak-gerakkan tubuhnya untuk menghilangkan rasa linu dan pegal yang begitu terasa. Dua menit ia melakukan gerakan senam ringan. Lalu kembali jongkok. Dan kembali membungkus kedelai calon tempe dengan penuh ketelitian dan kesabaran. 100 Tepat pukul tiga kurang lima menit ia berdiri dan bernafas lega. Pekerjaannya telah usai. Masih ada sedikit waktu untuk istirahat sebelum Subuh tiba. Alat-alat kerjanya ia rapikan. Ia letakkan pada tempatnya. Segera ia membersihkan tangannya dan mengambil air wudhu. Sebelum merebahkan badannya di atas tempat tidur, terlebih dahulu ia sempatkan dirinya untuk shalat tahajud dua rakaat lalu shalat Witir. Ia membaca tasbih sambil mengatur jam bekernya. Lalu perlahan tidur. Baru saja matanya terpejam, ia mendengar namanya dipanggil-panggil pelan. Pintu kamamya juga diketuk, pelan. "Kang Azzam... Kang Azzam!" Dengan perasaan sangat berat, kepala sedikit pusing, ia bangkit. "Siapa? " tanyanya. "Hafez Kang." Azzam turun dari tempat tidurnya dan beranjak membuka pintu kamarnya. Di depan pintu kamarnya berdiri seorang pemuda berkaca mata. "Ada apa Fez?" tanya Azzam. "Maaf Kang, saya tidak kuat lagi. Saya tidak bisa tidur Kang. Saya tidak tahu harus bagaimana? Saya perlu 101 orang yang saya ajak bicara. Saya mau minta pertimbangan Kang Azzam. Saya tidak kuat lagi Kang." Jelas Hafez dengan suara serak. "Masih tentang perasaanmu pada Cut Mala?" "Iya Kang." "Aku tahu kau pasti berat menanggung perasaan itu Fez. Tapi afwan 11 , aku belum tidur. Aku harus istirahat. Bila tidak aku bisa ambruk. Nanti saja kita bicarakan Setelah shalat Subuh ya. Kau baca Al-Quran saja sana untuk menenangkan jiwa sambil menunggu Subuh. Nanti kalau sudah Subuh aku dan teman-teman dibangunkan. Gitu ya?" "Tidak bisa sekarang Kang?" "Aku tidak kuat Fez. Aku baru saja selesai membungkusi tempe. Aku sangat lelah. Aku butuh istirahat." "Baiklah Kang. Setelah shalat Subuh." Pemuda berkaca mata itu beranjak ke kamamya. Azzam menutup kamarnya. Tanpa dikunci. Ia merebahkan badannya. Ia tahu Hafez menghadapi masalah serius. Tapi ia perlu istirahat. Dan membicarakannya setelah Subuh ia rasa tidak terlambat. Subuh sudah sangat dekat. Ia kembali berdoa, memejamkan mata dan tidur. Lelap. 11 Maaf 102 Sementara Hafez keluar dari kamamya dengan membawa mushaf. Ia mengikuti saran Azzam. Di ruang tamu ia membaca Al-Quran dengan suara pelan. Ia sama sekali tidak bisa berkonsentrasi menghayati dan mentadabburi apa yang dibacanya. Pikirannya tetap saja tertuju pada Cut Mala. Ia sendiri tidak tahu kenapa satu bulan ini hati dan pikirannya tidak bisa lepas dari Cut Mala. Mahasiswi Al Azhar dari Aceh yang tak lain adalah adik kandung teman yang paling akrab dengannya, yaitu Fadhil. Ia tidak menyadari bahwa perasaan cintanya pada gadis Aceh itu tumbuh dengan begitu lembut dan perlahan. Dan sekarang perasaan itu sudah sedemikian membuncah. Berbunga-bunga. Bahkan nyaris tak bisa dikuasainya. Sedemikian membuncahnya perasaan itu, hingga ia tak bisa berbuat apa-apa. Padahal saat itu, ia harus konsentrasi memikirkan ujian Al Azhar yang tinggal satu bulan lagi. Yang ada dalam pikiran dan hatinya selalu saja Cut Mala. Wajah Cut Mala. Suara Cut Mala. Langkah kaki Cut Mala. Budi bahasa Cut Mala. Gaya bahasa Cut Mala. Tingkah laku dan perangainya yang halus, sopan, dan sangat menjaga diri. Prestasi prestasinya yang selalu terukir dengan gemilang. Bahkan pendapat-pendapatnya yang tertuang dalam pelbagai buletin kemahasiswaan di Cairo. Itu semua telah membuat hati Hafez begitu kagum padanya. Ah, tak hanya kagum, tapi ada sesuatu yang aneh mendera-dera hatinya, entah apa namanya. Ia 103 merasa, di dunia ini tak ada gadis yang ia anggap sempurna untuk menjadi pendamping hidupnya, menjadi ibu dari anak-anaknya, selain gadis dari Tanah Rencong itu. Sehap kali ia mendengar nama itu disebut, hatinya selalu bergetar. Berdesir-desir. Disebut oleh siapa saja. Termasuk ketika ia mendengar nama itu disebut oleh Fadhil kakak kandung Cut Mala sendiri. Dan setiap kali ia membaca nama gadis kelahiran Ulee Kareng Banda Aceh itu tertulis di buletin, buletin apa saja. rasa cintanya bertambah-tambah. Ia merasa sudah nyaris gila. Ia sadar perasaan seperti itu tidak boleh menjajah dirinya. Tapi entah kenapa ia merasa sangat tidak berdaya. Ia membaca Al-Quran dengan perlahan dan ia kembali tidak berdaya. Cut Mala hinggap lagi di kelopak matanya. Sudah sekuat tenaga ia mengusir kelebatan bayangan Cut Mala, tapi tak kuasa. Semakin ia coba mengusirnya, justru semakin jelas bayangan Cut Mala bersemayam di benaknya. Ia benarbenar tak berdaya. Dalam ketidak berdayaan, kehadiran bayangan Cut Mala, malah ia rasakan sebagai sebuah kegilaan dan kenikrnatan, kenikmatan dan kegilaan. Bagaimana tidak. Saat ia berusaha mentadabburi apa yang ia baca, saat itu justru muncul bayangan yang tidak-tidak di benaknya: "Seandainya ia telah menikah dengam Cut Mala, lalu di 104 penghujung malam seperti itu ia membaca Al-Quran bareng Cut Mala. Bergantian. Terkadang ia yang membaca, Cut Mala yang mendengarkan. Atau Cut Mala yang membaca, ia yang menyimak dengan seksama. Alangkah indahnya. Alangkah indahnya.” Ia memejamkan mata. Setetes airmata jatuh ke mushaf yang ia baca. Ia sesenggukan. Menangis dengan perasaan cinta, sedih, rindu dan merasa berdosa bercampur jadi satu. "Ya Allah, ampuni dosa hamba-Mu ini. Ya Allah, jika yang kurasakan ini adalah sebuah dosa maka ampunilah dosa hamba-Mu yang lemah ini." Dalam doa dan istighfarnya, ia sangat berharap bahwa Allah Swt. mengasihi orang-orang yang sedang jatuh cinta seperti dirinya. *** Di ufuk timur, langit menyemburatkan warna merah. Fajar perlahan menyingsing. Sebuah menara mengumandangkan azan. Disusul menara kedua. Beberapa detik kemudian azan berkumandang dari beribu menara yang menjulang di Kota Cairo. Azan dari menara Masjid Ar Rahmah membangunkan Cut Mala yang tinggal di kawasan Masakin Utsman. Tepatnya 105 Masakin Utsman 72/605, tak jauh dari Masjid Ar Rahmah yakni masjid yang oleh orang-orang Indonesia disebut "Masjid Planet". Disebut "Masjid Planet" karena bentuknya yang tidak seperti masjid pada umumnya, tapi mirip bangunan dari planet lain.Ada juga yang menyebut "Masjid UFO", karena bentuknya agak mirip UFO. Gadis Aceh itu membangunkan teman-temannya. Ketika ia masuk kamar Tiara, ia mendapati kakak kelasnya itu masih bersimpuh di atas sajadahnya dengan terisak-isak. Ia tidak ingin mengganggunya. Cut Mala atau lengkapnya Cut Malahayati, tinggal di dalam flat yang cukup luas itu dengan empat orang mahasiswi. Flat itu memiliki tiga kamar tidur berukuran cukup luas. Satu dapur. Satu kamar mandi. Balkon. Dan ruang tamu yang juga luas. Flat itu tergolong mewah. Semua lantainya full karpet. Di ruang tamu ada seperangkat sofa yang diimpor dari Italia. Dapur full keramik. Dan kamar mandi yang tak kalah dengan hotel bintang tiga. Flat itu juga dilengkapi telpon, pemanas air, kulkas, kompor gas bahkan pengatur suhu udara diruang tamu. Cut Mala dan teman-temannya bisa dikatakan beruntung. Sebab untuk flat yang semewah itu mereka hanya membayar tiga ratus pound perbulan. Untuk ke kuliah pun seringkali ia memilih jalan kaki. Sebab flatnya dengan kuliah banat tidaklah jauh. 106 Pemilik flat itu bernama Madam Zubaida. Seorang pengusaha yang kaya. Ia memiliki perusahaan travel dan beberapa toko sepatu di Cairo dan Alexandria. Madam Zubaida sangat pemurah dan baik hati. Ia memiliki tiga orang anak. Satu putri, dua putra. Dua anaknya berada di luar negeri. Yang putri bemama Yasmin, sedang kuliah di Prancis, dan telah menikah dengan seorang staf Kedutaan Mesir di Paris. Anaknya yang nomor dua, kuliah di Istanbul. Hanya si Bungsu yang menemaninya. Masih kuliah di Fakultas Kedokteran Cairo University. Setahu Cut Mala, Madam Zubaida memiliki tiga rumah di Cairo. Satu di kawasan Mohandisin yang ia tempati bersama putra bungsunya. Yang kedua di kawasan Ma'adi, dan yang ketiga di Masakin Utsman Nasr City yang disewakan kepada mahasiswi dari Indonesia. Tujuan Madam Zubaida menyewakan flatnya di Masakin Utsman memang tidak semata mata untuk mendapatkan uang, tapi agar flatnya ada yang menjaga, merawat dan mengurusnya. Maka ia hanya percaya pada para mahasiswi. Khususnya mahasiswi Indonesia. Kebetulan Madam Zubaida pernah memiliki seorang pembantu perempuan dari Indonesia. Madam Zubaida sangat terkesan dengan kehalusan budi dan ketelatenan pembantunya itu dalam mengurus rumahnya. Maka sejak itu ia sangat percaya pada perempuan dari Indonesia. Perempuan Indonesia memang luar biasa di mata Madam Zubaida. Setiap bulan Madam Zubaida datang mengontrol keadaan flatnya pada hari yang tidak ia tentukan. Dan ia 107 selalu puas, karena para mahasiswi dari Indonesia yang meninggali flatnya benar-benar menjaga dan merawat flatnya dengan baik. Cut Mala dan teman temannya bahkan selalu menjaga seluruh ruangan flat itu dengan pengharum ruangan, agar selalu segar dan wangi udaranya. Bisa dikatakan, seluruh penghuni rumah itu adalah mahasiswi yang bernaung dalam Keluarga Mahasiswa Aceh. Cut Mala dari Pidie dan Tiara dari Banda Aceh. Keduanya benar-benar asli Aceh, maksudnya kedua orangtua mereka memang asli Aceh. Selain mereka berdua ada Cut Rika dan Masyithah. Keduanya tidak berdarah Aceh murni, namun tidak ada bedanya dengan yang berdarah Aceh.Cut Rika, lahir di Peukan Bada, Aceh Besar, tapi ia besar dan menghabiskan masa remajanya di rumah neneknya di Bandung. Ayahnya asli Peukan Bada, ibunya asli Bandung. Dan terakhir adalah Masyithah, gadis paling cantik di rumah itu. Bahkan, mungkin mahasiswi Indonesia paling cantik di Cairo. Hanya saja tidak banyak yang tahu seperti apa sesungguhnya kecantikannya. Sebab, dalam keseharian ia selalu memakai cadar. Masyithah lahir di Aceh, ayahnya asli Syiria, ibunya asli Pakistan. Jadi sama sekali tidak ada darah Aceh yang mengalir dalam dirinya. Tapi sejak pertama kali melihat dunia ia telah jadi orang Aceh. Masyithah lahir di Banda Aceh saat ayahnya mendapat tugas dari Rabithal 'Alam Islami untuk mengajar di IAIN 108 Ar Raniry. Saat melahirkannya, ibunya meninggal dunia Ayahnya tetap teguh untuk menyelesaikan tugasnya berdahwah dan mengajar di Aceh. Ia dirawat oleh seorang gadis dokter yang membantu kelahirannya. Entah bagaimana awalnya, akhimya dokter asli Aceh yang merawatnya itu berhasil disunting ayahnya. Dialah ibunya, yang ia kenal sekarang. Meskipun sesungguhnya ia ibu tiri, tapi ia tak pernah merasa menjadi anak tiri. Sejak itu ayahnya pindah kewarga-negaraan menjadi orang Indonesia. Sekarang ayahnya bekerja di Kedutaan Besar Syiria di Jakarta. Sementara ibunya bekerja di RSCM Jakarta. Masyithah sudah bisa berbahasa Arab sejak kecil. Maka wajar jika ia paling fasih berbahasa Arab di rumah itu. Selain bahasa Arab, ia juga fasih berbahasa Indonesia dan Aceh. Cut Mala dan teman-temannya menjalankan shalat Subuh berjamaah. Mereka menggelar sajadah di ruang tamu. Yang menjadi imam pagi itu Cut Rika. Mahasiswi tingkat tiga jurusan tafsir itu membaca surat An Nisa'. Bacaannya tartil dan fasih. Suaranya indah. Semuanya larut dalam penghayatan kalam ilahi. Usai shalat mereka zikir, mengingat Allah Swt., lalu membaca Al Ma' tsurat. 12 Setelah itu mereka kembali ke kamarnya masing-masing untuk tilawah. Cut Mala mengikuti Masyithah masuk kamar. Mereka berdua memang tinggal dalam kamar yang sama. 12 Kumpulan dzikir dan doa dari Rasulullah Saw. Yang dibaca pada pagi dan sore hari 109 Keduanya lalu larut dalam tadarus Al-Quran. Cut Mala terus membaca. Sementara Masyithah menyudahi bacaannya. Ia menyalakan komputernya. Tiara mendekati Cut Mala. Cut Mala menyudahi bacaannya. "Mau aku ajak jalan jalan Dik Mala? " Lirih Tiara. "Mau Kak." "Yuk kita keluar. Kita ke Hadiqah Dauliyah. Sekalian menghirup udara pagi. Aku ingin sedikit bicara denganmu. " "Ayuk." Cut Mala melepas mukenanya. Memakai jubah hijau tuanya dan memakai jilbab hijau mudanya. Setelah yakin dengan penampilannya ia melangkah keluar kamar mengikuti Tiara. Masyithah yang mengetahui ke mana mereka akan pergi berteriak, ''Jangan lupa nanti mampir beli roti." "Insya Allah. " Jawab Cut Mala. * * * Usai shalat Subuh, Azzam tetap di masjid, demikian juga Hafez. Azzam membaca dua halaman mushafnya lalu mendekab Hafez yang duduk terpekur tak jauh darinya. 110 Beberapa orang Mesir duduk melingkar untuk membaca Al-Quran bergantian. Biasanya Azzam menyempatkan ikut, tapi kali ini ia sudah berjanji pada Hafez. "Sebaiknya kita berbincang-bincang di luar sana sambil berjalan-jalan dan menghirup udara pagi" kata Azzam pada Hafez. Hafez mengangguk. Keduanya keluar meninggalkan masjid dan berjalan menelusuri trotoar ke arah Mahatta Gami'. "Kau bilang kau akan konsentrasi pada studimu Fez. Apa kau lupa dengan itu?" Kata Azzam seraya menghentikan langkahnya. Hafez juga menghentikan langkahnya. "Aku inginnya begitu Kang. Tapi entah kenapa aku sama sekali tidak bisa melupakan dia. Aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Aku bingung aku harus bagaimana. Saat shalat, aku membayangkan jika shalat bersamanya. Saat membaca Al-Quran aku membayangkan jika aku membaca Al-Quran bergantian dengannya. Saat berdoa pun aku juga mengingat dirinya. Aku harus bagaimana Kang?" "Ini penyakit, kau harus sadar itu Fez!" "Aku sadar Kang, sangat sadar. Aku tak boleh membayangkan wajahnya. Itu tidak boleh. Itu haram.Tapi bayangan wajahnya datang begitu saja Kang. Aku bisa gila Kang. Aku rasa satu-satunya jalan aku 111 harus berterus terang pada Fadhil, bahwa aku mencintai adiknya dan aku langsung akan melamarnya dan menikahinya secepatnya" Azzam tersenyum. "Itu pikiran yang bagus. Menikah. Tapi masalahnya apa kamu yakin adik si Fadhil. Siapa itu namanya Cut Nala?" "Bukan Nala Kang, Mala." " O ya Cut Mala. Apa kamu yakin dia siap untuk menikah. Dia baru tingkat dua. Sedang asyik-asyiknya merasakan dinamika hidupnya sebagai seorang mahasiswi. Bahkan seorang aktivis. Terus kalau dia siap menikah apa kamu yakin dia mau menikah denganmu? " "Lalu aku harus bagaimana Kang?" "Kau harus melupakannya. Jika dia jodohmu, percayalah, dia tidak akan ke mana-mana. Dia tidak akan diambil siapapun juga." "Tapi rasanya sangat susah Kang." "Aku tahu. Selama kau masih satu rumah dengan Fadhil kau takkan bisa melupakannya. Aku tahu setidaknya tiap dua hari sekali Fadhil mendapatkan telpon dari adiknya, dan sebaliknya Fadhil juga sering menelpon adiknya. Terkadang tanpa sadar Fadhil menyebut nama adiknya itu di depanmu, di depan kita-kita. Bagi orang lain yang 112 tak memiliki perasaan apa-apa, mendengar namanya mungkin tak ada masalah. Tapi bagi kamu, itu sama saja air hujan menyirami tanaman yang mengharap air. Belum lagi kalau adiknya itu datang mengantar sesuatu, yang terkadang mengantar makanan untuk kakaknya. Ya untuk kakaknya, tapi kita ikut menyantap masakannya. Bagi yang lain mungkin tidak masalah, tapi bagimu menyantap masakannya akan mengobarkan bara asmara yang mungkin susah payah kau padamkan. Jika kau nekat berterus terang pada Fadhil saat ini, percayalah kau bisa merusak segalanya. Kau bisa merusak dirimu sendiri. Merusak hubunganmu dengan Fadhil. Bahkan juga bisa merusak Cut Mala." "Kok bisa sejauh itu efeknya Kang?" "Keinginan menikah itu baik. Keinginan melamar seseorang juga tidak salah. Namun jika waktunya tidak tepat, yang didapat bisa hal yang tidak diinginkan. Kau tentu tahu saat ini sudah sangat dekat dengan ujian. Waktunya orang konsentrasi pada ujian. Kalau kau membuka perasaan dan keinginanmu saat ini, pasti bisa membuyarkan konsentrasi Fadhil, juga adiknya Cut Mala. Bahkan jika Cut Mala pun siap menerimamu. Konsentrasinya pada pelajaran akan buyar dan beralih memikirkan lamaranmu. Apalagi jika ia sebenamya tidak siap menikah. Fadhil juga akan sangat memikirkan hal itu. Sebab, kau adalah temannya, dan Cut Mala adalah adiknya. Jika Cut Mala menolak lamaranmu Fadhil pasti akan sangat tidak enak padamu. Belum lagi hal-hal lain di luar prediksi kita. Saya pernah mendapat cerita dari 113 seorang bapak di KBRI, ada seorang mahasiswi gagal ujiannya gara-gara dilamar oleh seseorang lewat telpon dan mahasiswi itu tidak siap menerima lamaran itu. Konsentrasinya buyar dan ujiannya gagal. Apa tidak kasihan kalau itu terjadi pada Cut Mala." "Terus saya harus bagaimana Kang?" "Kau harus berhasil mengatasi dirimu. Kau harus bisa mengatasi perasaanmu. Jangan kau korbankan orang lain. Sebaiknya untuk sementara, kau mengungsilah yang jauh supaya bisa konsentrasi belajar. Nanti setelah ujian selesai, aku akan membanturnu membicarakan hal ini dengan Fadhil. Ini lebih baik bagimu dan bagi semuanya. Percayalah, siapa jodohmu, sudah ditulis di Lauhul Mahfudz. Kau jangan kuatir. Jika memang yang tertulis untukmu adalah Cut Mala, Insya Allah tidak akan ke mana-mana." "Baiklah Kang. Aku ikut saranmu. Tapi janji ya Kang, setelah ujian selesai nanti akan membanlu berbicara dengan Fadhil." "Ya, aku janji." * * * Cut Mala dan Tiara keluar flat dan turun menggunakan lift. Mereka lalu berjalan ke selatan menuju Hadiqah Dauliyah. Sebuah taman kota di Nasr City yang sangat 114 dibanggakan oleh orang Mesir. Taman yang terdiri hanya atas beberapa hektar itu, mereka sebut Hadiqah Dauliyah, artinya International Garden, Taman Internasional. Mahasiswa Indonesia sering menertawakan orang Mesir begini, "Kita saja orang Indonesia yang memiliki taman sangat luas, replika dari suku bangsa Indonesia, untuk mengitarinya tidak cukup dengan jalan kaki. Kita masih menamakan taman mini. Kita menyebutnya Taman Mini Indonesia Indah. Sedangkan ini taman yang cuma beberapa hektar saja sudah disebut Taman Internasional. Terkadang orang Mesir menjawab dengan santai, "Itulah bedanya orang Indonesia dengan orang Mesir. Orang Indonesia terlalu rendah diri, terlalu minder dengan kemampuannya, dan tidak bisa memotivasi diri. Sedangkan orang Mesir selalu percaya diri. Selalu bisa memotivasi diri! Kita bisa menginternasionalkan yang kecil." Maka biasanya orang Indonesia akan diam sambil terus menggerutu di dalam hati, "Dasar orang Mesir anak Fir'aun, sombong sekali!" Cut Mala dan Tiara sudah sampai di gerbang Hadiqah. Gerbang baru saja dibuka. Beberapa orang Mesir masuk. Mereka berpakaian olah raga. Dua gadis Aceh itu masuk. Tiara mengajaknya duduk di sebuah bangku panjang. Langit tampak cerah. Burung burung beterbangan dari pohon ke pohon. Dari arah timur, di antara gedunggedung bertingkat muncul cahaya kemerahan yang perlahan menjadi kekuning-kuningan. Matahari muncul seolah tersenyum pada bumi. 115 "Mau bicara tentang apa Kak?" Tanya Cut Mala. "Aku mau sedikit minta tolong padamu Dik." Jawab Tiara. "Apa itu Kak?" "Begini, aku sedang sedikit menghadapi masalah serius. Aku minta kamu tidak membuka hal ini kepada siapapun juga. Kemarin aku mendapat telpon dari Aceh. Dari ayah. Beliau bilang, aku dilamar oleh seorang Ustadz. Namanya Ustadz Zulkifli. Dia adalah salah seorang ustadz di pesantren kakak dulu. Namun dia tidak pernah mengajar kakak. Karena ketika dia masuk pesantren, kakak sudah kelas dua aliyah. Dan dia mengajar di kelas satu. Jadi kakak tidak tahu persis bagaimana sebenamya dia. Ayah cerita, katanya Ustadz Zulkifli pernah satu pesantren dengan Kak Fadhil, kakakmu. Aku minta tolong sampaikanlah keadaanku ini pada Kak Fadhil. Aku sebaiknya mengambil keputusan apa? Harus aku terimakah lamarannya atau bagaimana? Dua hari lagi ayah mau menelpon untuk meminta kepastianku. Ayah menyerahkan sepenuhnya padaku." "Sebenarnya dari hati nurani paling dalam Kak Tiara bagaimana? Menerima atau menolak? " "Aku tidak tahu Dik. " 116 " Reaksi hati pertama kali mendengar lamaran itu bagaimana Kak?" "Biasa-biasa saja. Karena sebenarnya aku belum ingin menikah. Aku ingin menikah setelah selesai kuliah. Tapi ayah bilang jika aku mau, Ustadz Zulkifli akan menyusul ke Mesir. Aku belum bisa mengambil keputusan. Tolong ya sampaikan hal ini pada Kak Fadhil. Aku ingin tahu pendapat dia sebagai pertimbangan. Dia mungkin kenal baik Ustadz Zulkifli, dan dia juga tahu tentang diriku. " "Baiklah Kak, amanah kakak segera saya tunaikan, Insya Allah. " Hati Tiara merasa lega mendengar jawaban Cut Mala. Sebenarnya ia ingin mengatakan pada Cut Mala, bahwa ia mencintai Fadhil, kakaknya, tapi ia tidak sampai hati menyampaikannya. Rasa malulah yang menghalanginya. Selama ini ia hanya bisa meraba tanpa bisa memastikan apakah Fadhil memiliki perasaan yang sama ataukah tidak. Ia ingin mendengar komentar Fadhil tentang masalahnya untuk sedikit mencari petunjuk dan isyarat seperti apa sesungguhnya sikap Fadhil kepadanya. Ia ingin mencari petunjuk bahwa Fadhil juga mencintainya. Jika ya, ia akan lebih memilih hidup bersama orang yang dicintainya. Ia sangat yakin Fadhil orang yang baik dan saleh, demikian juga Ustadz Zulkifli. Jika demikian, bila disuruh memilih yang sama baiknya, tentu ia akan memilih yang telah diterima oleh hatinya. Namun, ia merasa jodoh terkadang tidak bisa 117 dipilih. Jodoh dalam keyakinannya adalah dipilih. Ya, dipilihkan oleh Allah. Manusia hanya berusaha, berikhtiar. Dan apa yang ia lakukan pada pagi buta dimusim semi itu ia yakini sebagai salah satu dari ikhtiarnya. Ia tidak bisa menampik bahwa ia mencintai Fadhil, dengan diam-diam. Namun ia tidak yakin cinta seperti yang ia rasakan akan kekal. Baginya, cinta yang kekal adalah untuk orang yang secara sah menjadi suaminya, Dan ia tidak memungkiri, ia ingin orang itu adalah Fadhil. Sekali lagi jika boleh memilih. Tiara bangkit diikuti Cut Mala. Keduanya berjalan mengitari taman. Orang-orang Mesir semakin banyak berdatangan. Ada yang berlari-lari kecil. Ada yang hanya berjalan jalan. "Berarti Ustadz Zulkifli itu pernah belajar di Pesantren Ar Risalah Medan Kak?" tanya Cut Mala. Ia bertanya begitu karena Fadhil, kakaknya menyelesaikan pendidikan menengahnya di pesantren itu. "Iya. Setahu saya, dia waktu MTs dan Aliyahnya di Pesantren Ar Risalah, lalu kuliah di LIPIA Jakarta Prograrn I’dadul Lughah, setelah itu ia mengajar di pesantren kakak." Jelas Tiara panjang lebar. "Dia tampan nggak Kak?" 118 "Aku tak ingat lagi wajahnya Dik. Kenapa kau tanya begitu.?" "Memang tidak boleh, Kak?!" "Ya boleh saja. Tapi kenapa kau tanya begitu?" "Kalau dia tampan, ya diterima saja Kak." "Kalau tidak tampan?" "Ya terserah Kakak. Kan Kakak yang mengambil keputusan, dan kakak pula yang akan menjalaninya bukan Mala, hi... hi... hi...." Cut Mala cekikikan. Dua lesung di pipinya menambah pesona wajahnya. Tiara gemas dibuatnya. 119 7 SMS UNTUK ANNA Gadis itu berjalan dengan hati berselimut cinta. Hatinya berbunga-bunga. Siang itu, Cairo ia rasakan tidak seperti biasanya. Musim semi yang sejuk, matahari yang ramah, serta senyum dari Profesor Amani saat memberinya ucapan selamat dan doa barakah. Semua melukiskan suasana indah yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia merasakan begitu dalam rahmat dan kasih sayang Allah kepadanya. Ia berjalan dengan hati berselimut cinta. Kedua matanya basah oleh air mata haru dan bahagia. Itu bukan kali pertama ia menangis bahagia. Ia pernah beberapa menangis bahagia. 120 Dulu, begitu kedua kakinya untuk pertama kalinya menginjak tanah Mesir, ia menangis. Juga saat berhasil lulus S.1 dua tahun yang lalu dengan predikat mumtaz, atau summa cumlaude. Ialah mahasiswi dari Asia Tenggara pertama yang berhasil meraih prestasi ini. Ia juga menangis penuh rasa syukur ketika berhasil lulus ujian tahun kedua pasca sarjana. Lulus setelah melewati ujian tulis dan ujian lisan yang berat. Dalam ujian lisan ia harus berhadapan dengan empat profesor. Lulus juga dengan nilai mumtaz, sehingga ia berhak untuk mengajukan judul tesis. Saat itu ia merasakan betapa dekatnya Allah 'Azza wa Jalla. Betapa sangat sayanya Allah kepadanya. Doa dan usaha kerasnya senantiasa dijabahi oleh-Nya. Dan hari ini, ia kembali menangis. Menangis bahagia. Hatinya dipenuhi keharuan -luar biasa. Batinnya terus bertasbih dan bertahmid. Jiwanya mengalunkan gerimis Subhaana Rabbiyal a'la wa bihamdih. Subhaana Rabbiyal a'la wa bihamdih. Subhaana Rabbiyal a’1a wabihamdih... Ia bertasbih. Proposal tesisnya langsung diterima tanpaa menunggu waktu yang lama. Hanya satu bulan saja sejak proposal tesisnya itu ia ajukan ke Qism Diraasat 'Ulya. 13 Ia kembali menangis. Ia kembali teringat kata abahnya tercinta, 13 Program Pascasarjana 121 "Anakku, alangkah indahnya jika apa saja yang kau temui. Apa saja yang kaurasakan. Suka, duka, nikmat, musibah, marah, lega, kecewa, bahagia. Pokoknya apa saja, Anakku. Bisa kau hubungkan derngan akhirat, dengan hari akhir. Dengan begitu hatimu akan sangat peka menerima cahaya hikmah dan hidayah. Hatimu akan lunak dan lembut Selembut namamu. Dan tingkah lakumu juga akan tertib setertib namamu!" Wajah abahnya seperti di depan mata. Saat itu ia bingung dengan maksud menghubungkan yang ditemui dan dirasakan dengan akhirat. Abah sepertinya tahu akan kebingungannya, maka abah langsung menyambung, "Begini Anakku, jika suatu ketika kau dimurkai ibumu misalnya, carilah sebab kenapa kau dimurkai ibumu. Hayati perasaanmu saat itu, saat kau dimurkai. Ibumu murka kemungkinan besar karena kau melakukan suatu kesalahan, yang karena kesalahamnu itu ibumu murka. Dan saat kau dimurkai pasti kau merasakan kesedihan, bercampur ketakutan dan juga penyesalan atas kesalahanmu. Itulah yang kau temui dan kau rasakan, saat itu. Lalu hayati hal itu sungguh sungguh, dan hubungkan dengan akhirat. Bagaimana rasanya jika yang murka kepadamu adalah Allah. Murka atas perbuatanperbuatanmu yang membuat-Nya murka. Bagaimana perasaanmu saat itu. Mampukah kau menanggungnya. Jika yang murka adalah ibumu, kau bisa meminta maaf. Karena kau masih ada di dunia. Jika di akhirat bisakah minta maaf kepada Allah saat itu? " 122 Airmatanya kembali meleleh. "Terima kasih Abah!" Lirihnya. Kata-kata abahnya itu memang sangat membekas dalam dirinya. Kata-kata abah saat berusaha menghiburnya kala ia dimurkai ibunya liburan tahun lalu. Ia dimurkai gara-gara asyik membaca saat diminta ibunya mengupaskan mangga keponakannya si Kecil Ilham— putra kakak sulungnya. Saat itu ia hanya menjawab "Inggih, sekedap'' 14 dan ia masih konsentrasi membaca buku yang baru ia beli dari Shopping Centre Jogja. Ia tidak memperhatikan pisau dan mangga yang diletakkan oleh lbu di samping kanannya. Sementara ia terus asyik membaca, si Kecil rupanya tidak sabar. Diam-diam ia mengambil pisau dan berusaha mengupas sendiri. Akibatnya, jari si Kecil kepiris, darah mengalir dari jarinya dan harus dilarikan ke puskesmas. Ia dimurkai ibunya habis-habisan, buku yang ia baca dibakar oleh ibunya. "Buku setan! Apa hidup hanya untuk membaca! Apa belajar bertahun-tahun di Mesir masih kurang hah! Apa ilmu hanya ada dalam buku! Peka pada anak kecil apa juga tidak perlu ilmu! Apa gunanya jadi sarjana, lulusan Al Azhar kalau tidak tanggap sasmita, kalau disuruh ibunya tidak segera beranjak!" Saat itu ia benar-benar sangat menyesal. Ia merasa begitu kerdil. Kesalahannya seolah tidak bisa ditebus, tidak termaafkan. Merasa menjadi orang paling berdosa 14 Ya Sebentar 123 di dunia. Ibu tidak pernah marah bila ia membaca buku. Tapi saat itu beliau sangat murka justru dikarenakan keasyikannya membaca buku. Abah menghiburnya. Itu baru ibu yang murka, bagaimana jika Allah yang murka? Dan hari berikutnya, ibu sudah tersenyum padanya, sudah melupakan semua kesalahannya. Si Kecil Ilham seperti tidak merasakan sakit pada jarinya saat ia ajak main bongkar-pasang balok susun. Dia terus berjalan. Kakinya melangkah menyeberangi jalan raya dan rel metro yang melintas di depan Kulyyatul Banat. Sinar matahari begitu cerah dan bening, tidak seperti saat musim panas atau musim dingin. Sesekali ia mengusap matanya yang sembab dengan sapu tangannya. Sesungguhnya yang membuat dia menangis tidaklah semata-mata rasa bahagia karena proposal tesisnya diterima dalam waktu begitu singkatnya, sementara ada mahasiswi yang sudah dua kali mengajukan proposal tesis dan sudah menunggu satu tahun tapi belum juga diterima. Namun yang membuatnya menangis, karena ia teringat, bahwa yang dirasakannya barulah kebahagiaan duniawi, belum ukhrawi. Begitu bahagianya ia, ketika jerih payahnya, kerja kerasnya memeras otak, pontang-panting ke perpustakaan Shalah Kamil dan IIIT Zamalek, membuka dan menganalisis ratusan referensi akhirnya membuahkan 124 hasil yang melegakan jiwa. Begitu hahagianya hatinya saat diberi ucapan selamat oleh Profesor Amani. Benarlah kata pepatah, siapa menanam, dia mengetam. Baru proposal tesis yang diterima, ia begitu bahagianya. Baru ucapan selamat dari Profesor Amani, ia begitu bangganya. Kalimat Guru Besar Ushul Fiqh yang sangat dicintai para mahasiswinya itu masih bergema dalam jiwanya : "Selamat Anakku, semoga umurmu penuh barakah, ilmumu bermanfaat. Teruslah belajar dan belajar!" Air matanya kembali meleleh. Ia lalu berkata pada diri sendiri "Lantas seperti apakah rasanya ketika kelak di hari akhir seseorang mengetahui amalnya diterima Allah. Ia menerima catatan amalnya dengan tangan kanan. Dan mendapatkan ucapan selamat dari Allah, dari Baginda Nabi, dari malaikat penjaga surga, dan dari seluruh malaikat, para nabi dan orang-orang saleh. Saat surga menjadi tempat tinggal selama-lamanya. Kebahagiaan semacam apakah yang dirasa?" Ia melangkah. Matanya basah, "Rabbana taqabbal minna innaka antas sami'ul 'aliim. Tuhan terimalah amal kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Lirihnya dalam hati, sambil menghayati dengan sepenuh jiwa bahwa tiada prestasi yang lebih tinggi dari diterimanya amal saleh oleh Allah dan dibalas dengan keridhaan -Nya. 125 Ia terus melangkah menapaki trotoar di depan gedung Muraqib Al Azhar, ke arah Abdur Rasul. Ia menengok ke kiri, memandang gedung Muraqib sekejab. Di gedung itulah dulu berkas-berkasnya masuk Universitas Al Azhar diproses. Di gedung itulah ia pertama kali kenal antrean yang lumayan panjang di Mesir. Di gedung itu juga ia berkenalan dengan Wan Najibah Wan Ismail, mahasiswi dari Kedah, Malaysia yang kini menjadi salah satu sahabat karibnya. Saat itu ia juga antre untuk mendaftarkan diri masuk Al Azhar. Bagi mahasiswa dan pelajar Al Azhar, gedung Muraqib atau nama resminya Muraqabatul Bu'uts Al Islamiyyah pasti menyisakan kenangan tersendiri. Bagi yang dapat bea siswar maka mengurus beasiswanya juga tidak lepas dari Muraqib. Bahkan bagi yang tidak mendapatkan beasiswa dari Al Azhar dan ingin mengajukan permohonan beasiswa ke lembaga lain, juga harus mendapatkan surat keterangan tidak menerima beasiswa dari Muraqib. Seluruh lembaga pendidikan di dunia yang ingin menyamakan ijazah mereka dengan ijazah Al Azhar harus melalui proses di Muraqib. "Pentingnya Muraqib bagi Al Azhar nyaris sama seperti tangan bagi manusia", begitu kata Zuleyka, seorang mahasiswi dari Turki, suatu kali kepadanya saat bertemu di depan Muraqib. Mungkin ungkapan itu terlalu berlebihan. Namun memang Muraqib jadi bagian pusat administrasi dan birokrasi yang sangat vital bagi Al Azhar. 126 Begitu sampai di Tayaran Street ia melihat jam tangannya. Sebelas kurang seperempat. Ia ingin segera sampai rumah, dan mengabarkan kebahagiaannya kepada seluruh teman rumah. Nanti setelah shalat Zuhur ia akan ke Daarut Tauzi’, membeli beberapa buku dan kitab. Ia belum pernah ke toko buku yang satu ini. Pulang dari Daarut Tauzi' setelah Ashar. Dan si Zahraza, mahasiswi asal Kedah yang satu rumah dengannya tak usah repot repot masak. Setelah shalat Maghrib, ia mau mengajak orang satu rumah makan di Palace, restaurant milik mahasiswa Thailand di kawasan Rab'ah El Adawea yang terkenal Tom Yam dan nasi gorengnya. Dan saat pulang dari PaIace ia akan mampir ke rumah Laila yang menjadi agen Malaysia Air Lines. Ia akan pesan tiket pulang ke Tanah Air dengan transit dua minggu di Kuala Lumpur. Kalau tidak, ia akan pesan pada Laila lewat telpon saja. Rencananya ia hendak melakukan penelitian di Malaysia untuk bahan tesisnya. Maka ia merasa, sebaiknya ia berangkat minggu ini. Sebab Wan Aina mahasiswi asal Selangor yang tinggal serumah dengannya mau pulang ke Malaysia minggu ini. Putri bungsu orang penting di Malaysia itu pulang hanya dua minggu untuk menghadiri pernikahan kakaknya. Pikirnya, ia bisa bersama Wan Aina selama di Kuala Lumpur. Sehingga urusan penelitian untuk tesisnya tentang "Asuransi Syariah di Asia Tenggara" akan menjadi lebih mudah. Ia berencana hendak melakukan penelitian di Perpustakaan ISTAC-IIUM di Petaling Jaya, Perpustakaan IIUM di Gombak, dan Perpustakaan 127 Universiti Kebangsaan Malaysia di Kajang. Dan kakak Wan Aina yang hendak menikah adalah dosen di IIUM. Wan Aina sendiri berjanji akan menemaninya selama melakukan penelitian di Malaysia. Itulah rencana yang telah tersusun dalam kepalanya saat ini. Yang paling penting ia harus segera pulang ke Tanah Air sambil melakukan penelitian serius untuk tesisnya. Ia ingin segera pulang untuk berbagi rindu, cerita, dan rasa bahagia dengan abah dan ibundanya tercinta. Begitu menyeberang Tayaran Street, hand phone-nya berbunyi. Ada SMS masuk. Ia menghentikan langkah dan melihat layar hand phone, dari Mbak Zulfa, isteri Ustadz Mujab, yang masih bisa digolongkarl sepupu dengannya. Kakek ayah Ustadz Mujab adalah juga kakek abahnya. Jadi antara dirinya dan Ustadz Mujab masih erat pertalian darahnya. Ia buka pesan yang masuk : "Ass. Wr. Wb. Dik Anna, bagaimana Istikharahnya? — Sdh ada kepastian? Td Ust. Furqan ngebel ke Ust. Mujab, katanya besok mau dolan. Mungkin mau menanyakan hasilnya." Ia tertegun sesaat, sesuatu yang nyaris dia lupakan, kini ditanyakan. Memang sudah tiga bulan yang lalu ia diberitahu Mbak Zulfa tentang keseriusan Furqan yang ingin mengkhitbahnya. Saat itu ia sedang konsentrasi ujian, jadi ia anggap angin lalu. Apalagi Furqan bukan yang pertama mengutarakan keseriusan kepadanya. Ia telah menerimanya belasan kali. Baik yang melalui orang 128 ketiga seperti Furqan, atau yang langsung blak-blakan lewat telpon, sms, email, surat maupun disampaikan langsung face to face. Semuanya telah mampu ia selesaikan dengan baik. Namun lamaran dari Furqan, Mantan Ketua Umum PPMI, dan kandidat M.A. dari Cairo University, ia rasakan agak lain. Tidak mudah baginya untuk mengatakan "tidak", seperti sebelum-sebelumnya. Juga tidak mudah untuk mengatakan "ya." Ia sama sekali tidak menemukan alasan untuk menolak. Namun juga belum mendapatkan kemantapan hati untuk menerimanya. Pikirannya masih terpaku pada tesisnya. Namun ia juga sadar bahwa waktu terus berjalan, dan usianya hampir seperempat abad. Memang sudah saatnya ia membina rumah tangga, menyempurnakan separo agama. Ia melangkah sambil memasukkan hand phone ke dalam tas birunya. Jilbab putih yang menutupi sebagian jubah biru lautnya berkibaran diterpa semilir angin sejuk musim semi. Ia mencoba menghadirkan bayangan wajah Furqan. Namun spontan ada yang menolak dan dalam jiwanya. Ia tersadar, dalam kenikmatan, dalam kelapangan selalu ada ujian. Dalam setiap hembusan nafas dari aliran darah selalu ada setan yang ingin menyesatkan. Ia langsung istighfar dan ber-ta'awudz. Ia juga sadar bahwa dirinya adalah manusia biasa yang punya nafsu, bukan malaikat suci yang tak memiliki nafsu. 129 Yang pasti, sunah Nabi tetap harus diikuti, dan suatu saat nanti ia harus mengatakan "ya" atau "tidak" untuk Furqan. Ya, suatu saat nanti tidak harus saat ini. Musim semi kali ini ia tidak ingin diganggu siapa saja, termasuk apa saja yang berkenaan dengan Furqan. * * * Sementara itu di belahan lain Kota Cairo, tampak sebuah sedan Fiat putih keluar dari pelataran Fakultas Darul Ulum, Cairo University. Sedan itu melaju pelan di Sarwat Street lalu belok kanan ke Gami'at El Qahirah Street, kemudian belok kanan melintas di depan Zoological Gardeen dan terus melaju ke arah sungai Nil. Tak lama kemudian Fiat putih itu telah berada di atas El Gama'a Bridge, salah satu jembatan utama Kota Cairo yang melintang gagah di atas sungai Nil. Begitu sampai di kawasan El Manyal yang berada di Geziret El Roda, sedan itu belok kanan menyusuri Abdel Aziz Al Saud Street yang membentang di tepi sungai Nil dari ujung selatan Geziret sampai ujung utara. Sedan putih buatan Italia itu terus melaju ke ujung utara, hingga melintasi Cairo University Hospital. Tepat di ujung utara Geziret, tampak Meridien Hotel berdiri gagah. Sedan terus melaju dengan tenang hingga masuk di pelataran Meridien. Begitu menemukan tempat yang tepat di pelataran parkir, sedan itu berhenti. Seorang pemuda berwajah Asia keluar dari sedan. Ia mengeluarkan tas ransel dan tas jinjing hitam. Setelah mengunci 130 mobil ia melangkah ke arah pintu masuk hotel. Dua orang pelayan hotel berkemeja hijau muda dengan rompi dan celana hijau tua menyambutnya dengan senyum manis. Seorang di antara mereka menawarkan untuk membawakan tasnya, tapi ia menolak. Pemuda itu berjalan tenang melewati lobby hotel menuju resepsionis. Dua orang petugas resepsionis dengan aura kecantikan khas gadis Mesir menyambutnya dengan senyum. Seorang di antara mereka menyapa, "Good Afternoon, Sir. Can I help you? " Pemuda itu membalas dengan senyum seraya menunjukkan paspornya. Saat menyerahkan paspornya, ia sempat membaca nama dua resepsionis itu. Dina dan Suzan. Si Dina menerima paspor itu dengan senyum lalu menulis sesuatu di komputer. Sebelum Dina berkata, sang Pemuda telah mendahuluinya dengan sebuah kalimat dalam bahasa Arab, "Lau samahti ya Anesa Dina...." 15 "Na'am," Resepsionis bernama Dina tampak terkejut, "Hadratak bitakallim 'arabi? " 16 "Alhamdulillah, fiin Anesa Yasmin? Heya musy gaiya el yom?" 17 15 Maaf Nona Dina. (Anesa, atau Anisah adalah sapaan untuk petempuan yang belum menikah) 16 Anda bisa berbahasa Arab? 17 Alhamdulillah, mana Nona Yasmin? Dia tidak datang hari ini? 131 "Heya hategi bil leil, insya Allah." 18 Dina lalu melihat data di komputer. "Kamar Anda 615, Tuan Furqan" "Kalau boleh 919." "Sebentar saya cek dulu." Furqan menangkap bau semerbak wangi parfum yang menyengat. Bau itu begitu menteror dirinya. Ia menoleh ke arah datangnya bau itu. Seorang perempuan Mesir berambut jagung dan berpakaian ketat melintas. Tangannya digandeng seorang turis bule. Dalam hati ia istighfar, ia berdoa semoga suatu kali nanti perempuan itu tahu adab memakai pakaian dan parfum. Mengenai bule yang menggandengnya ia tidak mau berpurbasangka. Mungkin itu adalah suaminya. Ia kembali memperhatikan Dina. Pada saat yang sama Dina menoleh ke arahnya. "Ada isinya, Tuan." "Kalau begitu coba 819." "Baik, sebentar." 18 Dia akan datang nanti malam, Insya Allah. 132 Dina kembali melihat layar komputer sementara jari jarinya menari di atas keyboard dengan indahnya. Furqan melihat jam tangannya, dua belas lebih tiga menit. "Alhamdulillah, kosong!" "Breakfast -nya sekali saja ya." "Baik, Tuan." Dina lalu memasukkan data. Mengambil key card, dan memasukkannya ke dalam wadah berlipat tiga dari karton berwarna kuning keemasan. Menuliskan nama Furqan, nomor kamar dan mengambil kupon merah muda. "Ini kunci dan kupon breakfast -nya." "Mutasyakkir ya Anesa." 19 "Afwan." 20 Furqan memeriksa sebentar key card dan kupon yang ia terima, lalu tersenyum tipis pada Dina dan Suzan. Keduanya membalas dengan senyum dan anggukan ringan. Furqan lantas melangkahkan kaki ke arah lift. Ia tidak sadar kalau Dina terus mengikuti gerak tubuhnya sampai hilang ditelan pintu lift. 19 Terima kasih nona. 20 Maaf 133 Furqan naik lift bersama dua turis dari Jepang. Dua muda-mudi yang sedang melakukan riset tentang alat transportasi Mesir kuno. Keduanya ternyata mahasiswa Kyoto University. Kamar mereka dilantai yang sama dengan kamar Furqan. Mereka begitu antusias ketika Furqan menjelaskan dia juga seorang mahasiswa. Furqan memperkenalkan dirinya sebagai mahasiswa pascasarjana Cairo University, jurusan tarikh wal hadharah, sejarah dan peradaban. Sebelum berpisah untuk menuju kamar masing-masing, Furqan sempat bertukar kartu nama dengan mereka. Sampai di pintu kamar 819, dengan mengucap basmalah, Furqan membuka pintu kamar dengan key card-nya. Lalu memasukkan key card-nya ke tempat bertuliskan "insert your card here" untuk menyalakan listrik. Furqan langsung merasakan kesejukan dan kemewahan kamarnya. Kemewahan Eropa kontemporer hasil perkawinan arsitektur Italia dan Turki modern. Furqan meletakkan tas jinjing dan tas ranselnya di atas meja pendek di samping kanan almari televisi. Ia lalu beranjak membuka tabir jendela kamarnya. Dan terhamparlah di hadapannya panorama sungai Nil. Kamarnya tepat menghadap sungai Nil. Dari jendela kamamya ia bisa melihat hampir semua panorama sungai Nil. Ke arah utara ia bisa melihat El Tahrir Bridger, jembatan paling utama yang melintas sungai Nil. Ia juga bisa melihat Gezira Sheraton Opera House, Cairo Tower, 134 bahkan menara Television and Broadcasting Studio di kejauhan. Ke arah barat ia bisa melihat gedung Papyrus Institute, arus lalu lintas di El Nil Street yang berada tepat di sepanjang tepi barat sungaiNil, membentang dari Giza hingga Imbaba. Ke arah selatan ia bisa melihat El Gama'a Bridge, bendera Kedutaan Israel, dan terminal transportasi air yang letaknya tak begitu jauh dari El Gama'a Bridge dan tentu saja beberapa menara masjid. Cairo memang terkenal dengan kota seribu menara. Sangat mudah menemukan menara masjid di kota ini. Sebab hampir di setiap titik ada masjidnya Furqan merebahkan badannya di atas springbed. Punggungnya terasa nyaman. Perlahan-lahan kedua matanya hendak terpenjam. Tiba-tiba hand phone-nya berdering mengingatkan saatnya shalat. Ia bangkit, menggerak-gerakkan badannya untuk melemaskan otot ototnya lalu duduk di kursi. Di kepalanya telah tergambar jadwalnya selama berada di hotel. Setelah wudhu ia akan keluar sebentar untuk shalat Zuhur di masjid terdekat dari hotel. Ada masjid di dekat Cairo University Hospital yang terletak di sebelah selatan Meridien. Setelah itu istirahat sebentar. Satu jam sebelum Ashar, bangun untuk mulai membaca isi tesisnya. Untuk seterusnya konsentrasi memperdalam isi tesisnya yang siap diujikan dalam sidang terbuka tiga hari lagi. Hanya 135 diselingi shalat, makan dan mandi. Selain tesis yang telah paripurna penyuntingannya, bahan -bahan terpenting telah ia bawa yaitu beberapa buku penting, data-data penting yang telah ia simpan rapi dalam laptop serta beberapa data dalam berlembar-lembar fotocopy. Itulah jadwal yang telah tersusun di kepalanya. Saat ia bangkit hendak ke kamar mandi telpon yang ada di kamarnya berdering. Ia kaget, dalam hati ia bertanya siapa yang telpon, baru saja sampai sudah ada yang telpon. "Ya, hello. Ini siapa ya?" "Ini Sara, Tuan Furqan. " "Sara siapa ya?" "Sara Zifzaf, mahasiswi Cairo University yang berkenalan dengan Tuan diperpustakaan dua bulan yang lalu. " "Sebentar, Sara yang tinggal di Mohandisin itu ya?" "Iya benar." "Kok bisa tahu saya di sini!?" Tanya Furqan heran. Ia heran bagaimana mungkin ada orang yang tahu ia ada di hotel itu dan tahu nomor kamarnya. Apalagi dia adalah gadis Mesir yang berkenalan tidak di sengaja di Perpustakaan. Setelah itu tidak pernah bertemu lagi sama sekali. Ia berkenalan dengan Sara di perpustakaan. Gara garanya, saat itu perpustakaan penuh. Tidak ada lagi kursi kosong kecuali satu kursi di dekat seorang gadis Mesir. Ia terpaksa duduk di situ. Ia membaca dan 136 menulis hal-hal penting dengan laptop-nya di samping gadis itu. Entah kenapa gadis itu lalu mengajaknya bicara dan terjadilah perkenalan itu. Gadis itu adalah Sara. Dia memperkenalkan diri sebagai mahasiswi Cairo University yang tinggal di Mohandisin. Gadis itu ingin mengajaknya banyak bicara, Tapi ia minta maaf tidak bisa banyak bicara, sebab banyak yang harus ditulisnya. "Kebetulan tadi saya menemani ayah saya bertemu koleganya di hotel ini. Saat saya hendak meninggalkan lobby saya sempat melihat Tuan Furqan di meja resepsionis. Maka saya tanya pada resepsionis untuk meyakinkan saya bahwa yang saya lihat tidak salah. Dan ternyata benar. Sebenarnya saya ingin bertemu langsung dengan Tuan Furqan. Tapi sayang saya ada janji dengan seorang teman di Giza. Ini saya menghubungi Tuan di jalan, dalam perjalanan ke Giza." "Ada keperluan apa Anda menghubungi saya, Nona?' "Saya ingin mengundang Anda makan malam bersama?" "Ya makan malam bersama?" Furqan kaget, ia baru sekali bertemu dengan gadis Mesir itu. Tapi gadis Mesir itu bisa tidak lupa padanya. Ia saja jika bertemu lagi dengan gadis itu di jalan mungkin sudah lupa. Terus baru sekali bertemu sudah berani mengundang makan malam. Ia heran. Itu bukanlah watak asli gadis Mesir. Watak asli gadis Mesir adalah menjaga diri dengan rasa malu yang berlapis lapis. 137 "Saya mengundang Tuan nanti malam jam 19.30 di Abu Sakr Restaurant di Qashr Aini Street, tepat di depan Qashr El Aini Hospital. Setelah berkenalan dengan Tuan di perpustakaan itu, saya lalu mencari data lebih jauh tentang Tuan di bagian kemahasiswaan. Saya jadi mengetahui banyak hal tentang Tuan. Saya juga sering melihat Tuan melintas di gerbang kampus, tapi Tuan pasti tidak tahu. Saya harap Tuan bisa memenuhi undangan saya malam ini" Suara Sara itu terasa indah ditelinga. Bahasa 'Amiya Mesir jika diucapkan oleh gadis Mesir memiliki sihir tersendiri. Sihir yang tidak dimiliki jika diucapkan oleh kaum laki-laki. Furqan berpikir sejenak lalu menjawab dengan tegas, "Maaf, mungkin saya tidak bisa Nona. Ada yang harus saya kerjakan." "Tidak harus Tuan jawab sekarang. Lihat saja nanti malam, jika ada waktu silakan datang. Jika tidak, tidak apa. Namun saya sangat senang jika Tuan bisa datang. Ini saja Tuan, maaf mengganggu. Sampai bertemu nanti malam. Syukran." "Afwan." Seketika ada tanda tanya besar dalam kepala Furqan, kenapa gadis yang baru begitu ia kenal itu mengundangnya makan malam? Sangat aneh untuk adat wanita Mesir kebanyakan. Ia merasa heran. 138 "Ah, emang gua pikirin. Gua ke sini bukan untuk memenuhi undangan makan, tapi untuk persiapan sidang tesis tiga hari yang akan datang. Ah sekarang shalat, makan siang, istirahat lalu belajar dengan tenang. " Kata Furqan pada diri sendiri, meskipun undangan makan malam dari Sara di salah satu restauran berkelas itu, mau tidak mau, hinggap juga di pikiran dan menimbulkan seribu tanda tanya. Di luar hotel, angin musim semi mencumbui sunga Nil dengan mesra. Sinar matahari memancarkan kehangatan dan rasa bahagia. 139 8 SIANG DI KAMPUS MAYDAN HUSEIN Usai shalat Zuhur di masjid Al Azhar, Azzam melangkahkan kakinya menuju kampus Fakultas Ushuluddin, Al Azhar University. Ia keluar masjid lewat pintu utara. Menyusuri trotoarAl Azhar Street yang melintas tepat di utara masjid. Jalan raya itulah yang memisahkan Masjid Al Azhar dengan kantor Grand Syaikh Al Azhar yang lama, kantor yang biasa disebut Masyikhatul Azhar. Masjid Al Azhar, Universitas Al Azhar, pasar tradisional Al Azhar, serta Mustasyfa 21 Husein berada di sebelah selatan jalan. 21 Rumah Sakit 140 Sedangkan Masyikhatul Azhar yang lama, Masjid Sayyidina Husein, Khan Khalili, dan toko buku paling populer di sekitar kampus Al Azhar yaitu Dar El Salam, berada di sebelah utara jalan. Lalu lintas di jalan ini cukup padat. Untuk menghubungkan kawasan utara dan selatan ada terowongan bawah tanah yang tepat berada di halaman barat Masjid Al Azhar. Juga ada jembatan penyeberangan yang berada di sebelah barat toko buku Dar El Salam. Kawasan ini, semuanya, dikenal dengan Maydan Husein. Masjid Al Azhar, dan kampus Universitas Al Azhar yang lama dikenal berada di kawasan Maydan Husein. Sedangkan kampus Al Azhar yang baru, termasuk rektorat Al Azhar berada di Madinat Nasr atau dikenal juga dengan sebutan Nasr City. Untuk kantor Grand Syaikh Al Azhar yang baru, berada tepat di sebelah selatan Daarul Ifta'. Daarul Ifta' adalah tempat dimana Mufti Mesir berkantor. Keduanya berdiri tepat di tepi barat Shalah Salim Avenue, yang membentang dari kawasan Cairo lama, tepatnya dari kawasan Malik El Shaleh, terus melintas di depan Benteng Shalahuddin hingga ke kawasan Abbasea. Shalah Salim Avenue, ini termasuk jalan raya yang paling terkenal di Cairo, karena banyak melintasi daerah daerah penting dan bersejarah. Melintas di kawasan yang dianggap paling tua hingga kawasan yang dianggap metropolis. 141 Letak Masyikhatul Azhar yang baru dan Daarul Ifta’ tidak begitu jauh dari kampus Al Azhar, masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Tepat di depan Masyikhatul Azhar yang baru dan Daarut Ifta' terbentang pekuburan terluas di Cairo. Orang yang pertama kali datang ke Cairo dan melewati daerah ini tidak akan langsung tahu kalau kawasan itu adalah pekuburan. Sebab banyak sekali bangunan berkubah. Beberapa bangunan malah ada yang bermenara Ternyata bangunan yang berkubah itu adalah kuburan para khalifah dan orang orang penting. Bagi umat Islam, pekuburan ini adalah pekuburan tertua setelah pekuburan yang ada di sebelah timur Mesir lama atau Fusthath. Di sebelah timur Mesir lama, ada daerah yang dikenal dengan sebutan City of the Dead. Sebuah kawasan yang di situ menyatu antara pekuburan dan perkampungan. Makam dan Masjid Imam Syafi'i ada di sini. Makam Imam Waqi' yang dikenal sebagai salah satu guru Imam Syafi'i juga ada di sini. Imam Zakaria AL Anshari dan Imam Leits juga dimakamkan di sini. Bahkan makam Imam Hasan Al Banna juga ada di sini. Kawasan ini dulunya, merupakan tempat tinggalnya para imam besar. Di sebelah utara daerah ini ada kawasan pekuburan rajaraja Mameluk. Sedangkan pekuburan di depan Masyikhatul Azhar yang baru dan Daarul Ifta' dikenal sebagai tempat disemayamkannya Dinasti Qaitbay. Pekuburan ini dikelilingi oleh beberapa masjid bersejarah. Masjid Sultan Barquq ada di 142 pinggir utara kawasan ini. Sedangkan Masjid Qaitbay ada di pinggir timur, tepat di samping jalan El Nasr. Dan di sebelah selatan, beberapa ratus meter di utara Benteng Shalahuddin berdiri Masjid Emir Khair Bey. Kawasan ini, sekarang tidak murni sebagai kawasan pekuburan. Bangunan yang tampak kotak-kotak dan sebagian berkubah yang memenuhi kawasan itu, banyak yang telah dijadikan tempat tinggal orang-orang yang tidak punya tempat tinggal. Daerah ini mungkin bisa disebut kawasan paling aneh di Cairo, manusia yang masih hidup bisa sedernikian nyaman dan akrabnya dengan jasad dan tulang-belulang orang yang telah mati. Daerah ini bahkan kini nyaris mirip perkampungan. Namun fungsinya sebagai tempat menguburkan orang yang merunggal dunia juga masih berjalan. Hampir semua mahasiswa Asia Tenggara yang tinggal di Nasr City, jika berangkat kuliah ke Al Azhar pasti melewati daerah ini. Bagi mahasiswa Indonesia yang berasal dari Solo, atau sangat paham, dengan Solo, setiap melintasa kawasan ini akan diingatkan dengan kawasan pemakaman terluas di Solo, yaitu makam Bonoloyo. Tidak sama persis memang. Paling tidak diingatkan akan adanya manusia yang tinggal sehari-hari di makam Bonoloyo. Makan dan tidur di Bonoloyo. Sehari-hari hidup di atas kuburan. Hal itulah paling tidak titik persamaan keduanya. 143 Ia masuk area kampus lewat pintu gerbang sebelah barat. Seorang duf’ah 22 berseragam putih tersenyum padanya. Ia membalas dengan senyum seraya mengucapkan salam. Ia terus melangkah menuju gedung Fakultas Ushuluddin. Ia berlalan menuju tempat penjualan muqarrar, atau diktat kuliah. Buku muqarrar Tafsir Tahlili masih kurang satu. Tempat penjualan muqarrar Pakultas Ushuluddin itu tak lain adalah bangunan kecil beeukuran kira-kira 2 X 2 meter. Terbuat dari kayu dan papan. Dicat hijau. Sangat sederhana untuk nama besar Al Azar, sebagai universitas tertua dan paling berpengaruh di dunia Islam. Seorang penjaga berada di dalamnya. Tempat itu mirip warung penjual rokok dan makanan kecil di pinggir-pinggir jalan di Indonesia. Ada pintu kecil tempat penjaga itu keluar masuk dan ada jendela tempat melayani mahasiswa yang beli muqarrar. Tempat peenjualan muqarrar itu agak sepi. Hanya satu dua mahasiswa yang beli. Memang menjelang akhir semester, hampir semua mahasiswa telah memegang muqarrar. Bahkan muqarrar itu mungkin telah habis dibaca. Kecuali beberapa mahasiswa yang memang terlambat beli muqarrar, termasuk dirinya. Buku kedua muqarrar Tafsir Tahlili sebenarnya sudah keluar satu bulan yang lalu. Namun ia belum sempat untuk mengambilnya. Karena kondisi pribadinya 22 Tentara wajib militer 144 menghalanginya untuk bisa benar-benar aktif kuliah seperti mahasiswaAl Azhar pada umumnya. Kesibukan hariannya membuat tempe dan memasarkannya nyaris menyita hampir sebagian waktunya di Cairo. Apalagi jika ada order membuat bakso atau sate ayam dari bapak bapak atau ibu-ibu KBRI, nyaris ia tidak bisa menyentuh buku, termasul buku muqarrar yang semestinya ia sentuh. Kecuali Al-Quran, dalam sesibuk apapun tetap merasa harus menyentuhnya, membacanya meskipun cuma setengah halaman lalu menciumnya dengan penuh rasa takzim dan kecintaan. Ia merasa, dalam perjuangan beratnya di negeri orang, Al-Quran adalah pelipur dan penguat jiwa. Sampai di depan jendela tempat penjualan muqarrar, ia melongok. Sang penjaga lagi menulis sesuatu di atas kertas. Angka-angka. Mungkin menghitung uang yang masuk bulan itu, serta membagi hasilnya pada para dosen penuhs muqarrar. Ia tampak begitu serius sehingga tidak memperhatikan kehadirannya. "Assalamu'alaikum ya Ammu Shabir. " Sapanya dengan nada nyaris sama dengan nada orang Mesir asli. Ia sangat kenal nama penjaga itu, meskipun mungkin sang penjaga tidal mengenalnya. "Wa'alaikumussalam, lahdhah. " 23 Ammu Shabir menjawab tanpa melihat ke asal suara. 23 Wa’alaikumussalam, sebentar! 145 Ia tahu Ammu Shabir,24 penjaga buku muqarrar sedang serius, tidak bisa diganggu. Ia menunggu sambil melihatlihat beberapa buku yang dipajang di daun jendela tempat penjualan muqarrar. Yang dipajang biasanya, buku-buku terbaru karya dosen-dosen Al Azhar Universi ty, atau buku penting yang dicetak ulang. Ia perhatikan buku-buku baru itu dengan seksama. Prof. Dr.Abdul Muhdi Abdul Qadir Abdul Hadi, Guru Besar Hadis Fakultas Ushuluddin mengeluarkan buku baru yang sangat menarik, Ahaditsu Mu'jizatir Rasul, terdiri atas dua juz, dicetak oleh Mathba'ah AL Madani, kover sampul bukunya cukup sedap dipandang Buku buku Profesor hadis yang disebut-sebut juga sebagai salah satu murid Syaikh Nashiruddin AI Albani ini termasuk yang banyak diminati. Kepakarannya di bidang sanad dan dibarengi kematangannya dalam fiqhul haditslah yang membuat karya-karyanya dianggap sangat berbobot. Dalam hal fiqhul hadits bahkan banyak yang berpendapat beliau lebih matang dibandingkan dengan gurunya, Syaikh Jashiruddin Al Albani sekalipun. Prof. Dr. Thal'at Muhammad Afifi Salim, Guru Besar Fakultas Dakwah, menulis buku baru berudul "Akhlaqut Du'at Ilallah, An Nadhariyyah wat Tathbiq. " Buku itu berwarna biru tua. Judulnya ditulis dengan warna kuning keemasan. Diterbitkan oleh Maktab Al Iman, penerbit yang bermarkas dibelakang kampus Al Azhar, disebuah lorong 24 Ammu, artinya paman 146 sempit, dikenal dengan hargan ya yang selalu murah dari yang lain. Sementara Sang Maestro Ilmu Tafsir Universitas Al Azhar, Prof. Dr. Ibrahim Khalifah menulis buku "Ad Dakhil fit Tafsir", diterbitkan oleh Fakultas Ushuluddin. Buku tersebut bersampul putih polos tanpa hiasan apa pun. Buku maestro tafsir ini, meskipun tanpa hiasan dan desain sampul yang memikat tetap menunjukkan kelasnya. Nama Ibrahim Khalifah adalah jaminan kualitas. Prof. Dr. Hamdi Zaqzuq, Guru Besar Filsafat, JeboIan Muenchen University, Jerman, yang dikenal pakar Orientalis menerbitkan kembali bukunya berjudul "Al Istisyraq wal Khalfiyyah Al Fikriyyah Lish Shira' Al Hadhari", diterbitkan oleh Dar El Manar, penerbit yang bermarkas di samping Masjid Sayyidina Husein. Ia memandangi buku-buku itu dengan mata berkacakaca. Ingin sekali rasanya memiliki buku buku baru itu, lalu melahapnya dengan penuh konsentrasi seperti tahun pertama hidup diMesir dulu. Tahun pertama yang indah, saat ia bisa menggunakan waktunya untuk belajar, bisa melampiaskan obsesinya membaca buku sebanyak banyaknya. Dulu, saat ia tidak harus membanting tulang dan memeras keringat dan otak untuk mempertahankan hidupnya dan adik-adiknya di Indonesia. Ia hanya berdoa, semoga kesempatan untuk belajar dan membaca 147 dengan serius itu datang lagi, suatu hari nanti. Dan semoga waktu yang ia jalani selama di bumi Kinanah ini tetap diberkahi oleh Dzat yang mengatur hidup ini. "Na'am ya Andonesi Enta ‘ais eh?"25 Suara penjaga membuyarkan keasyikannya melihat buku-buku yang terpajang di daun jendela tempat penjualan muqarrar. "Muqarrar Tafsir Tahlili juz dua, jurusan tafsir, tahun empat." Ia menjelaskan spesifikasi buku muqarrar yang ia maksud. "Mana juz pertamanya, kamu bawa?" Ia membuka tas ranselnya, dan mengeluarkan buku berwarnabiru muda. "Ini" Sang penjaga lalu membuka halaman paling akhir. Ia mencoret stempel bertuliskan "masih ada juz kedua" dengan tinta merah. Kemudian mengambil sebuah buku yang juga berwarna biru muda. "Tafadhal, kudz dza ya Andonesi."26 Ia menerima dua buku yang diulurkan oleh penjaga, dan memeriksanya sebentar. Tak perlu membayar lagi, sebab telah ia bayar saat membeli juz satu. 25 Orang Indonesia, apa yang kau inginkan? 26 Silakan ambil ini, hai orang Indonesia. 148 "Syukran ya Ammu."27 "Afwan. " Ia lalu melangkah menapaki tangga di depan pintu masuk. Di sana ia mendapati pengumuman ditulis dengan spidol warna hitam dan biru. Pengumuman sidang terbuka ujian disertasi doktor seorang mahasiswa jurusan hadis dari Syiria. Ia baca pengumuman itu dengan seksama. Matanya berkaca-kaca. Ia tak sanggup membayangkan, mungkinkah suatu saat nanti namanya ditulis dalam sebuah pengumuman seperti itu. Pengumuman yang membanggakan, untuk diri sendiri dan bangsa. Pengumuman yang dibaca oleh mahasiswa dari pelbagai penjuru dunia. Ia hanya bisa mendesah untuk kemudian pasrah pada takdir. Bisa lulus S.1 tahun ini saja sudah alhamdulillah. Dulu di awal tahun masuk Al Azhar, ia mungkin adalah mahasiswa Indonesia paling idealis. Begitu namanya tercatat sebagai mahasiswa Al Azhar Pakultas Ushuluddin, dan begitu ia terima kartu mahasiswa, seketika ia proklamirkan sebuah cita-cita: AKU TAK AKAN PULANG KE INDONESIA SEBELUM MENGONDOL DOKTOR. DAN AKAN AKU BIKIN REKOR SEBAGAI DOKTOR TERCEPAT DI AL AZHAR! Saat itu ia langsung teringat nama-nama besar jebolan Fakultas Ushuluddin, Universitas Al Azhar. Nama-nama 27 Terima kasih, paman. 149 yang sangat terkenal di dunia Islam: Syaikh Abdul Halim Mahmud, Syaikh Muhammad Ghazali, Syaikh Yusuf AL Qardhawi, Syaikh Abdullah Darraz, Prof. Dr. M. M. Al- Azami, Prof. Dr. Ahmad Umar Hasyim, Prof. Dr. Hamdi Zaqzuq, Prof. Dr. Abdu1 Muhdi, dan lain sebagainya. Sementara dari Indonesia ada nama yang sangat terkenal yaitu Prof. Dr. M. Quraish Shihab dan Prof. Dr. Roem Rowi. Mereka berdua adalah lulusan Fakultas Ushuluddin Al Azhar University. Ia masih ingat dulu, di atas meia belajarnya ia menuIis semboyan yang membuatnya selalu bersemangat, semboyan yang selalu membuatnya merasa optimis: AKU HARUS MENGUKIR SEJARAH! Ia lalu menulis nama-nama besar itu dan di deret paling akhir ia menulis namanya sendiri: Prof. Dr. Khairul Azzam, MA. Ia tidak pernah mempedulikan beberapa respon miring dari teman-temannya atas ulahnya itu. Baginya itu adalah bagian dari strateginya untuk menjaga semangat belajar dan mengejar cita-citanya. Ia tesenyum sendiri mengingat itu semua. Kini semuanya jadi kenangan manis. Ia sangat sadar, betapa jauhnya ia saat ini dari cita-citanya. Semuanya telah berubah. Ia tidak bisa lagi konsentrasi seratus persen pada mata kuliah. Saat ini konsentrasinya lebih banyak tercurah bagaimana mencari uang untuk hidupnya sendiri di Cairo, juga kelangsungan hidup adik-adiknya di Indonesia. Ia lebih banyak pergi ke Pasar Sayyeda Zaenab untuk membeli bahan dasar membuat bempe dan bakso daripada ke kampus untuk kuliah dan 150 mendengarkan uraian ilmiah para guru besar yang sesungguhnya sangat-sangat ia cintai. Tak terasa matanya berkaca-kaca. Dengan cepat ia menghapus air matanya yang mau keluar. Kenapa ia harus meneteskan air mata. Apa yang harus ditangisinya. Ia langsung tersadarkan, kesuksesan sejati tidaklah semata-mata hanya bisa diraih dengan meraih gelar Profesor Doktor. Dan kebahagiaan sejati tidak harus berupa nama besar yang disebut di mana-mana. Ia harus tahu siapa dirinya dan seperti apa kondisi dirinya agar tidak menzalimi dirinya sendiri. Ia lalu masuk ke gedung Fakultas Ushuluddin. Beberapa mahasiswa lalu laIang. Ada yang turun dari lantai atas, ada yang mau naik ke aias. Ada yang baru dari bagian kemahasiswaan dan ada yang bergegas keluar mau pulang. Ketika ia mau naik lantai satu, sekonyongkonyong ia mendengar seseorarlg memanggil nama terkenalnya di kalangan mahasiswa Indonesia di Cairo. "Kang Insinyur!" Ia menoleh ke asal suara. Seseorang melangkah ke arahnya sambil tersenyum. Ia pun tersenyum. Ia tidak pernah protes dipanggil "Kang Insinyur", atau "Kang Ir.", terkadang ada juga yang membahasa-arabkan jadi "Kang Muhandis". Tapi orang-orang satu rumahnya biasa memanggil "Kang Azzam." 151 Pada mulanya panggilan insinyur adalah panggilan ledekan dari teman-teman satu angkatan, karena kepintarannya membuat tempe dan bakso. Mereka menyebutnya insinyur tempe bakso, seringkali disingkat Ir. Tempe atau Ir. Bakso. Lama-lama tinggal insinyur. Tempe dan baksonya tak ada. Dan setiap kali ada acara dia selalu dikenalkan dengan nama "Kang Insinyur Khairul" atau "Kang Insinyur Irul". Sekarang panggilan insinyur jadi kebanggaan sekaligus hiburan baginya. Seringkali ia mendapat undangan dari organisasi kekeluargaan dan di sana tertulis: Yth. Mas Ir. H. Khairul Azzam. Siapa tidak bangga tanpa sekolah di fakultas teknik sudah dapat gelar Ir. alias insinyur Apapun kata orang tentang dirinya, selama ia merasa dirinya tidak berbuat yang dilarang Allah ia tidak pernah peduli. Dalam hal ini ia selalu dimotivasi oleh perkataan Pythagoras, seorang filsuf dan ahli matematika Yunani yang hidup 580-800 S.M. Pytagoras pernah berkata: "Tetaplah puas melakukan perbuatan yang baik. Dan biarkanlah orang lain membicarakan dirimu sesuka mereka. " "Hei kamu tho Mif, piye kabarmu?"28 "Alhamdulillah, baik-baik saja Kang." Keduanya lalu berjabat tangan. "Tumben kuliah Kang?" 28 Apa kabar? 152 "Nggak kuliah kok Mif. Ini baru datang. Ngambil muqarrar. Trus mau nemui si Khaled, anak Mesir yang satu kelas denganku. Mau minta tahdid. Aku janjian dengannya di Mushala." "Kang, ada berita menarik?" "Apa itu? Nanti malam ada Syaikh Yusuf Al Qardhawi di Darul Munasabat 29 Masjid Utsman bin Affan, Heliopolis. Kalau mau datang, shalat Maghrib di sana. Tempat terbatas. Sampeyan kan pengagum abis Yusuf Al Qadhawi." "Nggak tau ya Mif, bisa datang apa nggak ya nanti malam." "Sayang lho Kang kalau nggak datang. Apalagi selain Syaikh Yusuf- Al Qardhawir ada Prof. Dr. Murad Wilfred Hofmann, Mantan Dubes Jerman untuk Maroko yang masuk Islam dan kini jadi pembela Islam di Eropa. Temanya tentang Umat Islam dan Tatanan Dunia Baru. " "Wis, doakan aja bisa datang Mif, eh itu yang kamu pegang apa Mif, tashdiq ya?" "Iya Kang, ini tinggal minta stempel." "Cari tashdiq untuk apa Mif? Mau umrah?" "Nggak Kang. Ini untuk memperpanjang visa. Bulan depan habis." "O, kirain mau umrah lagi. Kalau umrah lagi kan bisa nitip. " 29 Gedung serba guna 153 "Doakan Kang, habis ujian nanti saya mau umrah, insya Allah." "Masih bisa nitip kan?" "Sama Miftah beres deh Kang. Saya jalan dulu Karg, mau nyetempelin ini nih. Nanti keburu tutup bagian Stempel. Ketemu diHeliopolis nanti malam Kang" "Semoga. Salam untuk teman-teman di Darmalak ya Mif'" "Insya Allah Kang." Ia mengiringi langkah Miftah dengan senyum. Miftah, empat tahun lalu dia yang menjemput di Bandara. Dia iuga yang membimbingnya empat bulan pertama hidup di Mesir. Setelah itu pindah ke Darmalak bersama kakakkakak kelasnya dari Pesantren Maslakhul Huda, Pati. Kini Miftah sudah di tingkat akhir sama dengan dirinya. Selama ini hubungannya dengan teman -teman dari Pati di Darmalak seperti layaknya saudara. Miftah sudah ia anggap seperti adiknya sendiri. Hanya saja kesibukannya membuat tempe sekaligus memasarkannya ke pelbagai titik di Kota Cairo membuatnya tidak punya banyak waktu untuk silaturrahmi. Ia sendiri mengakui, bahwa silaturahminya ke Darmalak seringkali dilakukannya bila ada teman Darmalak yang mau pergi umrah atau haji. Atau saat ada yang datang dari umrah atau haji. Ia seringkali nitip dibelikan ragi di Tanah Suci. Di Mesir ia telah mencari ke sana kemari, 154 tidak ada yang menjual ragi yang merupakan bahan utama untuk membuat tempe. Selain ragi, ia biasanya juga nitip kecap dan saos yang sangat penting baginya dalam menyajikan baksonya saat dipesan orang-orang KBRI. Kecap juga tidak bisa ia tinggalkan saat membuat sate ayam. Dan ia tidak bisa menggunakan sembarang kecap. Kecap Cap Jempol buatan Boyolali yang ia anggap paling pas untuk racikan bumbunya. Dan kecap Cap Jempol itu tidakbisa ia dapatkan di Mesir. Kecap itu bisa didapatkan dari Toko Asia, dekat Pasar Seng di Makkah. Teman-teman yang pergi umrah atau hajilah yang menjadi penolongnya dalam mendatangkan kecap Cap Jempol itu. Biasanya sebagai ucapan terima kasih dia akan membawakan beberapa lembar tempe untuk mereka. Di Cairo, tempe termasuk makanan istimewa bagi mahasiswa Indonesia. Sama istimewanya dengan daging ayam. Bahkan jika disuruh memilih antara telor dan tempe, banyak mahasiswa Indonesia yang lebih memilih tempe. Ia terus melangkah menuju mushala. Ada yang menyesak dalam dada. Kabar adanya ceramah Dr. Yusuf Al Qardhawi yang datang dari Qatar bersama Dr. Murad Wilfred Hofmann di Heliopolis membuncahkan keinginannya untuk hadir, tapi ia merasa itu sulit. Ulu hatinya seperti tertusuk paku. Pedih dan ngilu. Ia harus bersabar dengan pekerjaan rutinnya mengantar tempe ke beberapa tempat. Masakin Utsman, Abbas Aqqad, dan 155 Hay El Thamin. Paling cepat selesai jam seembilan malam. Ia tidak mungkin mengejar ke Heliopolis. Matanya kembali berkaca-kaca. Ada yang terasa menyesak dalam dada. Sebenarnya sangat ingin ia bertemu langsung dengan Dr. Yusuf Al Qardhawi. Ulama moderat jebolan Al Azhar yang sangat brilian pemikiran- pemikirannya. Ia juga sangat ingin bertemu Prof. Dr. Murad Wilfred Hofmann. Bukunya berjudul Islam fil Alfiyyah Ats Tsalitsah atau Islam di Millineum Ketiga, yang sempat ia baca dua puluh lima halaman saja itu sangat mengesan di hatinya. Dan ia harus rela menelan rasa pahit. Keinginannya yang sesungguhnya sangat besar itu harus ia simpan rapat -rapat di dalam satu ruang mimpinya. Itu bukan rasa pahit yang pertama ia rasakan. Telah berkali-kali ia merasakan hal seperti itu. Ia hanya berharap semoga suatu kelak nanti Alkah memberikan gantinya. Jika pun ia harus pulang ke Tanah Air nanti dengan bekal yang pas-pasan karena hari-harinya lebih banyak ia habiskan usaha berjualan tempe, bakso dan sate daripada membaca kitab, menghadiri kuliah, seminar dan diskusi, ia berharap yang pas-pasan, yang sedikit itu berkah dan bermanfaat. Harapan itulah yang menghibur hatinya. Ia terus melangkahkan kakinya menuju mushala fakultas. Ia berharap semoga Khaled, mahasiswa Mesir itu masih berada di mushala. Biasanya mahasiswa berwajah putih bersih dari Desa Sanhur yang terletak antara Kota El 156 Faiyum dan Danau Qarun itu me-muraja'ah 30 hafalan Quran-nya di mushala. Setiap hari habis shalat Zuhur. Ia akrab dengannya sejak berkenalan dengannya di acara itikaf sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan di Masjid Ar Ridhwan, Hayyu Tsabe tahun lalu. Sudah beberapa kali Khaled mengunjungi flatnya dan sudah dua kali ia diajak Khaled ke desanya sekaligus melihat Danau Qarun yang letaknya hanya beberapa kilo dari desanya. Tempat yang kini berwujud danau itu diyakini sebagai tempat ditenggelamkannya seluruh harta Qarun ke dalam bumi oleh Allah karena Qarun mengingkari nikmat Allah. Danau itu kini jadi salah satu tempat wisata yang cukup terkenal di Mesir. Ia terus melangkah Mushala ada di depan mata. Tiga mahasiswa dari Rusia keluar dari mushala. Seorang mahasiswa berkulit hitam sedang melepas sepatunya. Masih ada jamaah yang sedang shalat. Ia masuk dengan tenang. Hatinya senang ketika matanya menangkap sosok berjalabiyah putih dan berkopiah putih duduk di salah satu sudut mushala menghadap kiblat. Matanya terpejam dan mulutnya komat -kamit melantunkan ayat ayat suci Al-Quran dengan irama cepat. Ia mendekat. Benar dugaannya. Sosok itu adalah Khaled. Ia meletakkan tas, dan duduk di samping Khaled. Punggungnya ia rebahkan ke dinding mushala. Kedua kakinya ia selonjorkan. Ia menarik nafas pelan. Memejamkan mata. Lalu larut khusyuk mendengarkan bacaan 30 Mengulang hafalan Al -Quran agar tidak lupa. 157 ayat-ayat suci Al-Quran. Bacaan yang cepat, fasih dan enak didengar. Tidak keras juga tidak lirih. Ia menyimak dengan sepenuh hati. kesejukan yang tiada terkira. Kesejukan yang melebihi embun pagi musim semi Sepuluh menit kemudian bacaan ayat-ayat Ilahi itu berhenti. Ia membuka mata dan menyapa, "Assalamu'alaikum ya Akhi." Khaled menolehke arahnya. Sedikit kaget. "Wa 'alaikumussalam wa rahmatullah. Masya Allah, Akhi Azzam, sudah lama?" Khaled selalu menyambutnya hangat dan selalu memanggilnya dengan sebutan akhi di depan namanya, Azzam. Itulah nama yang ia kenalkan pada Khaled saat pertama kali kenalan tiga tahun yang lalu. Setiap Khaled memanggil namanya, ia merasakan ada keakraban yang kuat terjaga. "Ada sedikit waktu untuk bincang-bincang, Akhi Khaled?" "Tentu, dengan senang hati. Seluruh waktuku untukmu Akhi. " "Bisa dijelaskan tahdid yang telah ada. Mana-mana yang muhim, muhim jiddan, makhdzuf, dan mana yang qiraah faqad?" "Dengan senang hati, ya Siddi." 31 31 Siddi, tuanku. 158 Khaled lalu membuka buku catatannya, dan menjelaskan kepada Azzam tahdid semua mata kuliah yang telah ia dapatkan selama mengikuti kuliah. Ia menjelaskan satu per satu dengan detil dan sabar. Ia juga memberi kesempatan kepada Azzam untuk bertanya. Dan semua pertanyaan ia jawab panjang lebar, sampai Azzam merasa puas. "Ada hal lain yang bisa saya bantu ya Syaikh Azzam.? " "Cukup, insya Allah. Jangan kapok kalau saya tanya iniitu." "Ana fi khidmatik ya Siddi."32 "Jazaakallah khairan."33 "Sekarang gantian saya. Sebenarnya sejak dua hari yang lalu aku mencarimu untuk suatu urusan. Boleh kan saya menyampaikan sesuatu padamu?" "Dengan senang hati jika ada yang bisa saya bantu. " "Masih ingat kunjunganmu ke kampungku dua bulan yang lalu? " "Ya. Kunjungan yang menyenangkan. Kampung yang menenteramkan. Dan sambutan yang hangat dan penuh persaudaraan. Saya sangat terkesan. Jazakumullah khaira." "Ingat ketika engkau kubawa ke rumah Syaikh Abbas? " 32 Saya selalu siap membantumu, Tuanku. 33 Semoga Allah membalas (kebaikanmu) dengan kebaikan. 159 "Yang Imam masjid itu?" "Tepat." "Ingat saat kita dijamu dirumanya." "Masya Allah, jamuan yang tidak akan pernah saya lupakan. Keluarga yang ramah dan sangat berpendidikan." "Ingat seseorang yang menyajikan makanan dan minuman." "Isteri Syaikh Abbas dan seorang perempuan bercadar." "Kau tahu siapa perempuan bercadar itu?" "Mungkin puteri beliau. " "Tepat." "Ada apa dengan puteri beliau?" "Begini, Saudaraku...." Belum sempat Khaled menjelaskan lebih lanjut, seorang mahasiswa Mesir memakai jubah seragam khas Al Azhar memanggil Khaled dari pintu mushala, "Ya Khaled, sur'ah! " 34 "Ada apa?" "Doktor Yahya memanggilmu di ruang kerjanya. Kau harus ke sana sekarang. Penting!" "Sekarang?" "Ya ayo cepat. Beliau tergesa-gesa mau ada urusan!" 34 Khaled, cepat! 160 "Mmm. Baik" Khaled memasukkan buku yang tadi dibacanya ke dalam tas. Lalu berkata pelan, "Akhi Azzam, afwan, saya tinggal dulu. Kita lanjutkan pembicaraan kita di lain kesempatanya." "O ya baik. Salam buat Doktor Yahya." "Insya Allah." Khaled bergegas keluar. Sementara Azzam, ia terpekur di mushala dengan sebagian hati didera penasaran: apa sesungguhnya yang akan dibicarakan Khaled tentang putri bungsu Syaikh Abbas itu? Sementara sebagian hatinya yang lain telah mengembara di Pasar Sayyeda Zainab. Ya ia harus ke sana untuk belanja bahan baku membuat tempe dan bakso. Ia harus ke sana jika ingin tetap bisa hidup dan menyelesaikan kuliah di Cairo. 161 9 PERJALANAN KE SAYYEDA ZAINAB Azzam melihat jam tangannya. Sudah seperepat jam ia menuggu, bus ke Sayyeda Zaenab tidak juga datang, padahal bus ke Atabah sudah berkali-kali lewat. Halte bus di depan Masjid Al Azhar itu ramai manusia. Sebagian duduk di kursi halte, tapi yang berdiri jauh lebih banyak. Bus jurusan Imbaba datang. Orang-orang berlarian naik. Seorang ibu-ibu sekuat tenaga berusaha menggapai pintu bus. Tangannya telah meraih pegangan, dan ketika kakinya hendak naik, bus itu berjalan. Ibuibu itu tidak melepaskan pegangannya. Jadilah ia terseret. Para penumpang dan orang-orang yang melihatnya berteriak-teriak marah. Seorang lelaki setengah baya berteriak keras marah, 162 "Hasib ya hayawan! " 35 Bus itu berhenti, dan sang sopir tertawa nyengir tanpa terlihat berdosa sama sekali. Ibu-ibu berhasil naik dan kemarahannya tidak juga berhenti. Azzam melihat hal ltu dengan hati sesak. Sudah tak terhitung lagi ia melihat kejadian seperti itu. Seorang turis bule tampak asyik mengabadikan adegan kekonyolan. Tampaknya turis itu mendapatkan oleh oleh yang sangat unik untuk dia bawa ke negaranya. Azzam merasakan dadanya semakin sesak. Layakkah kekonyolan semacam ini terjadi di depan kampus Islam tertua di dunia? Tanyanya dalam hati. Bus jurusan Imbaba itu telah hilang dari pandangan. Tak lama sebuah bus datang. Ia sangat akrab dengar nomor bus itu. Delapan puluh coret. Bus yang sangat legendaris dan terkenal bagi mahasiswa Asia Tenggara yang tinggal di kawasan Hayy El Ashir. Legendaris karena murahnya. Jauh dekat sama saja. Cuma sepuluh piester. Apa tidak murah. Dan terkenal, karena lewat jalur strategis bagi mahasiswa. Bus itu dari Hayyul Ashir Nasr City melewati Hayyu Thamin, Masakin Ustman, Kampus Al Azhar Nasr City, Muqowilun, Duwaiqoh, Kampus Al Azhar Maydan Husein, dan berakhir di Attaba.36 Selain itu, juga terkenal karena sering terjadi pencopetan di dalamnya. Maka seringkali mahasiswa Indonesia me- 35 Hati-hati, jangan sembrono, hei hewan! 36 Tahun 2006 route bus delapan puluh coret berubah jadi: Hayyul Ashir Nasr City- Hayyu Thamin- Masakin Ustman-Kampus Al Azhar Nasr City- Muqowilun- Duwaiqoh- Buuts-Darrasah. 163 nyebutnya, "bus delapan puluh copet", bukan "delapan puluh coret". Meskipun demikian, bus itu tetap saja dicintai dan dekat di hati. Begitu delapan puluh coret berhenti, dari pintu depan banyak penumpang yang turun. Dan di pintu belakang penumpang berjejal naik. Ia melihat seorang dosen ikut berdesakan naik. Ia amati dengan seksama, ternyata Prof. Dr. Hilal Hasouna, Guru Besar Ilmu Hadis. Ia selalu dibuat takjub oleh sikap tawadhu' dan kesahajaan para syaikh dan guru besar Universitas Al Azhar. Di Indonesia mana ada seorang guru besar yang mau berdesakan naik bus. Perlahan delapan puluh coret pergi. Lima detik kemudian datang bus bernomor enam puluh lima. "Ini dia," desis Azzam lirih. Hatinya begitu lega dan bahagia. Selalu saja di dunia ini, jika seorang menanti sesuatu dan sesuatu yang dinanti itu hadir, maka hadir pulalah kebahagiaan yang susah dilukiskan. Di antara bus-bus yang lain, enam puluh lima adalah yang paling dicintai Azzam. Karena bus itulah yang senantiasa mengantarkannya ke Pasar Sayyeda Zaenab. Bus itu telah menjadi alat yang sangat akrab dalam menunjang bisnisnya. Bisnis tempe dan bakso. Begitu bus berhenti beberapa orang naik dari pintu belakang. Azzam ikut naik. Bus tidak penuh sesak. Tidak ada penumpang yang berdiri. Namun tidak banyak tempat duduk yang kosong. Semua penumpang yang baru naik, mendapatkan tempat duduk, kecuali Azzam. Ia 164 harus berdiri. Bus beranjak pergi menyusuri Al Azhar Street. Azzam berdiri agak di tengah. Sekilas ia melihat ke depan. Beberapa mahasiswi Asia Tenggara duduk di barisan depan. "Mungkin mereka juga mau belanja di Sayyeda Zaenab. " Gumamnya dalam hati. Ia yakin mereka mahasiswi Indonesia, meskipun tidak menutup kemungkinan ada mahasiswi Malaysia. Yang lebih sering kreatif belanja ke Pasar Sayyeda Zaenab biasanya mahasiswa dan mahasiswi dari Indonesia. Sementara mahasiswa dan mahasiswi dari Malaysia lebih memilih belanja di tempat yang dekat dengan flat mereka di Nasr City, seperti Swalayan Misr wa Sudan di Hayye El Sabe. Meskipun tentu saja harganya lebih mahal. Perlahan bus beranjak menyusuri Al Azhar Street. Dari jendela Azzam bisa melihat bangunan -bangunan tua yang kusam. Di antara bangunan itu banyak yang dijadikan toko dan gudang tekstil. Sampai di El Muski belok kiri menyusuri Port Said Street. Bus terus melaju melewati Museum of Islamic Art. Di halte dekat Maidan Ahmad Maher bus berhenti. Seorang perempuan Mesir turun. Tak ada penumpang naik. Bus kembali berjalan. Azzam duduk di kursi yang baru saja ditinggal perempuan Mesir. Kursinya masih terasa hangat. Ia merasa lega. Sekilas ia tahu bahwa yang duduk di sampingnya adalah seorang mahasiswi Asia Tenggara. Ia tak merasa harus menyapa. Pikirannya sudah ada di 165 Pasar Sayyeda Zaenab. Ia melihat jam tangannya. Ia berharap tidak terlambat sampai disana. Kalau terlambat ia akan bertambah lelah karena tidak mendapatkan barang yang ia inginkan. "Semoga Ammu Ragab belum pulang" doanya dalam hati. Jika Ammu Ragab pedagang kedelai itu sudah pulang ia harus ke Pasar Attaba. Harga kedelai di Attaba lebih mahal dan kualitas kedelainya di bawah Sayyeda Zaenab. Dan ia sebagai produsen ingin memberikan yang terbaik kepada konsumen. Terbaik dalam harga, juga terbaik dalam kualitas barang. Selisih harga sekecil apapun harus ia perhatikan. Ia memang berusaha seprofesional mungkin. Meskipun cuma bisnis tempe. Ia ingin memposisikan diri sebagai produsen tempe terbaik dan termurah. Ia berusaha memposisikan tempenya adalah tempe dengan kualitas kedelai nomor satu. Rasa nomor satu. Rasa khas tempe Candiwesi Salatiga yang sangat terkenal itu. Dan kelebihan lainnya adalah bentuknya paling besar di antara tempe yang lain, isinya paling padat, dan harganya paling murah. Inilah uniquiness yang dimiliki hasil produksinya. Keunikan inilah yang menjadi positioning bisnisnya. Dan ia akan terus mempertahankan positioning ini terus terukir dalam benak para pelanggannya. Sehingga para pelanggan itu percaya penuh padanya dan pada produk- produknya. Untuk menjaga hal itu memang perlu keseriusan dan kerja keras. Tidak hanya konsep dalam pikiran atau di atas kertas. Ia teringat satu ajararan dari Cina kuno: 166 "Kamu akan mendapatkan apa yang kamu inginkan, jika kamu bekerja keras dan tidak keburu mati dulu" Ajaran itu senada dengan kata mutiara bangsa Arab yang sangat dahsyat: Man jadda wajada. Siapa yang besungguh sungguh berusaha akan mendapatkan yang diharapkannya. Bus terus berjalan. "Maaf, Anda dari Indonesia ya? " Ia mendengar suara pelan dari sampingnya. "Iya benar. Anda juga dari Indonesia?" Jawabnya tenang. "Iya. Maaf, kalau boleh tanya toko buku Daarut Tauzi' itu di mana ya?" "Sebentar." Ia melihat ke depan dan ke kiri jalan. "Halte depan. Sebelah kiri jalan ada tulisannya kok. Pokoknya kira-kira seratus meter dari Masjid Sayyeda Zaenab." Lanjutnya "Terimakasih." "Sama-sama. Belum pernah ke Daarut Tauzi'ya?" "Iya belum pernah. Biasanya saya beli buku di toko toko buku dekat kampus Al Azhar Maydan Husein" "Oo." Setelah itu keduanya diam. Masing-masing mengikuti pikirannya sendiri. Setiap kali bertemu dengan mahasiswi Indonesia Azzam langsung teringat dengan kedua 167 adiknya yang sudah gadis. Husna dan Lia. Husna pastilah sudah saatnya menikah. Dan Lia telah meninggalkan masa remaja. Genap sembilan tahun sudah ia tidak bertemu mereka berdua. Adapun adiknya yang ketiga, si Bungsu Sarah, sudah masuk usia sembilan tahun. Ia sama sekali belum pernah melihatnya, kecuali lewat foto. Saat ia meninggalkan Indonesia dulu, Sarah masih berada dalam kandungan ibunya. Seperti apakah wajah ketiga adiknya itu. "Semoga ada jalan untuk pulang. Aku rindu pada mereka. Juga pada ibu," katanya dalam hati. Dan jalan pulang yang paling realistis baginya adalah membuat tempe sebanyak-banyaknya, dan berdoa semoga mendapatkan order membuat bakso yang juga sebanyak-banyaknya. Hasil dari usahanya itu akan ia gunakan membeli tiket. Jika kurang semoga bisa minta bantuan ke Baituz Zakat yang berkantor di Muhandisin. Namun sesungguhnya dalam hati ia ingin bisa membeli tiket sendiri tanpa minta bantuan kepada siapapun. Itu berarti ia harus benar benar membanting tulang dan memeras keringat. Di samping itu semua, yang paling penting adalah, ia harus selesai S.1 tahun ini. Jika tidak, rencana pulang akan berantarakan. Ia harus menahan rindu satu tahun ke depan. Dan ia tidak mau hal itu terjadi. Maka ia harus melakukan sesuatu. Kalau kamu ingin menciptakan sesuatu, kamu harus melakukan sesuatu! Demikianlah kata Johann Wolfgang 168 von Goethe yang pernah disitir Prof. Dr. Hamdi Zaqzuq dalam kuliahnya. Sekali lagi ia harus melakukan sesuatu. Yaitu bekerja lebih serius, belajar lebih serius, dan berdoa lebih serius. Tak ada yang lain. Tak terasa bus telah sampai di depan Masjid Sayyeda Zaenab. Azzam harus turun, karena bus akan ke Termimnal Abu Raisy dan tidak melewati pasar. Para penumpang turun. Lima orang mahasiswi itu turun, termasuk yang duduk di samping Azzam. Azzam yang paling akhir turun. Beberapa mahasiswi menengok ke kiri dan kanan. "Maaf Daarut Tauzi'-nya ke sana ya?" mahasiswi berjilbab biru muda yang tadi duduk di sampingnya kembali bertanya padanya. Reflek Azzam memandang wajahnya sekilas. Subhanallah, cantik. Mahasiswi Indonesia di Cairo ada yang cantik juga. Bahkan ia merasa belum pernah melihat wanita Indonesia secantik gadis berjilbab biru muda ini. Azzam cepat-cepat mengalihkan pandangannya. Lalu dengan memandangke arah Daarut Tauzi', ia menjelaskan ke mana mereka harus melangkah dan bagaimana ciri-ciri gedungnya. Daarut Tauzi' me mang tidak terlalu kelihatan lazimnya toko buku. Sebab, tempatnya ada di lantai dua sebuah gedung agak tua "Syukran, ya." 169 "Afwan. O ya sampaikan salam buat Hosam Ahmad. Penjaga Daarut Tauzi. " "Dari siapa?" "Katakan saja dari thalib dzu himmah. 37 Dia pasti tahu." "Insya Allah. " Jawab gadis berjilbab biru muda itu. Ia dan teman-temannya menuju ke arah yang dijelaskan Azzam. Sementara Azzam langsung bergegas ke pasar. Ia melewati masjid. Pasar itu ada di sebelah selatan masjid. * * * Pasar Sayyeda Zaenab masih ramai meskipun tak seramai ketika pagi hari, sebelum Zuhur. Beberapa pedagang ikan dan daging ayam sudah mengemasi tempat mereka. Dagangan mereka telah ludes. Azzam langsung menuju kios Ammu Ragab. Ammu Ragab memang khusus menjual segala jenis tepung, kacang-kacangan dan beras. Ia menjual kacang jenis ful sudani, ful soya, adas dan lain sebagainya. "Assalamu'alaikum ya Ammu." "Wa 'alaikumussalam, o anta ya Azzam. Kaif hal ?"38 "Ana bi khair. Alhamdulillah. Andak ful shoya ?"39 37 Mahasiswa yang memiliki cita-cita. 38 Kamu Azam. Apa kabar? 39 Saya baik-baik saja. Alhamdulillah. Masih punya kacang kedelai? 170 "Thab'an 'andi. 'Aisy kam kilo?"40 "Khamsah wa 'isyrin kilo kal ‘adah. "41 Azzam lalu menjelaskan sebentar. Karena waktu sudah dekat Ashar, ia akan mengambiI barangnya setelah shalat Ashar. Setelah itu ia berrgegas ke kios penjual daging. Ia sudah pesan daging tadi pagi lewat telpon. Jika tidak pesan, jelas ia tidak akan mendapatkan daging yang diinginkan. Ternyata kios penjual daging sudah siap tutup. Dagingnya juga telah habis. "Kami masih buka karena menunggu kamu Akhi." Kata Ibrahim yang kini menjalankan kios daging milik ayahnya itu. "Maaf. Saya sedikit terlambat." Jawab Azzam. Ia memang terlambat setengah jam mengambil pesanannya. Ibrahim tampak sudah rapi dan bersih, tidak tampak kotor layaknya penjual daging. Separo kiosnya sudah ditutup. Ia duduk di kursi di depan kiosnya sambil membaca koran. Ibrahim masih muda. Umurnya masih di bawah tiga puluh tahun. Ayahnya tidak bisa lagi bekeria karena terkena stroke. Ibrahim anak sulung. Masih mempunyai empat adik. Dua perempuan dan dua laki-laki. Yang paling besar namanya Sami, lalu Yasmin, Heba dan yang paling kelil bernama Samir. Dialah yang kini jadi kepala rumah tangga. Ia mati-matian menghidupi adik-adiknya. 40 Tentu aku punya. Ingin berapa kilo? 41 Dua puluh lima kilograrn. Seperti biasa. 171 Juga mati-matian menjaga mereka agar tetap memperoleh pendidikan yang layak. Semua adiknya sekolah di Al Azhar, karena memang tak ada yang lebih murah dari Al Azhar. Yang ia tahu, Sami baru saja selesai Fakultas Dirasat Islamiyyah. Yasmin tingkat akhir di Kulliyah Banat Al Azhar. Heba baru masuk kuliah. Dan Samir masih di Madrasah Ibtidaiyyah. Ibrahim sendiri lulusan Syariah. Sebagaimana ia bisa akrab dengan mahasiswa Mesir bernama Khaled, ia bisa akrab dengan Ibrahim, juga bertemu di masjid. Tepatnya Ramadhan dua tahun lalu, saat itikaf dua hari di Masjid Amru bin Ash. Biasanya Ibrahim dibantu sama Sami, tapi kali kelihatannya ia tidak ada. "Mana Sami, kok tidak kelihatan?'' "Sedang ada keperluan keluarga di Giza." "O begitu. Kau tergesa-gesa?" "Sebenarnya tidak. Tapi saya dan Heba harus segera menyusul Sami sebelum Maghrib tiba." Azzam langsung paham bahwa Ibrahim tidak punya banyak waktu. Ia langsung mengambil pesanannya dan membayar harganya. Azzam ingin segera beranjak, namun seorang gadis remaja berjilbab khas Mesir datang dengan dua gelas karikade dingin dinampan. "Minum dulu Akhi." Ibrahim mempersilakan. 172 Sekilas Azzam melihat gadis remaja itu menatapnya sambil mengangguk lalu ke dalam. Ini adalah kali ketiga ia bertatapan dengan gadis remaja itu. Ia yakin ia adalah Heba. Kalau boleh jujur, ia harus mengakui, bahwa ia belum pernah melihat gadis secantik Heba. Cantik dan cerdas. Sebab Ibrahim pernah cerita, diusia tujuh tahun Heba telah hafal Al-Quran. Hal itulah yang membuatnya punya keinginan adiknya yang paling kecil bisa hafalAl- Quran. Seperti Heba. Ibrahim mengambil gelas dan meminumnya. Tanpa banyak bicara, Azzam langsung melakukan hal yang sama. Tujuh detik kemudian gelas itu telah kosong. Azan Ashar mengalun dari Masjid Sayyeda Zaenab. "Terima kasih Akhi. Saya pamit." kataAzzam setelah itu. "Maaf, kalau kita tidak bisa banyak berbicara seperti biasa. Waktunya memang sempit. Jangan lupa doakan kami. Doa penuntut ilmu dari jauh yang ikhlas sepertimu pasti di dengar Allah," tukas Ibrahim. "Sama-sama. Kita saling mendoakan." Azzam lalu bergegas kembali ke kios Ammu Ragab dan menitipkan dagingnya di sana. Ia hendak ke masjid shalat Ashar dulu. Ia berjalan melewati lorong pasar. Langsung ke tempat wudhu masjid. Dan saat kaki kanannya menginjak pintu masjid, sang mu'azin melantunkan iqamat. 173 Usai shalat dan berzikir secukupnya, ia langsung kembali ke pasar. Membeli bumbu-bumbu untuk membuat bakso. Dan dengan langkah cepat kembali ke kios Ammu- Ragab. Seorang pembantu Ammu Ragab membantu mengangkatkan kacang kedelainya ke pinggir jalan raya. Ia memang belanja cukup banyak dan berat. Ia merasa perutnya sangat lapar tapi tak ada waktu lagi buat makan siang. Nanti saja jika sudah sampai di rumah. Tak lama bus enam lima datang. Namun sudah penuh sesak. Ia urung naik. Jika ia tidak membawa barang pasti sudah naik. Seperempat jam berlalu dan bus enam lima berikutnya tak juga datang. Tak ada pilihan, ia harus naik taksi. Tak ada salahnya ia realistis. Ongkos biaya produksi dalam kondisi tertentu susah untuk ditekan. Yang jelas selama dalam perhitungan masih ada keuntungan sesuai dengan margin yang ditetapkan, tidak jadi problem. Sebuah taksi melintas. Ia hentikan dan dengan cepat terjadi kesepakatan. Sopir taksi membantu memasukkan barang-barang belanjaan Azzam ke dalam bagasi. Azzam duduk di depan. Taksi melaju perlahan. Menyusuri Port Said Street. Sopir taksinya seorang lelaki gendut setengah baya. Wajahnya bundar. Hidungnya besar. Rambutnya keriting kecil-kecil. Khas keturunan Afrika. Kulitnya sedikit hitam, tapi tak legam. Agaknya ia lelaki yang ramah, "Kamu mahasiswa Al Azhar ya? " 174 "Benar, Paman." "Belajarlah yang serius agar tidak susah. Agar tidak jadi sopir taksi seperti saya " "Memangnya jadi sopir taksi susah, Paman?" Sopir taksi malah cerita, "Kalau saya dulu serius belajar dan mau kuliah, pasti sudah jadi pegawai bank dengan gaji tinggi dan tidak susah seperti sekarang. Kalau saja..." Azzam langsung memotong cerita itu. Ia tahu orang Mesir kalau cerita pasti akan ke mana-mana. Kalau cerita bahagia akan melangit, kalau cerita susah akan sangat melankolis. Azzam tak mau dengar cerita itu. Ia sendiri juga sedang susah. Maka dengan cepat ia memotong, "E... Paman asli Cairo ya?" tanya Azzam. "Ah tidak. Saya lahir di Sohag. Besar di Tanta dan menikah di Cairo." "Sudah punya anak berapa, Paman?" "Baru satu dan baru berumur satu tahun" "Oo." "Yah. Saya termasuk terlambat menikah. Saya menikah saat berumur 46 tahun. Tahu sendiri. Menikah di sini tidak mudah." Ini bukan kali pertama Azzam mendengar cerita seperti ini. Di Mesir dan negara Arab lainnya, menikah memang sangat mahal. Sehingga tidak sedikit yang terlambat menikah. Golongan yang pas-pasan punya, tapi tidak 175 kaya, biasanya banyak terlambat. Baik lelaki maupun perempuan. Justru sekalian golongan yang miskin malah banyak yang nikah muda. Mereka menikah dengan sesama orang miskin sehingga syarat syarat bersifat material sama-sama dimudahkan. Banyak ulama Mesir yang menyerukan untuk memurahkan mahar dan memudahkan syarat. Tapi seruan itu seperti angin yang berlalu tanpa bekas. Si Ibrahim, penjual daging langgaanannya ingin sekali segera menikah. Namun belum juga bisa menikah karena persoalan materi. "Saya sarankan kamu jangan sekali-kali punya pikiran menikahi gadis Mesir." Gumam sang sopir. "Kenapa, Paman? " "Susah. Sembilan puluh sembilan koma sembilan persen perempuan Mesir itu menyusahkan. Keluarga mereka juga menyusahkan." "Ah yang benar, Pamar." "Benar. Serius! " "Termasuk isteri Paman? " Entah kenapa spontan ia bertanya begitu. "Iya. Apalagi dia. Rasanya nggak pernah dia bikin suami bahagia, kecuali saat bulan madu dulu." "Ah Paman bohong. Tuan rumah saya di Hay El Ashir, seorang perempuan. Asli Mesir, Paman. Namanya 176 Madam Rihem. Dia sangat baik. Kepada siapa saja. Kepada kami yang bukan siapa-siapanya, juga kepada para tetangga. Dia membuat kami bahagia, Paman. Dia sangat pengertian jika kami telat membayar uang sewa" "Dia masuk dalam kelompok nol koma nol satu persen. SudahIah percayalah padaku. Jangan sekali-kali berpikiran mau menikahi gadis Mesir. Saya dengar nikah di Asia Tenggara itu mudah. Perempuan perempuannya juga sangat taat pada suami. Kamu orang mana?" "Indonesiar Paman." "Apalagi Indonesia. Sebaik-baik manusia adalah orang Indonesia. " "Ah Paman bisa saja basa-basinya." Taksi terus melaju melewati MaydanAhmad Maher. "Saya tidak basa-basi. Saya serius. Tetangga saya yang baru haji tahun ini yang memberitahukan hal ini kepada saya. Ia melihat selamah haji, jamaah haji yang paling lembut dan paling penurut adalah jamaah haji Indonesia." Azzam tidak tahu harus menjawab apa. Tiba-tiba matanya menangkap sesuatu di depan. Dua mahasiswi Indonesia di pinggir jalan tak jauh dari Museum of Islamic Art. Kelihatannya ada sesuatu dengan mereka. Keduanya duduk. Yang satu, yang berjilbab cokelat muda kelihatannya menangis. Sementara yang satunya, yang berjilbab biru kelihatannya sedang berusaha 177 menenangkan temannya. "Masya Allah, dia kan mahasiswi yang tadi duduk di sampingku. " lirih Azzam. "Paman berhenti sebentar ya. Kelihatannya ada masalah dengan mahasiswi dari Indonesia itu. " Pinta Azzam. "Baik. Tapi jangan lama-lama ya." "Baik, Paman. " Azzam turun dan mendekati mereka berdua. Ia mendengar suara sesenggukan dari gadis berjilbab cokelat muda. "Mm, maaf Ukhti. Ada apa ya? Ada yang bisa saya bantu? Sapa Azzam sesopan mungkin. Beberapa orang Mesir melihat mereka. Gadis yang berjilbab biru menjawab, "Kami kena musibah. Dompet Ukhti Erna ini dicopet. Tadi busnya penuh sesak. Kami berdiri dekat pintu. Saya melihat copet itu mengambil dompet Ukhti Erna. Saya berteriak. Si copet langsung loncat bus dan lari. Saya minta bus berhenti dan minta orang-orang membantu mengejar pencuri itu. Tapi mungkin sopirnya nggak dengar, soalnya kita di pintu belakang. Kita baru bisa turun di halte depan. Kita lari ke sini karena copetnya tadi loncat di sini. Dengan harapan ada orang Mesir yang menangkapnya. Tapi jejaknya saja tidak ada. Padahal dalam dompet itu ada uang dua ratus lima puluh dollar dan tujuh puluh lima pound. Sekarang kami baru sadar, kami tak punya uang sama sekali. Kami tak bisa pulang. Uangku sendiri sudah habis untuk beli kitab." 178 Azzam tahu kenapa mahasiswi itu sampai menangis. Dua ratus lima puluh dollar dan tujuh puluh lima pound itu sangat banyak bagi mahasiswa Indonesia di Cairo. Kalau bagi mahasiswa Brunei mungkin lain. "Sudahlah diihklaskan saja. Semoga diganti yang lebih baik oleh Allah. Oh ya bukankah kalian tadi berlima atau berenam?" "Ya, tadi kami berenam. Saat pulang kami berpisah di depan Masjid Sayyeda Zaenab. Mereka berempat naik taksi ke Dokki, sementara kami naik bus enam lima. " " Kalau boleh tahu, kalian tinggal di mana? " "Di Abdur Rasul." "O, baik. Kebetulan saya naik taksi. Bangku belakang masih kosong. Kalian bisa ikut." Kata Azzam. "Erna ayo sudahlah, kita ikut dia saja." Tanpa bicara sepatah pun mahasiswi bernama Ema itu perlahan bangkit. Azzam berjalan di depan. Ia membukakan pintu taksi. Dua mahasiswi itu masuk. Azzam melihat dua mahasiswi itu tak membawa apa apa selain yang berkerudung biru membawa tas cangklong hitam kecil. "Lha buku dan kitab yang dibeli mana?" Tanya Azzam. "Tertinggal di bus. Saat kami berdiri, kitab dalam kantong plastik itu saya letakkan di bawah, karena agak berat. Begitu saya melihat penjahat itu mencopet dompet 179 Erna, saya sudah tidak ingat apa-apa kecuali berteriak dan merebut dompet itu kembali. Dan ketika kami turun dari bus, kitab itu tertinggal di dalam bus." Jawab mahasiswi berjilbab biru. "O, ya sudah. Semoga bisa dilacak." Sahut Azzam sambil menutup pintu taksi. Taksi perlahan bergerak. Pikiran Azzam juga bergerak bagaimana mendapatkan kembali kitab itu. "Kitab apa saja yang kamu beli kalau boleh tahu?" Dari belakang terdengar jawaban, "Lathaiful Ma'arif-nya Ibnu Rajab Al Hanbali, Fatawa Mu'ashirah-nya Yusuf Al Qardhawi, Dhawabithul Mashlaha-nya Al Bulthi, Al Qawaid Al Fiqhiyyah-nya Ali An Nadawi, Ushulud Dakwah-nya Doktor Abdul Karim Zaidan, Kitabul Kharraj-nya Imam Abu Yusuf, Al Qamusnya Fairuzabadi dan Syarhul Maqashid-nya Taftazani." Azzam tidak berkomentar. Dari jawaban yang ia dengar, ia langsung bisa memastikan tiga hal. Pertama, total harga kitab itu ratusan pound. Kedua, mahasiswi yang membeli kitab itu adalah orang yang sangat cinta ilmu. Ketiga, ia kemungkinan besar adalah mahasiswi Syari'ah. "Busnya sudah lama jalan?" tanya Azzam. "Kira-kira lima belas menit yang lalu." 180 Tiba-tiba sebuah ide berpijar di kepalanya. Bus itu mungkin bisa dikejar jika taksi bisa memotong jalur. Apalagi bus itu padat. Pasti lebih lambat karena akan banyak menurunkan penumpang. Itu prediksinya. "Paman bisa ngebut dan motong jalur ke Masjid Nuril Khithab Kulliyatul Banat Nasr City?" "Tentu bisa. Kebut mengebut dan memotong jalur itu kebiasaanku waktu masih muda. " "Lakukan itu Paman, saya tambah lima pound." "Nggak. Kalau mau tambah sepuluh pound." Azzam berpikir sebentar. "Baik. " Dan seketika taksi itu menambah kecepatannya. Azzam memperbanyak membaca shalawat. Sementara dua penumpang di belakangnya diam dalam rasa sedih berselimut cemas. Tak ada yang mereka lakukan kecuali menyerahkan semuanya kepada Allah yang Maha Menentukan Takdir. 181 10 PENGEJARAN DENGAN TAKSI Sopir taksi itu mengerahkan segenap kemampuannya untuk ngebut. Ia sangat hafal dengan jalan jalan tembus yang paling aman dari keramaian dan macet. Dalam waktu seperempat jam, taksi itu telah sampai di Hay El Sades ke arah kawasan kampus Al Azhar Nasr City. Lalu melaju kencang ke arah Masjid Nuri Khithab. Selama dalam perjalanan Azzam diam. Tidak banyak berbicara. Dua penumpang di belakangnya juga melakukan hal yang sama. Kalaupun Azzam bicara hanya untuk menjawab pertanyaan sopir taksi sesekali saja. Tiga menit kemudian taksi hitam putih itu sampai di perempatan Masjid Nuri Khithab. Azzam minta supaya 182 belok kiri menyusuri Thayaran Street ke arah Ta’min Shihi. Azzam memposisikan taksi berhenti di Halte jalur ke Hay El Sabe dekat Muraqib supaya enak mencegat bus enam lima. Sopir minta tambah an ongkos. Akhirnya Azzam kembali harus sepakat memberi tambahan. Beberapa menit menunggu, dari arah Rab'ah sekonyong konyong Azzam melihat bus enam lima datang. "Ukhti, kamu lihat kitabmu dipintu belakang. Saya akan naik dari pintu depan minta agar sopirnya berhenti beberapa saat. Semoga itu bus kamu tadi!" Seru Azzam begitu bus itu merapat di Halte mau berhenti. Mahasiswa berjilbab biru itu mengangguk dan bersiapsiap. Bus berhenti. Azzam menuju kepintu depan. Begitu pintu dibuka ia langsung melompat. Ia nyaris bertabrakan dengan penumpang yang mau turun. Ia mepet bergantung di pinggir pintu dan minta sang sopir berhenti sebentar. Mahasiswi berjilbab biru sudah naik. Ia melihat -lihat dibawah kursi dekat kondektur duduk. Kedua matanya langsung menangkap buku dan kitabnya dalam dua plastik putih. Hatinya sangat bahagia. Ketika hendak mengambilnya sang kondektur mempersilakan. Agaknya sang kondektur belum lupa dengan musibah yang menimpa dua mahasiswi beberapa saat yang lalu. "Maafkan kami atas musibah tadi," kata kondektur itu. "Tidak apa-apa. Semoga diganti yang lebih baik oleh Allah," jawab mahasiswi itu lalu turun. 183 Sambil menggelantung di pintu depan, Azzam melihat mahasiswi itu membawa dua plastik putih berisi kitab. Ia langsung melompat turun dan mempersilakan sopir menja-lankan busnya. "Gimana masih lengkap, tak ada yang hilang? " tanya Azzam. Mahasiswi itu lalu memeriksa sebentar. Dan dengan wajah berbinar, ia menjawab, "Alhamdulillah. Masih lengkap. Terima kasih ya atas segalanya. Kalau boleh tahu nama situ siapa?" "Aku Abdullah." Jawab Azzam. Nama kecilnya memang Abdullah Khairul Azzam. Entah kenapa ketika dibuat akte kelahiran yang terlulis hanya Khairul Azzam saja, Abdullahnya hilang. Jadi dengan mengatakan namanya Abdullah, ia sama sekali tidak bohong. Namun mahasiswa di Cairo tidak ada yang mengenalnya sebagai Abdullah. Ia memang tidak ingin namanya diketahui dua mahasiswi itu. Ia mau menjaga keikhlasannya. Maka meskipun mahasiswi cantik berjilbab biru itu bertanya namanya, ia tidak gantian menanyakan namanya. "Tinggal di mana?" tanya mahasiswi itu lagi. Sementara mahasiswi yang satunya diam saja. Kelihatannya ia masih sedih kehilangan dompetnya yang berisi dua ratus lima puluh dollar dan tujuh puluh lima pound. "Di Madrasah Hay El Ashir. Ini sudah sore. Kalian ikut sampai sini saja ya. Saya harus segera melanjutkan perjalanan. Sopir taksinya sudah menunggu. Nanti kalau 184 kelamaan, dia minta tambah lagi. Jawab Azzam sambil melihat jam tangannya. "Iya Mas..a..Abdullah. Terima kasih banget ya." "Ya sama-sama. Lain kali lebih hati-hati ya. Assalamu- 'alaikum." "Wa 'alaikumussalam wa rahmatullah." Azzam langsung masuk ke dalam taksi. Taksi berjalan lurus ke arah Hay El Sabe'. Dua mahasiswi itu memandangi taksi itu sampai menghilang dikejauhan. Nama Abdullah membuka satu lembar catatan dalam hati mereka. Matahari semakin kekuning-kuningan. Senja menunjukkan tanda-tanda segera datang. Bus-bus penuh dengan orang kelelahan. Dua mahasiswi itu melangkah perlahan ke arah Abdur Rasul. Letaknya tak jauh. Tiga ratus meter ke depan. Angin musim semi yang sejuk membelai jilbab mereka dengan penuh kasih sayang. Cairo kembali menggores episode yang indah untuk dikenang. *** Dua mahasiswi itu sampai di rumah kontrakan mereka di Abdur Rasul. Rumah yang besar berada di lantai dua sebuah villa anggun bercat putih. Rumah itu terdiri atas tiga kamar tidur asli. Satu kamar tidur tambahan. Satu kamar mandi. Dapur. Ruang tamu. Dan dua balkon. Dihuni oleh enam orang mahasiswi. Empat orang dari Indonesia dan dua orang dari Malaysia. 185 Erna sudah lebih cerah meskipun guratan kesedihannya masih tampak jelas. Mereka pulang disambut oleh Zahraza, mahasiswi tingkat tiga dari Negeri Kedah, Malaysia. "Erna, kenape muka awak pucat macam tu? Fi eh?" 42 tanya Zahraza, teman satu kamar Erna. Logat Malaysianya sama sekali tidak berubah meskipun sudah dua tahun tinggal satu rumah dengan orang Indonesia. Selain Zahraza, mahasiswi Malaysia yang tinggal di situ adalah Wan Aina, berasal dari Negeri Selangor. Zahraza masih duduk di S. 1, tingkat akhir. sedangkan Wan Aina sudah masuk tahun pertama S.2-nya. Dua penghuni lainnya adalah Hanum dari Bandung, dan Sholihati dari Kudus. Keduanya satu kelas dengan E rna. Jadi di rumah itu yang paling senior secara akademis adalah Anna. Adapun yang paling senior secara umur adalah Sholihati. Sebelum kuliah di Al Azhar, gadis yang pernah belajar di Madrasah Banat Kudus itu pernah menjadi tenaga kerja di Kuwait lebih dari dua tahun. Karena cintanya pada ilmu, begitu ia memiliki dana untuk terbang ke Mesir, ia tinggalkan pekerjaannya untuk menuntut ilmu. Semangat belajarnya yang luar biasa itu membuat banyak orang salut padanya. Namun Anna tetaplah yang paling disegani di rumah itu, selain karena ia paling berprestasi dan paling bisa memimpin, ia adalah puteri seorang kiai. Anna tinggal satu kamar sendiri. Erna satu kamar dengan Zahraza. Sedangkan 42 Fi eh? , ada apa? 186 Wan Aina satu kamar dengan Sholihati. Mereka hidup di rumah itu layaknya saudara sendiri. Adapun Hanum menempati kamar tambahan sendirian. Kamar itu letaknya di samping ruang tamu, hanya disekat dengan tabir dari kain berwarna hijau tua yang tebal. "Tak usah cemas. Tak ada ape-ape. Hanya musibah sikit aje." jawab Erna, sedikit terpengaruh oleh logat Malaysia. "Musibah apa tu? " kejar Zahraza. "Tanya aja sama Erna. Saya nak ke kamar dulu ya," jawab Anna bergegas ke kamarnya. Zahraza langsung minta penjelasan Erna. Erna lalu menjelaskan dengan detil semua peristiwa yang baru saja dialaminya. Termasuk juga pertolongan tak disangka dari seorang mahasiswa Indonesia bemama Abdullah. Zahraza mendengar-kan dengan penuh perhatian. Sementara itu, taksi berwarna hitam putih yang membawa Azzam meluncur memasuki kawasan Hay El Ashir. Melewati Bawwabah Tsalitsah, terus melaju ke timur. Melewati kawasan yang oleh mahasiswa Asia Tenggara disebut Nadi Kahrubai. Sebuah kawasan luas yang dilewati arus listrik tegangan tinggi. Daerah itu berupa jalan aspal yang lebar. Dan oleh penduduk setempat, juga oleh mahasiswa Asia Tenggara, sering digunakan bermain sepakbola. Maka disebut Nadi Kahrubai, atau stadion listrik. 187 Kawasan ini juga sering disebut Suq Sayyarah, atau Pasar Mobil. Sebab, padahari Jumat kawasan ini berubah menjadi tempat jual beli mobil bekas terbesar di Cairo. Kawasan yang luasnya berhektar-hektar itu penuh dengan pelbagai macam mobil. Bagi yang ingin mendapatkan mobil yang bagus dan murah, di sinilah tempatnya. Syaratnya tentu saja harus bisa memilih dan bisa menawar dengan baik. Jika tidak, justru bisa sebaliknya. Azzam melihat ke arah Nadi Kahrubai dan dari kejauhan ia melihat banyak mahasiswa Asia Tenggara di sana. Ada juga mahasiswa berkulit hitam. Mereka sedang bermain sepak bola. Di sebelah Nadi tampak Masjid Sarbini yang pada bulan Ramadhan biasa menyediakan buka puasa gratis. Masjid itu menjadi salah satu tempat favorit bagi mahasiswa Asia Tenggara, di samping masjid-masjid yang lain. Azzam sendiri juga sering berbuka di masjid itu bersama teman-teman satu rumahnya. Tak lama kemudian, taksi itu sampai di Mutsallats. Azzam memberi instruksi kepada sopir taksi agar belok ke kanan. Taksi berjalan pelan memasuki kawasan Mutsallats. Rumah-rumah penduduk berbentuk kotak kotak berwarna cokelat. Warna khas pasir dan debu padang pasir di Mesir. Azzam kembali meminta taksi belok kanan. Sampai di depan apartemen berlantai enam yang menghadap ke selatan, Azzam menyuruh taksi itu berhenti. Azzam keluar dari taksi. Sopir taksi membantu mengeluarkan barang-barang Azzam dari bagasi. Azzam memeriksa barangnya. Semua genap. Azzam menyerahkan 188 ongkos pada sopir taksi. Sopir gendut berwajah bundar itu langsung menghitung. "Khamsah junaih kaman ya Andonesi !" 43 "La, khalas, mafi ziadah ya Ammu. Haram ‘alaik ya Ammu!" 44 Sopir taksi itu tersenyum. "Thayyib, 'ala kulli hal mutasyakkir! Hadza yakfi" 45 Ia lalu masuk ke dalam taksi dan pergi. Azzam meletakkan barang-barangnya di depan pintu gerbang. Sambil menenteng kantong plastik berisi daging sapi ia naik ke lantai tiga. Flatnya ada di lantai tiga. Ia masuk. Sepi. Tak ada orang di ruang tamu. Ia langsung memasukkan daging sapi ke dalam kulkas. Ia periksa kamar per kamar. Hanya ada Nanang yang sedang duduk di depan komputer milik Fadhil. Kedua telinganya ditutup dengan earphone. Agaknya ia sedang asyik mendengarkan lagu-lagu pop Mesir sambil mengetik. Azzam menepuk bahu Nanang. Nanang terhenyak kaget, lalu tersenyum. Ia melepas earphonenya. Azzam meminta Nanang untuk membantunya menaikkan barang-barang belanjaannya ke atas. Terutama mengangkat kedelai. Ia sendiri sudah sangat letih. 43 Lima pound lagi, hai orang Indonesia! 44 Tidak, s udah, tak ada tambahan lagi Paman. Haram bagimu Paman 45 Baik, walau bagaimanapun, terima kasih. Inl sudah cukup! 189 "Okay bos!" Jawab Nanang riang. Ia mengikuti Azzam turun. Mereka berdua lalu menaikkan barang barang belanjaan itu ke dalam Flat. * * * "Semoga ini semua ada hikmahnya," lirih Zahraza selesai mendengar cerita Erna. "Hikmahnya sudah aku dapatkan. Ini jadi teguran Allah atas kebakhilanku selama ini. Sebenarnya uang itu tadi pagi mau dipinjam Mbak Hanum dua ratus dollar tapi aku tidak boleh. Aku sungguh menyesal,'' Jawab Erna sambil menundukkan kepalanya. "Sudahlah Erna. Kita cakap perkara yang lain saja. By the way, siapa tadi pemuda yang menolong kalian?" tanya Zahraza. "Namanya Abdullah." "Kau kenal dia tak?" Erna menggelengkan kepala. "Sst... by the way ia handsome tak?" Erna melototkan matanya. Namun Zahraza tidak takut. Ia malah berkomentar, "Wah berarti pemuda itu handsome. Terus terang aku suka sekali kepada pemuda yang baik hati dan pemberani seperti pemuda yang menolong kalian tadi. Apalagi kalau dia handsome. Nggak handsome saja aku pasti menaruh 190 simpatik. Kalau aku yang jadi kau sudah aku kejar pemuda itu. Jaman sekarang, tidak mudah cari calon suami yang baik hati dan penuh perhatian seperti pemuda itu. Semoga Allah mempertemukan aku dengan dia dalam pertemuan yang penuh barakah. " Komentar mahasiswi Malaysia itu didengar dengan jelas oleh Anna dari kamarnya. Entah kenapa, ia begitu cemburu mendengar komentar itu. Ia jadi heran sendiri kenapa ia mesti cem-buru. Padahal ia bukan siapa siapanya. Ia juga baru bertemu hari itu. Ia tidak tahu identitasnya. Juga tidak tahu rumahnya. Pemuda itu pun tidak tahu siapa dia. Sebab ia tidak mem-perkenalkan namanya, dan pemuda itu juga tidak bertanya namanya. Anna cepat-cepat menyingkirkan perasaan itu. Herannya, setiap kali Zahraza bercerita tentang kebaikan mahasiswa Indonesia, ia selalu cemburu. Aksen dan logat ga-dis Malaysia yang halus itu, kalau bercerita tentang mahasiswa Indonesia memang punya kekuatan yang membangkitkan rasa cemburu bagi mah asiswi Indonesia. Apalagi ia memang punya pengalaman indah dengan mahasiswa Indonesia. Saat awal-awal di Mesir, ia tinggal di rumah Negeri Kedah yang ada di daerah Thub Ramly, Hay El Ashir. Suatu kali ia puIang dari belanja di toko Misr wa sudan menjelang Isya. Ketika ia berjalan berdua dengan temannya melewati shahra 46 yang sepi tiba-tiba ada orang Mesir yang hendak berbuat jahat padanya. Ia menjerit 46 Shahra, tanah yang sangat lapang, padang pasir. 191 jerit. Untung saat itu ada mahasiswa Indonesia melintas. Mahasiswa itu langsung memukul orang Mesir. Orang Mesir balik memukul. Terjadilah perkelahian. Ternyata mahasiswa Indonesia itu bisa ilmu bela diri, sehingga orang Mesir itu akhirnya lari. Mahasiswa Indonesia itu juga mengantarkan mereka berdua sampai di rumahnya. Sejak itulah di mata Zahraza, pemuda Indonesia yang belajar di Mesir adalah manusia pemberani yang baik hati. "Bodohnya awak ni. Awak tak tanya siape nama pemuda itu. Dan dimana alamat dia duduk. Awak benar-benar bodoh. Padahal pemuda itu sangat berjasa bagi awak. Jika tak ada pemuda itu mungkin kesucian awak sudah hilang." Begitu komentar Zahraza setiap kali mengulang ceritanya itu. Entah sudah berapa kali Zahraza bercerita tentang kejadian itu. Dan sampai sekarang, mahasiswa Indonesia yang menolong Zah-raza itu juga tidak diketahui siapa. Tidak ada kabar dan selentingan berita mahasiswa Indonesia yang mengaku atau bercerita pernah menolong mahasiswi Malaysia di Shahra dekat Thub Ramli. Anna tahu, kecemburuannya merupakan hal yang tak perlu. Mahasiswi Malaysia menaruh simpatik pada mahasiswa Indonesia karena kebaikan, adalah hal yang bukannya tidak boleh terjadi. Jika yang jadi landasannya adalah kebaikan, jalannya adalah kebaikan, dan tujuannya adalah kebaikan. Apanya yang salah. Anna merasa ia telah berlebihan dengan merasa cemburu, hanya karena komentar yang bisa jadi juga sekadar 192 komentar biasa: tak lebih dari sekadar komentar yang mungkin tujuannya justru untuk menghangatkan suasana, atau untuk menunjukkan rasa hormatnya pada orang Indonesia. Ia merasa harus meletakkan cemburunya, cintanya, dan bencinya pada tempatnya yang tepat. * * * "Kau lagi nulis apa tho Nang?" tanya Azzam pada Nanang. Keduanya duduk di ruang tamu. Azzam menyandarkan punggungnya. Ia tampak kelelahan. "Anu Kang lagi iseng-iseng bikin cerpen." "Iseng?" "Iya Kang. " "Jangan isenglah Nang. Kalo bikin cerpen mbok ya yang serius. Menulis ya yang serius. Kalau iseng itu percuma! Komputernya bukan milik sendiri, listrik juga mbayar, waktu habis, lha kok masih iseng!" "Maksudnya latihan Kang. Latihan bikin cerpen. Bukan iseng!" "Ya gitu lho. Kapan kita maju kalau kita menggunakan waktu kita untuk iseng terus. Ya tho Nang? O ya Nang, kok sepi anak-anak pada ke mana?" "Fadhil sama Ali lagi main bola. Keduanya sedang bertanding sekarang," jawab Nanang. 193 "Di Nadi Kahrubai?" "Ya tidaklah Kang. Ini pertandingan serius. Tim KMA 47 dan Tim KEMASS. 48 Fadhil membela KMA dan, Ali membela KEMASS. Mereka bertanding di Nadi Syabab." "O kok mereka nggak bilang-bilang ya mau tanding." "Iya lha aku aja ngertinya ya tadi ketika si Mahmud, kiper KMA datang menjemput Fadhil. Mereka nggak bilang-bilang ke kita. Katanya sih biar kita tidak bingung bela siapa." "Ya udah, kita nggak usah membela siapa-siapa saja." "Terus Hafez sama Nasir ke mana?" "Hafez tadi pamit mau ke Katamea. Ke rumah Salman, temannya satu almamater. Kalau Nasir ya seperti biasa Kang, nganter tiket. Katanya sih ke Abdur Rasul. Ada mahasiswi Indonesia yang akan pulang. Kang itu di kulkas ada tamar hindi." "Wah kebetulan. Lagi haus nih." Azzam bergegas ke dapur. Membuka kulkas. Mengambil botol air mineral yang berisi tamar hindi lalu menuangkannya ke gelas. Ia kembali ke ruang tamu dan minum dengan penuh kenikmatan. "Yang beli kamu Nang?" 47 KMA, Keluarga Mahastswa Aceh 48 KEMASS, Keluarga Mahasiswa Sumatera Selatan. 194 "Bukan saya Kang, tapi Ali. Tadi sebelum berangkat ke Nadi Syabab. Ia beli dua botol. Yang satu ia bawa, yang satu untuk kita katanya. Kang, aku ngelanjutin nulis lagi ya?" "Ya. Tapi jangan pake earphone. Nanti kamu nggak dengar azan. Sebentar lagi Maghrib!" "Iya Kang. " Nanang beranjak menuju komputer yang ditinggalkannya. Sementara Azzam masuk ke kamamya. Ia mengganti bajunya dengan kaos, dan celana panjangnya dengan sarung. Lalu rebahan di atas kasur. Ia ingin mengendurkan otot-ototnya barang beberapa menit. Sebab sore ini juga ia harus langsung menggarap kedelainya untuk mulai diproses menjadi tempe. Lalu nanti malam setelah shalat Isya ia harus mulai menggarap daging sapinya untuk dijadikan bakso. Dalam kondisi seletih apapun, ia harus tetap sabar dan tegar melakukan itu semua. Jika tidak, ia takkan hidup layak, juga adik-adiknya di Indonesia. Namun karena sudah biasa, itu semua sudah tak lagi menjadi sesuatu yang berat baginya. Dan yang paling penting bagi dirinya, dengan kerja keras yang sudah biasa ia lakukan, ia sama sekali tak khawatir akan masa depannya. Ia merasa bersyukur dengan apa yang dikaruniakan Allah kepadanya saat ini. Ia berani menatap mantap masa depannya. Ia tidak merasa cemas? Apa yang perlu dicemaskan oleh seorang 195 manusia yang diberi pikiran sehat, anggota badan yang genap, dan mengimani adanya Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang? Selain pada Pak Ali, selama ini ia tak pernah menceritakan kepada siapa pun mengenai beban-beban hidupnya. Juga jalan terjal yang harus dilaluinya. Beberapa orang hanya tahu ia adalah jenis mahasiswa yang lebih mementingkan bisnis tempe dan baksonya daripada kuliah. Ia sama sekali bukan mahasiswa yang diperhitungkan dalam kancah dunia kajian dan intelektual. Nama aslinya bahkan sedikit yang tahu. Kalau memang ada yang tahu, biasanya adalah orang-orang seangkatannya. Sementara mereka yang satu angkatan dengannya telah banyak yang menyelesaikan studi S.1 nya. Bahkan telah banyak yang pulang ke Tanah Air. Tinggal beberapa orang yang tersisa dari mereka, karena mereka melanjutkan S.2. Yang masih S.1 hanya dirinya. Beberapa mahasiswa baru yang mengenalnya, lebih banyak mengenalnya sebagai mahasiswa kawakan yang belum juga lulus S.1. Padahal ia sudah sembilan tahun di Mesir. Ia sama sekali tidak mempedulikan hal itu. Baginya, yang penting ia telah melakukan hal yang benar. Benar untuk dirinya, ibunya, adik-adiknya dan agamanya. Ia teringat sebuah nasihat dari seorang Syaikh Muda, ketika ia shalat Jumat di Masjid Ar Rahmah Masakin Utsman. Syaikh Muda itu dalam khutbah-nya menguraikan tentang pentingnya banyak kerja sedikit bicara. 196 "Kenapa Allah mengaruniakan kepada kita dua tangan, dua kaki, dua mata, dua telinga, jutaan syaraf otak, tapi hanya mengaruniakan kepada kita satu mulut saja? Jawabnya, karena Allah menginginkan agar kita lebih banyak bekerja, lebih banyak beramal nyata daripada bicara. Maka ada ungkapan, man katsura kalamuhu katsura khatauhu. Siapa yang banyak bicaranya maka banya dosanya! Dan karenanya Rasulullah Saw. menasihati kita semua, "Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah berkata yang baik atau diam saja!' Umat dan bangsa yang besar adalah umat dan bangsa yang lebih banyak kerjanya daripada bicaranya. Orang orang besar sepanjang sejarah adalah mereka yang lebih banyak bekerja daripada bicara!" kata Syaikh Muda itu. Lalu sebelum mengakhiri khutbah pertamanya, Syaikh Muda itu menyitir nasihat James Allen, "Jangan biarkan orang lain lebik tahu banyak tentang dirimu. Bekerjalah dengan senang hati dan dengan ketenangan jiwa, yang membuat kamu menyadari, bahwa muatan pikiran yang benar dan usaha yang benar akan mendatangkan hasil yang benar!" Ia merasa yang benar baginya adalah tidak banyak bicara. Banyak kerja. Dan orang tidak perlu tahu kenapa ia tidak juga lulus. Kenapa ia nyaris tidak pernah hadir dalam segala hiruk pikuk kegiatan ilmiah mahasiswa Indonesia di Cairo. Kecuali beberapa saja. Hidupnya di Cairo lebih banyak berkutat di rumah, masjid, pasar, rumah para pelanggan tempenya, dan rumah-rumah bapak-bapak KBRI yang memesan baksonya. Kampus Al- Azhar sendiri jarang ia datangi apalagi perpusta-kaan. 197 Baginya, kampus utamanya justru masjid. Khutbah Jumat, ceramah beberapa menit dari imam masjid setelah shalat, halaqah membaca Al-Quran setelah shalat Subuh adalah tempat utamanya menimba ilmu. Ia menganggap itulah yang terbaik untuk doaya. Dan berulangkali ia mengatakan pada dirinya sendiri, jangan pernah engkau merasa tersiksa dengan apa yang engkau anggap baik untuk dirimu! Ia tidak mengingkari bahwa ia sebenarnya sangat ingin bergerak dan berdinamika normalnya mahasiswa. Namun kondisi orang berbeda-beda. Sudah seperempat jam ia rebahan sambil memejamkan mata. Otot-otot tubuhnya lebih terasa lebih fresh dan segar. Lima menit lagi azan Maghrib berkumandang. Ia cepat cepat bangkit. Menyambar handuk dan ke kamar mandi. Begitu ia masuk kamar mandi dan memutar kran air panas, sayu-sayup ia mendengar suara heboh Fadhil dan Ali. "Mereka sudah pulang. Semoga tidak ada yang kalah. Semua menang!" desisnya dalam hati sambil menambah kuat aliran air dingin. Setelah ia merasa ukuran panasdinginnya air pas, ia mandi dengan shower. Sentuhan air yang menerpa tubuhnya itu ia rasakan begitu nikmat. Begitu meremajakan syaraf-syaraf dan otot-ototnya. Ketika sedang asyiknya mandi, pintu kamar mandi digedor keras, "KangAzzam ada telpon!" Itu suara Ali langsung mejawab dengan suara keras. 198 "Sedang mandi! " "Disudahi dulu saja Kang! Ini penting." "Disudahi gimana, ini lagi pakai shampo!" "Ini dari Eliana Kang, putrinya Pak Dubes! Katanya penting! " "Mau putrinya Dubes, mau putrinya Presiden, suruh telpon lagi habis Maghrib. Titik!" "Baik Kang." * * * Matahari perlahan masuk ke peraduannya. Lampu lampu di sepanjang Kornes Nil mulai menyala. Azan berkumandang bersahut-sahutan. Furqan keluar dari kamar hotelnya. Ia bergegas ke masjid. Di dalam lift ia kembali bertemu dengan mahasiswa dari Jepang. Mahasiswa Jepang itu mengangguk, ia pun mengangguk. Ia sampai di masjid tepat sesaat sebelum iqamat dikumandangkan. Kali ini, ia shalat diimami oleh imam yang agaknya menganut mazhab Imam Malik. Sebab sang imam setelah takbir tidak meletakkan kedua tangganya di dada, tapi meluruskan tangan-nya seperti posisi tentara yang sedang siap dalam barisannya. Bacaan Al-Quran imam setengah baya itu sungguh indah. Ia larut dan tersentuh . 199 Usai shalat ia kembali ke hotel. Langsung masuk kamar. Membaca Al-Quran beberapa halaman, lalu kembali membaca tesisnya. Ia kembali membaca baris demi baris. Sesekali ia berhenti memprediksi pertanyaan para penguji yang kira-kira akan disampaikan kepadanya. Lalu ia mempersiapkan jawaban yang ia anggap tepat. Tibatiba telepon berdering membuyarkan konsentrasinya. "Ya siapa ini?" "Ini Sara, Tuan Furqan. Mengingatkan aja. Anda tidak lupa dengan undangan saya bukan? Pukul 19.30 di Abu Sakr Restaurant." "Saya tidak lupa. Tapi saya kelihatannya tidak bisa datang" "Saya sangat berharap Tuan datang." "Kalau tidak datang semoga Nona tidak kecewa. " "Justru saya kuatir, jika Anda tidak datang, Anda menyesal. Undangan ini mungkin hanya sekali Anda dapatkan dalam hidup Anda" "Terima kasih, saya merasa tersanjung." "Saya merasa lebih tersanjung jika Anda berkenan datang. O ya, Anda kenal Prof. Dr. Sa'duddin Zifzat?" "Ya saya kenal. Dia seorang sejarawan dan penulis terkenal." "Dia ayah saya." 200 "Benarkah?" "Iya tentu saja. Dia akan datang bersama saya." "Sekali lagi, maafkan jika nanti saya tidak bisa datang." "Pikirkanlah, saya berharap Anda datang.Terima kasih. " Klik. Telpon itu diputus. Furqan sedikit bingung antara menyelesaikan persiapannya membaca ulang tesisya, atau memenuhi undangan Sara. Undangan makan malam gadis Mesir sesungguhnya sangat menarik. Apalagi ia sediri terbayang gadis itu juga memiliki pesona yang sangat menarik. Astaghfirullah. Ia beristighfar ketika kelebatan wajah Sara yang menarik hadir di pikirannya. Dari penjelasan Sara bahwa prof. Sa'duddin Zifzaf, penulis Mesir terkenal yang juga staf ahli Menteri Pendidikan itu adalah ayahnya, sungguh mengusik hatinya. Apakah benar? Yang lebih mengusiknya, kenapa gadis Mesir itu mengundangnya? Dan kenapa sedemikian gencar menelponnya? Apakah benar gadis itu benar-benar tahu banyak tentang dirinya? Ataukah hanya basa-basi belaka? Hatinya terus bertanyatanya. 201 11 REZEKI SILATURRAHMI Usai shalat Mahgrib, Azzam langsung dapur memasak air di panci besar untuk menggarap kacang kedelainya. Sambil menunggu air memanas, ia membaca Al Ma’tsurat lalu tilawah. Lima belas menit kemudian ia yakin air telah sangat panas. Tidak harus mendidih. Ia turunkan air itu dari kompor gas. Ia membuka karung kedelainya. Menakarnya dan langsung merendamnya dengan air panas itu. Itulah proses paling awal dalam menggarap kedelai menjadi tempe. Kira-kira lima menit ia merendam kedelai itu. Kemudian ia memisahkan kotoran -kotoran yang menyertai kedelai. Biasanya kotoran itu mengapung. Ia ciduk kotoran itu, lalu ia buang. Setelah itu ia memisahkan kedelai dari air 202 panas itu. Air itu ia bersihkan. Lalu kedelai ia masukkan kembali ke dalam air itu. Ia letakkan di pojol dapur. Kedelai itu harus direndam satu malam. Besok pagi, kirakira jam tujuh ia akan kembali menggarap kedelai itu dengan mengulesinya di kamar mandi. Diulesi agar kacang kedelainya pecah. Paling mudah adalah dengan menginjak-injaknya. Lalu ia cuci sampai bersih. Tapi kulit arinya tidak boleh hilang. Kemudian ia rebus. Kalau sudah matang ia tiriskan sampai dingin. Setelah dingin diberi ragi. Lalu ia bungkus dan ia letakkan di rak khusus yang telah ia buat di dalam kamarnya. Dua hari berikutnya barulah jadi tempe. Sebenarnya, tanpa direbus, kedelai yang telah diulesi hingga pecah itu bisa langsung diberi ragi dan dua hari kemudian bisa jadi tempe. Sehingga bisa mengirit minyak tanah. Namun hasilnya masih kalah dengan yang direbus dulu. Tempe Azzam diakui oleh para pelanggannya dan juga oleh ibu-ibu KBRI sebagai tempe yang sangat gurih dan lezat. Ia memang serius dalam membuat tempe. Ia masih ingat, bahwa ia bisa membuat tempe juga karena tidak sengaja. Saat masih di pesantren dulu ia punya teman, namanya Handono. Ia sangat akrab dengan Handono. Ketika liburan panjang ia diajak Handono berlibur di rumahnya yang terletak di sebuah kampung di pinggir Kota Salatiga. Kampung itu namanya Candiwesi. Dikenal sebagai salah satu kampung yang penduduknya banyak berprofesi sebagai produsen tempe. Selama berlibur di 203 rumah Handono itulah, secara tidak sengaja ia belajar membuat tempe sampai taraf mahir. Kebetulan ayah Handono memang dikenal sebagai juragan tempe terbesar di Candiwesi. Setiap hari produksinya tiga kwintal kedelai. Memiliki pekerja tetap sebanyak sepuluh orang. Berawal dari ikut-ikutan membantu, ia akhirnya tertarik belajar dengan langsung praktik dari A sampai Z. Tentang takaran kedelainya. Takaran raginya. Cara membungkus yang ideal dan lain sebagainya. Satu bulan penuh ia ikut magang membuat tempe. Dan sejak saat itu ia sudah bisa membuat tempe sendiri. Bahkan ia sering mencobanya di rumah, dan ia minta ibunya menggoreng dan mencicipinya. "Wah, tempemu enak sekali Zam, " puji ibunya. Itulah rezeki silaturrahmi. Dengan bersilaturrahmi ketempat Handono, ia jadi tambah ilmu. Ilmu membuat tempe. Ia sama sekali tidak pernah mengira, ilmu membuat tempe itu kemudian hari akan sangat berguna baginya, saat ia harus mempertahankan hidupnya di Mesir. Sangat berguna saat ia harus mandiri, tidak hanya untuk menghidupi diri sendiri, tapi juga adik-adiknya di Indonesia. Ia merasakan benar bahwa rezeki yang didatangkan oleh Allah dari silaturrahmi sangat dasyat. Ia bisa sampai belajar di Al Azhar University juga bermula dari silaturrahmi. 204 Saat itu, menjelang evaluasi belajar tahap akhir nasional, teman satu kamarnya di pesantren sakit. Namanya Wasis. Rumahnya di daerah Bantul. Ia mengantarnya pulang. Setelah dibawa ke dokter ternyata Wasis sakit thypus serius. Jadi harus dirawat di rumah sakit. Ia sempat menemani satu hari di rumah sakit. Saat menemani di rumah sakit itulah ia berbincang bincang secara tidak sengaja dengan pasien satu kamar dengan Wasis. Pasien itu juga sakit thypus dan sudah mau dibawa pulang. Dari berbincang-bincang dengan pasien itu, ia dapat informasi adanya test untuk mendapatkan beasiswa ke Al Azhar. Pasien setengah baya yang ramah itu berkata, "Saya pernah belajar di pesantren tempat kamu belajar. Hanya beberapa bulan saja. Bulan depan ada test penjaringan siswa Madrasah Aliyah untuk mendapat beasiswa Al Azhar. Kamu ikut saja test di DEPAG Pusat. Cari informasi di sana. Nanti pada bagian pendaftaran bilang saja disuruh Pak Dhofir gitu." Dari info itu, ia bisa ikut test untuk mendapatkan beasiswa kuliah di Al Azhar University. Dan diterima. Ia sampai sekarang tidak tahu Pak Dhofir itu siapa. Yang ia tahu Pak Dhofir yang memberi info padanya itu katanya tinggal di daerah Kotagede Yogyakarta. Silaturrahmi jugalah yang membuat bisnis baksonya di Cairo berjalan lancar. Memang ia tidak banyak muncul di kalangan mahasiswa, tapi ia sering hadir dan muncul di acara bapak-bapak dan ibu-ibu KBRI. Muncul untuk 205 memberikan bantuan apa saja. Bahkan jika ada orang KBRI pindah rumah ia sering jadi jujugan minta tolong. Karena itulah ia sangat dikenal di kalangan orang-orang KBRI. Itu sangat penting bagi bisnis baksonya. Tanpa banyak silaturrahmi seorang pebisnis tidak akan banyak memiliki jalan dan peluang. Benarlah anjuran Rasulullah Saw., agar siapa saja yang ingin dililuaskan rezekinya, hendaklah ia melakukan silaturrahmi. 49 Selesai merendam kedelai, Azzam beranjak ke kulkas untuk mengeluarkan daging sapi yang baru tadi sore ia masukkan ke dalam freezer. Ia keluarkan agar tidak keras. Sebab setelah shalat Isya ia harus mengolahnya jadi bolabola bakso. Keahliannya membuat bakso yang kini banyak mendatangkan rezeki baginya juga karena silaturrahmi. Jika keahliannya membuat tempe ia dapat sejak ia masih di Indonesia, keahliannya membuat bakso justru ia dapat setelah berada di Mesir. Setengah tahun berada di Mesir ia kenal baik dengan Pak Jayadi yang bekerja di KBRI sebagai lokal staf bagian konsuler. Kenal baik karena sama-sama berasal dari Kartasura. Pak Jayadi lahir di daerah Ngabean Kartasura. Sementara ia lahir dan tinggal di daerah Sraten, Kartasura. Ia jadi sering diundang dan sering datang ke rumah Pak Jayadi yang dikenal sangat baik dengan para mahasiswa. Apalagi yang berasal dari Jawa Tengah. Ia nyaris diang- 49 Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim, Bab Shilaturrahmi wa Tahrimi Qathiiha, Juz 2, hal. 421. 206 gap sebagai adik sendiri oleh Pak Jayadi. Pak Jayadi hanya memiliki satu anak lelaki yang masih duduk di kelas empat SD. Dari Pak Jayadi dan Ibu Jayadilah ia bisa membuat bakso yang kemantapan rasanya sangat diakui di Cairo. Bermula sering silaturrahmi. Lalu diminta oleh Pak Jayadi untuk ikut membantu Ibu Jayadi membuat bakso pesanan KBRI untuk acara-acara resmi. Lalu coba-coba membikin sendiri, ternyata diakui nyaris sama dengan buatan Ibu Jayadi. Ia pun dikenal bisa bikin bakso. Bahkan sempat dikenal sebagai tangan kanan Ibu Jayadi. Ketika Pak Jayadi sekeluarga pulang ke Tanah Air untuk selamanya, kepercayaan para pelanggan Ibu Jayadi dan juga KBRI jatuh kepadanya. Saat itu ia sendiri sedang sangat memerlukan datangnya sumber rezeki untuk mempertahankan hidupnya, dan juga adik-adiknya. Jadilah ia terjun total dalam bisnis membuat bakso. Azzam masih di dapur, setelah mengeluarkan daging dari freezer, ia melihat beberapa alat dapur belum dicuci. Ia tergerak untuk mencucinya. Ini semestinya tugas Fadhil. Karena hari ini yang bertugas masak adalah Fadhil. Namun agaknya Fadhil kelelahan habis bertanding di Nadi Syabab. Ketika sedang asyik mencuci panci yang biasa digunakan untuk menyayur, Ali muncul dan memanggilnya, "Kang Azzam, ayo ke depan. Kita makan kibdah dulu. Fadhil beli kibdah untuk ganjal perut!" 207 "Wah boleh juga. Oh ya, minumnya sudah ada? Kalau belum ada biar saya masak air sekalian." Tukas Azzam sambil merampungkan cuciannya. "Oh ya Kang belum," jawab Ali. Azzam mempercepat kerjaannya. Sebelum meninggalkan dapur terlebih dahulu ia meletakkan panci yang berisi air di atas kompor yang menyala. Mahasiswa Indonesia di Cairo memang tidak lazim memiliki termos penyimpan air panas. Sebab mereka biasa minum teh khas Mesir. Teh itu lebih enak bila disedu dengan air yang masih mendidih. Jika tidak begitu, rasanya kurang mantap. "Wah beli kibdah banyak sekali Dhil," kata Azzam sambil duduk di samping Fadhil. Nanang, dan Ali juga sudah duduk mengitari kibdah yang diletakkan begitu saja di atas karpet beralaskan koran. "Ya Kang, ini sekaligus syukuran. Tadi saya mencetak dua gol dalam pertandingan," jawab mahasiswa dari Aceh itu dengan wajah berseri. "Berarti KMA menang dong?" tanya Azzam sambil mengambil satu kibdah. "KMA memang menang dipermainan. Kami menguasai bola. Tapi KEMASS ternyata mampu menjebol gawang kami dengan dua gol. Jadi skornya 2-2." "Wah pasti seru tadi." 208 "Seru banget!" sahut Ali, "Apalagi dua gol KEMASS itu yang mencetak aku. Ali Mustafa El Plajuwi!" sambung Ali sambil membusungkan dada. "Ali tadi memang boleh. Aku salut!" Fadhil mengakui kehebatan Ali. "Yang penting mana syukurannya untuk dua gol. Yang mencetak satu gol saja beli. " "Beres. Setelah shalat Isya nanti aku beli firakh masywi. Yang di rumah tinggal menanak nasi saja!" jawab Ali. "Mantap. Syukran Li!" teriak Fadhil girang. Bagaimana tidak girang, malam itu adalah tugas dia untuk masak. Jika lauk sudah ada, hanya tinggal menanak nasi apa susahnya. Itu sama saja dia terbebaskan dari tugasnya. Dan ia bisa beristirahat melepas lelah. "Ngomong-ngomong Nasir ke mana kok belum pulang?" tanya Azzam sebagai yang dituakan. "Nasir tadi pamit tidak pulang. Dia ada urusan ke Tanta katanya. Hafez juga sama. Ia bilang menginap di Katamea" jelas Nanang. "O ya sudah kalau begitu." Kata Azzam datar. Dalam hati ia senang Hafez langsung pergi ke Katamea. Pasti anak itu sedang mencari tempat yang nyaman untuk mengungsi sementara waktu. Jika ia tetap tinggal satu rumah dengan Fadhil, akan sangat susah melupakan Cut Mala. 209 Tiba-tiba telpon berdering. Ali yang gesit bergerak cepat mengangkat, "Siapa?... Dari Mala?... O ya sebentar ya?" Kata Ali. Ia lalu menunjuk Fadhil. Semua yang ada di situ langsung paham itu adalah telpon dari Cut Mala untuk Fadhil, kakaknya. Fadhil langsung bergegas menerima telpon. Azzam menarik nafas, ia tidak membayangkan jika Hafez saat itu ada di situ dan ia yang pertama mengangkat telpon. Seperti apa gemuruh dalam dadanya, nyala dalam hatinya mendengar suara Cut Mala. Semalam suntuk ia pasti tidak akan bisa tidur. Sementara Fadhil menerima telpon, Azzam dan yang lain melanjutkan perbincangan mereka. "Oh ya, katanya, tadi putrinya Pak Dubes nelpon, kok belum nelpon lagi?" tanya Azzam. "Iya Kang. Tadi sudah aku bilang untuk telpon lagi setelah shalat Maghrib. Kok sampai sekarang belum nelpon ya," tukas Ali sambil beranjak ke dapur karena mendengar suara air mendidih. "Sampeyan sih Kang diminta menghentikan mandinya sebentar tidak mau. Jarang jarang orang dapat telpon dari putrinya Pak Dubes yang cantik lulusan EHESS Prancis itu," kata Nanang menyayangkan. "Aku yakin dia takkan nelpon lagi. Kayaknya Sampeyan yang seka210 rang harus nelpon balik Kang. Siapa tahu ini bisnis besar Kang." sambungnya memberi saran. Azzam diam, tidak menjawab. Fadhil meletakkan gagang telpon, ia baru saja selesai berbicara dengan adiknya. Baru diletakkan telpon kembali berdering. Fadhil langsung mengangkatnya. "Ya, hallo. Ini siapa ya?" tanya Fadhil. "Ini Eliana . Bisa bicara dengan Mas Insinyur?" "O bisa, sebentar Mbak Eliana ya," kata Fadhil datar. Fadhil lalu memanggil Azzam. Azzam segera bangkit dan menerima gagang telpon. "Halo. Ada yang bisa saya bantu," kata Azzam. "Ini Eliana, Mas Insinyur" "O Mbak Eliana, apa kabar Mbak?" "Baik." "Pak Dubes sehat?" "Sehat. Alhamdulillah. " "Kok tumben nelpon kemari, ada apa Mbak?" tanya Azzam sambil melihat ke arah Nanang dan Fadhil yang dengan seksama memperhatikannya. "Ini Mas, to the point saja ya?" 211 "Ya." "Begini, dua bulan lagi saya mau ulang tahun. Ulang tahun saya ke dua puluh empat. Saya akan merayakannya di Wisma Duta. Sederhana saja. Tapi saya ingin yang mengesankan. Saya ingin untuk tamu undangan disuguhi masakan khas Indonesia." "O bagus itu Mbak. Dua bulan lagi itu berarti kira kira pas selesai ujian Al Azhar ya Mbak." "Ya. Mayoritas mahasiswa sudah selesai ujian kelihatannya, meskipun mungkin masih ada beberapa yang belum selesai ujian. Mas Insinyur kira-kira ada waktu nggak?" "Insya Allah ada Mbak." "Syukurlah kalau begitu. Tapi kali ini saya tidak mau bakso. Sudah sangat biasa." "Mbak inginnya apa?" "Soto Lamongan. Mas bisa bikinin buat saya?" "Soto Lamongan?" Azzam bertanya agak ragu. "Ya, Soto Lamongan. Bisa nggak? Mas Insinyur kan terkenal jago masak. " "O bisa Mbak, insya Allah bisa. Mau untuk berapa porsi?" "Lima ratus porsi, sanggup?" "Sanggup Mbak, asal harganya cocok aja." Azzam sudah langsung ke hal paling penting dalam dunia bisnis 212 "Satu porsinya berapa Mas? Sama dengan bakso gimana?" "Wah kalau disamakan dengan bakso berat Mbak, terus terang. Kalau bakso sudah sangat biasa, bikinnya juga bagi saya sangat biasa. Ini Soto Lamongan lho Mbak. Tidak ada di Cairo, dan perlu keahlian khusus." "Ya sudah kalau gitu saya ikut Mas Insinyur, jadi berapa?" "Dua kali lipat bakso. Gimana? Deal?" "Baik. Deal. Tapi nanti jangan dipas lima ratus ya. Ya ada kelebihannya beberapa porsi gitu." "Beres Mbak. Terus acaranya tepatnya kapan Mbak? Tanggal berapa? Jam berapa?" "Tepat tanggal satu awal Juli depan. Acara tepat jam tujuh malam. Jangan lupa lho." "Baik Mbak. Tapi tolong satu minggu sebelum hari H. Mbak mengingatkan ya?" "Ya. Salam buat teman-teman Mas Insinyur di situ ya?" "Ya." Azzam menutup gagang telpon dengan wajah berbinar. Rezeki besar ada di depan mata. Jika satu porsi bakso biasanya dihargai 3 pound, ini berarti untuk Soto Lamongan ia akan dapat 6 pound satu porsinya: 6 X 500 sama dengan 3000. Dikurangi modal sekitar 400 pound. 213 Jadi dua bulan lagi ia akan dapat keuntungan kira-kira 2600 pound. "Bisnis baru ya Kang? Kok saya tadi dengar ada nyebutnyebut Soto Lamongan?" tanya Nanang. "Iya, putrinya Pak Dubes itu mau ulang tahun minta dibikinkan Soto Lamongan." "Lho memangnya Sampeyan bisa bikin Soto Lamongan?" "Ya belum bisa." "Lho kok Sampeyan sanggupin?" "Lha kan ada kamu Nang. Kamu kan orang Lamongan, pasti bisa kan bikin Soto Lamongan." "Waduh Kang, Sampeyan itu sungguh nekat. Aku saja yang orang Lamongan tidak bisa bikin Soto Lamongan kok. Kalau boleh saya sarankan batalin saja Kang. Daripada nanti mengecewakan keluarga Pak Dubes, reputasi yang Sampeyan bangun selama ini bisa hancur lho Kang." "Wah kamu itu Nang, penakut. Tak punya nyali. Ini bisnis Nang. Bisnis! Nyawa bisnis itu keberanian Nang. Dalam dunia bisnis yang berhasil adalah mereka yang memahami bahwa, hanya ada perbedaan sedikit antara tantangan dan peluang, dan mereka bisa mengubahnya menjadi keuntungan. 50 Aku memang belum bisa bikin 50 Diadaptasi dengan sedikit perubahan dari perkataan Victor Kiam. 214 Soto Lamongan, tapi aku dulu sering makan Soto Lamongan. Kekhasan rasa dan bentuk Soto Lamongan masih aku ingat. Yang paling penting aku merasa bisa membikin Soto Lamongan. Dan aku yakin kualitasnya, insya Allah sama dengan aslinya!" "Wah Sampeyan kadang memang nekat banget Kang!" "Bukan nekat Nang. Ini memanfaatkan tantangan menjadi peluang. Nekat adalah untuk mereka yang tidak tahu langkah -langkah pastinya menaklukkan tantangan. Tapi bagi mereka yang tahu langkah -langkah pastinya itu berarti tidak lagi nekat, tapi mengambil peluan dengan sedikit risiko!" "Wah kata-kata Sampeyan kayak motivator besar saja Kang. " "Yang aku katakan hanyalah berangkat dari pengalamanku selama ini Nang. Aku yakin bisa. Kalau aku merasa tidak bisa pasti sudah kutolak. Kau ingat beberapa bulan yang lalu ketika Pak Atase Perdagangan minta dibuatkan Garang Asem khas Kudus. Jelas aku angkat tangan. Belum terbayang bagaimana cara membuatnya. Apalagi Garang Asem banyak khasnya. Ada khas Kudus, khas Kartasura, khas Salatiga, khas Semarang, khas Boyolali. Saat itu aku melihat bukanlah suatu tantangan yang bisa diubah jadi peluang. Lebih baik aku mundur." "Tapi, Soto Lamongan setahuku juga ada kerumitannya lho Kang." 215 "Aku tahu yang paling penting aku yakin bisa." *** "Kau yakin bisa La?" tanya Anna pada Laila, mahasiswi Indonesia yang dikenal menjadi agen tiket Malaysia Air Lines dan Singapore Air Lines. Laila mengikuti jejak kakaknya Nasir. Boleh dikata Laila hanyalah membantu kakaknya. Karena dia mahasiswi, jadi promosi di kalangan mahasiswi bisa ia lakukan dengan gencar. Apalagi ia juga menjadi pengurus Wihdah. Bedanya Laila dengan kakaknya, Laila termasuk jajaran mahasiswi yang berprestasi. Tidak pernah tidak lulus ujian. Sering nulis di buletin dan majalah. Sedangkan Nasir, biasa-biasa saja. Aktivitasnya lebih banyak berbisnis di Cairo. Selain bisnis tiket pesawat, Nasir juga bisnis warnet dan jualan jahe. Ya jualan jahe. Dengan cara, ia pergi umrah naik kapal. Lalu di Saudi membeli jahe yang masih segar. Jahe dari Saudi itu asalnya juga bukan dari Saudi tapi dari Asia Tenggara. Kebanyakan dari Thailand. Ia membeli langsung beberapa kuintal. Ia bawa ke Mesir dan ia jual ke oran gorang Mesir. Keuntungannya selain menutup biaya umrah, juga bisa untuk membayar sewa rumah beberapa bulan. Sebuah bisnis yang sangat menguntungkan. Laila yang ditanya tersenyum. 216 "Ya sangat yakinlah Mbak. Tanpa harus membawa visa dari kedutaan Malaysia Mbak bisa masuk Malaysia. Nanti ngambil visa entri di bandara Kuala Lumpur. Kakak saya kan pernah pulang ke Tanah Air dan transit dua minggu di Malaysia. Hanya saja kalau Mbak mau transit masuk KL, ada biaya tambahan lima puluh dollar Mbak." Laila menjelaskan panjang lebar. "Untuk apa itu La?" "Untuk meng-open tiket KL-Jakarta. Karena mau tinggal beberapa hari di KL, maka harus open. Itu harganya lebih mahal lima puluh dollar. Gimana Mbak?" "Ya baiklah La. Uangnya besok insya Allah. Kapan tiket bisa saya ambil? " "Dua hari setelah uang saya terima Mbak." "O ya Mbak, bisa tidak Lala tanya dikit sama Mbak?" "Apa itu La?" "Saya dengar Mbak dilamar sama Mas Furqan ya Mbak?" "Wah kalau itu tidak bisa dijelaskan via telpon La. Udah dulu ya. Ini pulsanya sudah habis banyak. Yuk, assalamu'alaikum." "O ya Mbak wa 'alaikumussalam." Wajah Anna merah padam. Pertanyaan Laila itu menyentak hatinya. Dari mana dia tahu? Ia sangat yakin 217 di kalangan mahasiswi berita dirinya dilamar Furqan pasti mulai tersebar. Yang membuatnya marah adalah siapa yang membocorkan ini semua. Bukankah yang tahu masalah ini selain dirinya, seharusnya hanya tiga orang, yaitu Furqan, Ustadz Mujab dan isterinya, Mbak Zulfa. Ada kejengkelan dan rasa marah yang memercik dalam dadanya. Tapi ia bingung kepada siapa harus marah. Untuk meredam amarahnya ia mengambil air wudhu. Setelah itu ia ke ruang tamu di mana Erna dan Zahraza sedang asyik membaca koran Al Ahram. "Mbak kita jadi ke Palace?" tanya Erna begitu Anna duduk di sampingnya. Anna melihat jam dinding, lalu menjawab, "Sekarang, sudah jam tujuh lebih lima, tapi Wan Aina dan Sholihati belum pulang. Apa tidak terlalu malam jika kita keluar setelah mereka pulang?" "Iya, terlalu malam. Nanti dilihat orang tidak baik." Sahut Zahraza sambil tetap membaca. "Atau tidak usah ke Palace saja Mbak. Nanti kalau mereka pulang kontak Babay saja. Pesan makanan minta diantar ke sini." Erna memberi usul. "Yah, nanti kalau mereka pulang kita musyawarah. Enaknya bagaimana. Yang jelas malam ini insya Allah tetap syukuran seperti yang saya janjikan." Jawab Anna lirih. Pikiran Anna sedang tidak pada acara syukuran dengan makan-makan yang ia rencanakan, tapi pada 218 berita dirinya telah dilamar Furqan yang telah diketahui oleh orang-orang yang semestinya tidak mengetahuinya. "Eh ini ada berita menarik di Ahram!" kata Zahraza setengah berteriak. "Apa itu!?" tanya Erna. "Di sini disebutkan ada mahasiswa Indonesia yang tinggal di Ighatsah Islamiyyah Hay El Thamin dirampok seseorang yang mengaku sebagai anggota mabahits. 51 Mahasiswa ini menderita kerugian lebih dari seribu dollar. Kemungkinan besar perampok itu memakai caracara hipnotis!" jelas Zahraza. Spontan Anna berkata, "Berarti kita harus hati-hati. Jangan pergi-pergi sendirian! Ternyata di atas muka bumi ini masih banyak penjahat berkeliaran!" 51 Badan intelijen. 219 12 RUMUS KEBERHASILAN Furqan baru saja pulang dari masjid ketika hand phonenya berdering. Ia lihat di layar. Panggilan dari Indonesia. Ibunya. "Ini ibu Nak." "Ya ada apa Bu?" "Mungkin ayah dan ibu tidak bisa ke Cairo." "Kenapa Bu? Apa Ibu tidak ingin melihat sidang master Furqan yang seumur hidup cuma sekali?" 220 "Sebenarnya ayah dan ibu sangat ingin. Tapi ini kakakmu sedang di rumah sakit." "Ada apa dengan kakak Bu?" "Kakakmu pendarahan serius. Padahal usia kandungannya baru lima bulan. Ia perlu ibu di sampingnya. Sebab suaminya sedang ditugaskan di Aceh. Ia tidak bisa cuti untuk menunggui isterinya." "Kalau ibu tidak bisa, apa ayah tidak bisa ke Cairo sendiri?" "Ayahmu tidak mau pergi sendirian tanpa ibu. Sudahlah kami yang di Indonesia mendoakanmu, semoga kau lulus sidang dengan hasil terbaik. Direkam saja pakai handycam, biar nanti ibu dan ayah bisa melihat." "Iya Bu, baik. Semoga kakak dan janinnya selamat." "Amin." Ada rasa kecewa yang menyusup ke dalam hatinya. Ia ingin sekali, sidang munaqasah tesis masternya dihadiri kedua orangtuanya. Ia telah menyiapkan semuanya. Termasuk pergi ke Alexandria bersama ayah dan ibunya usai sidang. Tapi benarlah kata orang bijak, manusia boleh merancang dan merencanakan, namun Tuhanlah yang menentukan. Ia mengambil nafas panjang. Meskipun kecewa ia tidak ingin rasa kecewanya mempengaruhi konsentrasinya menyiapkan diri menghadapi pertarungan dalam sidang 221 tesisnya. Sudah setengah dari isi tesisnya yang ia baca. Ia merasa perlu istirahat. Perutnya juga terasa lapar. Ia melihat jam tangannya. Tujuh seperempat. Ia teringat undangan makan malam Sara. Tapi ia ragu. Ia belum kenal siapa itu Sara. Ia juga merasa undangan itu tidaklah penting. Meskipun Sara adalah putri Prof. Dr. Sa'duddin. Ia tak mau kehilangan fokus. Ia tak mau kehilangan konsentrasi. Ia teringat pesan guru bahasa Inggrisnya saat di Pesantren Modern dulu. Pesan yang membuatnya sangat terinspirasi dan tergugah: The formula for succes is simple: practice and concentration then more practice and more concentration. (Rumus keberhasilan adalah simpel saja, yaitu praktik dan konsentrasi kemudian meningkatkan praktik dan meningkatkan konsentrasi). Undangan Sara ia anggap sebagai hal yang akan merusak konsentrasinya. Dan itu berarti hal yang akan merusak keberhasilannya. Maka ia putuskan untuk mengabaikannya sama sekali. Ia memilih untuk makan malam sendiri di restaurant hotel. Lalu kembali ke kamar untuk rileks melihat Nile TV sebentar, lalu tidur. Ia jadwalkan jam tiga bangun. Ia turun ke restaurant. Memilih meja yang masih kosong di dekat jendela kaca yang menghadap ke sungai Nil. Panorama malam sungai Nil begitu indah. Suasananya begitu romantis. Entah kenapa ia tiba-tiba teringat lamarannya pada Anna Althafunnisa. Wajah Anna berkelebat di depan matanya. Wajah yang luar biasa daya pesonanya. Ia merasa di dunia ini tidak ada gadis yang 222 seperti Anna. Ia sangat yakin lamarannya akan sangat dipertimbangkan oleh Anna. Ia bahkan yakin lamarannya diterirna. "Ia sudah tahu reputasi dan sepak terjangku selama ini" gumamnya. Ia merasa akan sangat berbahagia jika suatu saat nanti bisa makan berdua di tempat yang begitu romantis dan indah bersama Anna. Anna yang telah ia sunting menjadi isterinya. Ia merasa keindahan tempat itu masih kurang tanpa adanya Anna. Ia geleng-geleng kepala sendiri. "Ini sudah dosa. Astaghfirullah. Saya tidak boleh membayangkan yang tidak-tidak," gumamnya dalam hati. Sementara matanya masih asyik melihat panorama sungai Nil dengan lampu-lampu yang berjajar di tepinya. Indah seperti taburan mutiara. "Boleh saya duduk di sini?" Suara itu mengejutkan lamunannya. Ia terhenyak sesaat. Yang berbicara dengan bahasa Indonesia itu adalah turis Jepang yang sudah dua kali ia temui. Rambutnya gondrong, berkaca mata minus agak tebal. "O boleh. Silakan." jawabnya agak gugup. "Terima kasih." "Anda bisa berbahasa Indonesia?" tanyanya dengan nada heran. 223 "Saat di SMA dulu saya pemah ikut program pertukaran pelajar. Dan saya ditempatkan di Indonesia selama satu tahun." "Di mana?" "Di Yogyakarta." "O pantas. Anda juga bisa berbahasa Arab." "Bisa juga." "Wah boleh juga. Berapa lama Anda belajar bahasa Arab?" "Satu tahun. Saya belajar bahasa Arab di Universitas Aleppo, Suriah." Furqan mengangguk-anggukkan kepala. Dalam hati ia kagum dengan orang Jepang di hadapannya. Bahasa Indonesianya bagus. Ia yakin bahasa Arabnya bagus. Bahasa Inggrisnya sangat lancar. Sebab saat berkenalan di lift orang Jepang itu menggunakan bahasa Inggris. "KaIau boleh tahu, dalam rangka apa Anda berada di Cairo ini?" tanya Furqan. "Emm pertama memang untuk jalan jalan. Saya sudah ke Luxor, Sant Caterine, dan Alexandria. Kedua saya sedang mengadakan penelitian sejarah." "Penelitian apa kalau saya boleh tahu." 224 "Saya sedang meneliti cara beribadahnya orangorang Mesir kuno yang menyembah matahari. Apa persamaan dan perbedaannya dengan orang-orang Jepang yang juga mendewakan matahari. Apa ada interaksi antara Mesir kuno dan Jepang kuno? Apakah dewa matahari yang disembah orang Mesir dan orang Jepang memiliki sifatsifat dan deskripsi yang sama. Di samping itu saya juga menemani adik saya." "Yang bersamamu itu." "Iya. Namanya Fujita Kotsuhiko. Anda masih ingat nama saya?" "Masih, nama Anda Eiji Kotsuhiko kan?" "Ya. Ingatan Anda kuat. Anda berbakat jadi intelektual dan ilmuwan besar." "Terima kasih." "Adik saya sedang tertarik pada Islam." "Tertarik pada Islam?" "Ya. Itu setelah dia membaca buku-bukunya Maryam Jamela dalam bahasa Inggris. Kebetulan ia kuliah di Fakultas Sastra, Jurusan Sastra Inggris. Kalau saya Jurusan Sejarah. Kami sama-sama di Kyoto University. Ia ingin lebih tahu tentang Islam. Apakah Anda bisa membantu mempertemukan dia dengan orang yang tepat?" "Bisa-bisa. O ya. Anda mau makan?" 225 "Wah iya. Karena asyik ngobrol sampai lupa makan. Ayo." Keduanya lalu bangkit dan mengambil makan. Orang Jepang itu memilih spagheti. Sedangkan Furqan memilih nasi daging khas Yaman dengan lalap gargir dan buah Zaitun. Minumnya ia pilih syai bil halib 52 hangat. Keduanya kembali ke tempat semula. "Waktu di Jogja saya paling suka makan Cap Jay rebus," kata Eiji. "O ya." "Menurutku Cap Jay rebus termasuk makanan paling enak di dunia." "O ya." "Waktu di Jogja dulu saya punya langganan Cap Jay di daerah Sapen. Belakang IAIN Suka. Cap Jay Mbah Giman. Rasanya mantap." "Wah jadi pengin ke Jogja." "Tapi mungkin kau takkan merasakan Cap Jay Mbah Giman." "Kenapa?" 52 Teh susu. 226 "Empat bulan yang lalu saya ke Jogja dan Mbah Giman telah tiada. Yang menggantikan Mbah Giman putri bungsunya. Namanya Minarti. Hasil masakannya tak bisa menyamai Mbah Giman. Enak sih, tapi tetap saja tidak seenak buatan Mbah Giman." | "Kelihatannya Anda tahu banyak tentang Jogja ya." "Jogja telah jadi kota kedua bagi saya setelah Kyoto. Saya lahir dan besar di Kyoto. Dan saya sangat terkesan dengan Jogja." Keduanya terus berbincang sambil makan. "Adikmu tidak makan?" "Sebentar lagi dia datang. Dia masih asyik nonton film Lion of Desert di kamarnya." "Film perjuangan rakyat Libya?" "Ya. Kami dapatkan di Attaba tadi pagi." "Sebentar saya ambil buah Zaitun lagi." "O ya silakan." Furqan beranjak mengambil buah Zaitun hijau. Ketika ia kembali, Fujita telah duduk di samping kakaknya. "Fujita, ini Furqan mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Cairo University, yang berjumpa dengan kita di lift tadi siang. Masih ingat?" kata Eiji dalam bahasa Inggris. 227 "Tentu," jawab Fujita sambil mengangguk pada Furqan. "Saya sering dapat cerita tentang Indonesia dari kakak saya ini. Tapi saya belum pernah pergi ke sana," sambung Fujita sambil menatap Furqan. "O ya," jawab Furqan sambil menatap Fujita sesaat. Mata keduanya bertemu. Furqan dengan reflek menundukkan pandangannya ke beberapa butir buah Zaitun yang ada di piringnya. Ia harus mengakui adik Eiji itu layak jadi model. Saat di lift ia sama sekali tidak memperhatikannya. Wajah Fujita mengingatkannya pada bintang film Mandarin, Rosamund Kwan. Tapi jauh lebih segar Fujita. Ia merasa tidak boleh berlama-lama berbincang bincang dengan dua Jepang kakak beradik itu. Ia bisa menakar imannya. Imannya tidak akan kuat berhadapan dengan gadis secantik Fujita. Ia makan dengan lebih cepat. Sesaat lamanya keheningan tercipta. Tiba tiba Fujita membuka suara, "Dari kartu nama Anda yang Anda berikan kepada Eiji saya tahu Anda kuliah di jurusan sejarah. Jurusan yang sama dengan Eiji. Kalau boleh tahu, menurut Anda apa sih istimewanya mempelajari sejarah?Apakah mempelajari sejarah tidak hanya membuang-buang waktu, sebab membuat orang terpaku pada masa lalu. Masa yang memang sudah hilang dan tak perlu dibicarakan? Apa tidak lebih baik mempelajari kemungkinan -kemungkinan untuk eksis di masa yang akan datang?" 228 "Itu lagi yang kau diskusikan. Bukankah sudah sering aku jelaskan Fujita?" potong Eiji. "Iya. Aku sudah mendengar panjang lebar jawabanmu. Tapi menurutku terlalu teoretis. Aku belum puas. Siapa tahu mahasiswa Cairo University dari Indonesia ini punya jawaban lain yang lebih simpel dan membumi," debat Fujita. Furqan memasukkan sendok terakhir ke mulutnya dan mengunyahnya dengan tenang. Dua Jepang kakak beradik itu menunggu apa yang akan diucapkan Furqan. "Sejarahlah yang memberitahu kepada kita siapa sebenarnya kedua orang tua kita. Siapa nama kakek nenek kita. Sejarah jugalah yang memberitahu kepada kita tempat dan tanggal lahir kita. Sejarah juga yang akan memberitahukan kepada generasi mendatang bahwa mereka ada sebab kita lebih dulu ada. Jika mereka maju, maka sejarah yang akan memberitahukan kepada mereka bahwa kemajuan yang mereka capai tidak lepas dari keringat kita dan orang-orang yang lebih dulu ada. Orang yang tidak memperhatikan sejarah masa lalu sangat memungkinkan jatuh ke dalam lubang yang sama dua kali, bahkan mungkin berkali-kali. Dan itu sungguh suatu kecelakaan yang pasti sangat menggelikan. Kirakira itulah jawaban sederhana atas pertanyaan Anda, Nona Fujita." "Eemm. Sederhana penjelasannya, tidak teoretis, tapi dalam muatannya. Terima kasih," tukas Pujita seraya memanggut-manggutkan kepalanya. 229 Furqan melihat jam tangannya, ia harus kembali ke kamarnya. "Maafkan saya. Saya harus kembali ke kamar. Saya ada pekerjaan yang harus saya selesaikan," kata Furqan undur diri. "Wah, sayang, sebenarnya masih ada banyak hal yang ingin saya tanyakan. Bolehkan lain kali saya menghubungi Anda?" tanggap Fujita. "O. tentu, boleh saja. Nama dan alamat saya di Mesir dan di Indonesia ada di kartu nama yang telah saya berikan kepada kalian." "Baik, terima kasih atas waktunya," kata Fujita. "Dua bulan lagi saya ada rencana ke Bandung dan Jogia. Semoga saat itu kau ada di Indonesia," sambung Eiji sambil tersenyum. "Semoga. Yang penting kalau kalian sedang berkunjung di Indonesia hubungi saya. Kalau kebetulan saya ada di Indonesia kalian bisa saya ajak jalan jalan di Jakarta dan sekitarnya. Baik saya naik dulu. Mari." "Mari!" Sahut Fujita dan Eiji hampir berbarengan. Furqan bergegas naik. Sampai di kamar ia langsung merebahkan tubuhnya di kasur. Keinginannya menonton Nile TV telah hilang. Ia meniatkan diri untuk bangun 230 jam empat. Ketika hendak memejamkan mata, telpon kamarnya berdering. Dengan sangat malas ia angkat, "Siapa ya?" "Sara." "O Nona Sara. Maaf saya tidak bisa menghadiri undangan Nona." "Saya sangat kecewa! Dan saya yakin suatu saat nanti Anda akan sangat menyesal!" Dan klik. Telpon itu diputus. Ada nada kemarahan yang sangat dalam pada kalimat yang didengar Furqan. Furqan hanya menarik nafas panjang lalu kembali merebahkan badan. Sebelum memejamkan mata, bayangan wajah Sara hadir sesaat lalu disapu hadirnya wajah Fujita yang sangat ketimuran. Ia teringat lamarannya pada Anna, segera ia mengucapkan istighfar. Lalu tertidur dengan bibir melepas zikir. *** Azzam masih kerja di dapur. Sementara teman temannya satu rumah sudah pulas. Nasir belum pulang. Masih ada satu panci adonan bakso yang harus ia selesaikan. Tangan kirinya belepotan adonan. Ia ambil adonan. Ia pencet. Adonan itupun keluar dari sela ibu jari dan telunjuknya. Langsung berbentuk bulat. Denga sendok yang ia pegang dengan tangan kanan ia ambil adonan itu dan langsung ia masukkan ke dalam air panas yang telah mendidih. 231 Begitulah cara membuat bola bakso yang benar. Memencet adonan harus dengan tangan kiri. Menyen doknya dengan tangan kanan. Kalau dibalik hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Itu ilmu sederhana, namun sangat penting bagi pembuat bakso. Ilmu yang mungkin tidak ditulis dalam buku-buku resep memasak, apalagi dalam buku-buku ilmiah. Azzam terus membuat bola demi bola dan memasuk kannya ke dalam air panas. Kepalanya sudah terasa panas. Matanya telah merah. Tubuhnya telah minta istirahat. Tapi malam itu juga harus selesai. Ia tidak boleh kalah oleh matanya yang merah. Ia harus disiplin. Jika tidak, besok pagi pekerjaannya akan menumpuk, dan akibatnya bisa berantakan. Tapi jika ia tetap teguh disiplin dan menyelesaikan pekerjaan yang harus selesai malam itu, maka semua akan lebih mudah. Pekerjaan pekerjaannya yang lain akan selesai pada waktunya. Memang, satu disiplin akan mendatangkan disiplin yang lain. Itu yang ia rasakan. Ia melihat jam tangannya. Sudah setengah sebelas malam. Ia istirahat sebentar, berjalan ke balkon melihat ke jalan raya yang tampak sepi. Tapi kedai kopi di samping jalan masih buka dan ramai. Beberapa orang duduk menghisap shisha. Yang lain main kartu. Satu orang terlihat duduk asyik menonton televisi yang sedang memutar film hitam putih yang dibintangi Fatin Hamama, bintang film legendaris Mesir. Ia menghela nafas. Dalam hati ia berkata, 232 "Mereka kok bisa hidup dengan begitu santainya. Hidup di dunia seolah sudah berada di surga. Membuang-buang waktu dengan percuma begitu saja. Ah andai waktu mereka bisa aku beli dengan beberapa pound saja pasti aku beli. Sehingga aku bisa kuliah setiap hari, membaca buku yang banyak setiap hari tapi juga bisa membuat bakso dan tempe setiap hari." Ia kembali ke dapur. Kembali mengakrabi adonan baksonya. Meski mata telah merah, dan kepala terasa panas, tapi ia merasa bahagia. Ia tidak merasakan apa yang ia lakukan itu sebagai penderitaan. Baginya kebahagiaan bukanlah sekadar mengerjakan apa yang ia senangi, atau kebahagiaan adalah menyenangi apa yang ia kerjakan. Ia yakin bahwa kekuatan yang diberikan oleh Allah kepadanya lebih besar ketimbang apapun. Jadi segala jenis pekerjaan harus diselesaikannya dengan baik dan sempurna. Kemampuan yang diberikan Allah kepadanya lebih besar dari tantangan yang harus diatasinya. Ia yakin Allah selalu bersamanya. Allah sangat memperhatikannya. Dan Allah tidak akan menyengsarakannya karena bekerja keras. Justru sebaliknya, Allah akan memberikan keberkahan karena bekerja keras. Waktu terus berjalan. Ia mendengar pintu diketuk. Ia beranjak ke pintu. Ia lihat siapa yang mengetuk dari lubang yang berisi lensa pembesar di pintu. Di negeri orang kewaspadaan harus senantiasa dijaga. Keselamatan terjaga karena sikap yang waspada. Ternyata Nasir. la buka pintu. 233 "Assalamu'alaikum, Kang," sapa Nasir begitu pintu terbuka. "Wa 'alaikumussalam. Malam sekali Sir, dari Tanta jam berapa?" tanya Azzam sambil perlahan menutup pintu. "E... jangan ditutup Kang, saya bawa teman, ia sedang beli sesuatu. Tadi dari Tanta habis Maghrib," jawab Nasir. "Teman? Orang Indonesia?" tanya Azzam menyelidik. "Bukan. Orang Mesir. Orang Tanta." "Orang Mesir?" Azzam kaget. "Iya. Nggak apa-apa kan Kang? Dia orang baik kok." "Sir, kamukan sudah lama di Mesir. Dan kamu sudah tahu bagaimana kita harus berhati-hati! Kenapa kamu tidak minta ijin kami dulu!" Azzam berkata tegas sebagai kepala rumah tangga. "Afwan Kang. Ini juga tidak saya sengaja. Kami bertemu di Ramsis. Saya kenal baik dengannya. Saya pemah ke rumahnya dan saya dijamu oleh keluarganya. Saya mulanya basa-basi saja menawarkan dia berkunjung ke rumah dan menginap. Saya kira dia pasti tidak mau. Ee ternyata kok mau. Lha bagaimana lagi? Masak harus menjilat ludah sendiri. Ya sudah akhirnya saya ajak dia." "Kamu sembrono Sir! Kalau kau bisa menemukan jalan keluar agar dia tidak menginap di rumah ini sebaiknya kau lakukan! Sebagai imam di rumah ini aku tidak meng234 ijinkan!" tegas Azzam. Ia merasa, sudah menjadi tanggung jawabnya untuk menjaga kenyamanan dan keamanan anggota keluarganya. "Tolonglah Kang! Sekali ini saja! Apalagi kita kan harus menghormati tamu!" "Apa kau mengira aku tidak bisa menghormati tamu, Sir?!" Suara Azzam meninggi. Nasir pucat Azzam adalah orang yang dulu menjemputnya di bandara saat pertama kali ia datang. Azzam juga yang dulu sangat sabar mengajarinya memahami beberapa muqarrar awal-awal masuk kuliah. Ia sangat segan kepadanya. Ia sangat takut jika Azzam yang telah ia anggap sebagai kakaknya itu marah. "Bukan begitu Kang. Baiklah saya akan berusaha dia tidak menginap di sini. Tapi tidak apa-apa kan beberapa menit dia masuk dan minum teh di sini?" "Ya, boleh. Besok-besok lagi lebih hati-hati. Kita ini di negeri orang, jangan banyak basa-basi kayak di kampung sendiri! Saya ke dapur dulu menyelesaikan pekerjaan ya. Biar sekalian saya masakkan air," kata Azzam seraya berjalan ke dapur. Nasir duduk di ruang tamu. Tak lama kemudian seorang pemuda Mesir, bertubuh agak gempal memakai baju hijau tua datang. Nasir mempersilakan masuk. Pemuda Mesir itu membawa roti dan kabab. 235 "Teman-temanmu sudah tidur ya?" tanya pemuda Mesir itu pada Nasir. "Iya. Sudah malam. Tadi masih ada satu orang yang belum tidur," jawab Nasir seraya memberi isyarat kepada pemuda itu untuk duduk. Ia lalu menutup pintu. "Kalian berapa orang di rumah ini?" "Kami berenam." "Ada berapa kamar?" "Tiga. " "Jadi satu kamar dua orang. Ada satu orang yang satu kamar sendiri? Apakah itu kau?" "Tidak. Saya juga berdua." "Lalu nanti aku tidur sama siapa?" "Itu gampang. Sebentar ya saya bikin teh," Nasir bangkit ke dapur. "Jangan lupa saya tehnya yang kental dan gulanya banyak," seru pemuda itu. Tak lama kemudian Nasir keluar diiringi Azzam. Tangan Azzam telah bersih. Ia telah selesai dari pekerjaannya. Azzam keluar dengan menyungging senyum. Pemuda Mesir itu berdiri dengan tersenyum. 236 "Ana min Tanta. Ismi Wail. Wail El Ahdali." 53 Pemuda itu menjabat tangan Azzam dan memperkenalkan diri. "Ahlan wa sahlan. Syaraftana bi ziyaratik. Ismi Azzam. Khairul Azzam," 54 jawab Azzam. "Masya Allah. Namamu bagus sekali. Kau pasti orang yang memiliki kemauan keras dan karakter yang kuat." Ujar pemuda Mesir bernama Wail. Orang Mesir memang paling suka memuji orang yang diajak bicara. "Doanya. Maaf saya tinggal dulu ya. Terus terang saya harus istirahat. Jika perlu apa-apa minta saja sama Nasir." Azzam minta diri. Ia benar-benar lelah. Ia tidak mau terlalu lama di ruang tamu. Sebab orang Mesir jika diajak ngobrol bisa berjam jam tidak selesai. "Tidak makan roti dan kabab ini bersama kami?" Wail berusaha menahan. "Terima kasih. Saya masih kenyang. Saya tinggal dulu ya." Jawab Azzam sambil tersenyum. "Ya. Terima kasih. Semoga istirahatmu nyaman," jawab Wail. Sebelum masuk kamar Azzam sempat berkata pada Nasir dengan bahasa Jawa, 53 Saya dari Tanta. Nama saya Wail. Wail El Ahdali. 54 Ahlan wa sahlan. Engkau telah memuliakan kami dengan kunjunganmu. Nama saya Azzam. Khairul Azzam. 237 "Sir, ojo lali yo. Ojo kok inepke neng kene. Ora tak ijini! Wis aku tak turu ndisik!" 55 Nasir mengangguk. Azzam mengangguk sekali lagi ke Wail. Wail pun mengangguk dengan tersenyum. Dalam hati Azzam minta maaf melakukan hal itu. Tetapi ia merasa sudah menjadi tugas dan kewajibannya menjaga keamanan rumahnya. Bukan ia berburuk sangka pada pemuda Mesir itu, tetapi bersikap waspada adalah jalan terbaik untuk tidak berburuk sangka pada siapa saja. 55 Sir, jangan lupa. Jangan kauinapkan di sini. Tidak aku ijinkan. Sudah, aku tidur dulu! 238 13 TAMU TAK DIUNDANG Malam itu Anna tidak bisa tidur gara-gara pertanyaan Laila tentang lamaran Furqan itu. Pikirannya tidak tenang. Sudah tiga bulan lamaran itu disampaikan Mbak Zulfa kepadanya, tapi ia belum juga bisa mengambil keputusan. Ini adalah waktu terlama baginya dalam menimbang sesuatu. Entah kenapa kali ini tidak mudah baginya untuk mengatakan "tidak", seperti sebelum-sebelumnya. Ia benar-benar belum menemukan alasan untuk menolak lamaran Mantan Ketua PPMI yang terkenal cerdas dan tajir itu. Juga tidak mudah untuk mengatakan "ya". Ia belum merasakan kemantapan hati untuk menjadi pendamping hidupnya. Ia sendiri tidak mengerti kenapa 239 tidak juga merasakan kemantapan hati. Ia tidak mungkin melangkah tanpa kemantapan hati. Baginya menerima lamaran seseorang kemudian menikah adalah ibadah. Dan ibadah tidak sempurna jika tidak disertai kemantapan hati dan jiwa. Jarum jam dinding di kamarnya menunjukkan pukul dua dini hari. Matanya tidak mau terpejam. Bagaimana jika Furqan, atau Mbak Zulfa mendesaknya lagi untuk segera memberi kepastian? Ia bangkit dari kasur. Duduk dan menunduk. Kedua matanya yang sedikit merah mengguratkan kelelahan. Namun sama sekali tidak mengurangi pesona kecantikannya. Dari kamar sebelah sayup-sayup ia mendengar suara detak keyboard komputer. Dari kamar Wan Aina. Mahasiswi asal Selangor Malaysia yang pernah belajar di Diniyah Putri Padang Panjang itu memang seorang pekerja keras. Anna tahu persis gadis Melayu pecinta lagu-lagunya Ummi Kultsum itu benstirahat hanya dua jam. Ia sangat salut padanya. Wajar, jika tahun pertama di S.2 Al Azhar dilaluinya dengan mudah. Tak ada satu mata kuliah pun yang tertinggal. Anna beranjak ke kamar Wan Aina. Mengetuk pintunya pelan. "Masuk saja!" Suara Wan Aina dari dalam kamar. Anna membuka pintu dan masuk perlahan. Wan Aina duduk di depan komputer tanpa jilbab. Rambutnya dipotong pendek. Sedikit di atas bahu. Matanya terfokus pada buku yang ia letakkan di samping kanan monitor komputernya. Sementara sepuluh jarinya yang lentik menari240 nari indah di atas tuts-tuts keyboard komputer Anna mendekat berdiri di sampingWanAina. "Nerjemah apa Wan?" "Ini Kak, nerjemah cerpennya Ibrahim Ashi," jawab Wan Aina. Ia memang biasa memanggil Anna kakak, "Nak kukirim ke majalah sastra miliknya Dewan Bahasa dan Pustaka di KL," lanjut Wan Aina sambil sesekali membetulkan tulisan yang salah. "Apa judulnya Wan?" "'Alal Mughtasal. Sebuah cerpen yang penuh kritik sosial. Ada kalimat dari Ibrahirn Ashi yang menggelitik sekali." Jelas Wan Aina sambil tetap mengetik. "Kalimat apa itu Wan?" "Ibrahim Ashi menulis: Orang-orang kaya tidak mati mati... Orang-orang kaya bisa menyuap Izrail." "Ada-ada saja sastrawan itu. Eh Wan, ngomong ngomong kamu pernah nggak dikhitbah seseorang?" "Apa Kak? Dikhitbah?" Wan Aina menghentikan jari jemarinya. Ia memalingan wajahnya ke Anna. "Ya. Dikhitbah. Dilamar. Pernah nggak kamu dilamar seseorang untuk dijadikan isterinya." Anna mengulang pertanyaannya dengan lebih jelas. "Ya pernah lah. Sudah dua kali. Tapi dua-duanya aku tolak mentah-mentah!" 241 "Kenapa?" "Sebab aku tidak yakin bisa mencintai dia." "Meskipun agamanya baik?" "Ya. Yang kucari adalah yang agamanya baik dan aku yakin bisa mencintainya. Aku bisa berbakti padanya dengan penuh rasa suka, rasa cinta dan ikhlas. Kenapa Kak Anna tiba-tiba bertanya khitbah padaku? Apa ada yang mengkhitbah lagi?" "Iya. Tapi yang ini membuatku susah." "Kenapa?" "Aku belum yakin bisa mencintainya. Namun aku juga masih merasa berat jika menolaknya." Terang Anna pada WanAina. Selama ini Wan Aina adalah teman yang paling aman diajak bicara dari hati ke hati. Ia sangat dewasa dan bisa menjaga rahasia. "Menurutku kakak tidak usah tergesa-gesa. Kak Anna tunggu dulu sampai benar-benar siap mengambil keputusan yang matang. Jika yang mengkhitbah tidak sabar, ya biar mundur. Jangan tergesa-gesa memutuskan Kak. Tergesa-gesa itu datangnya dari setan. Menentukan siapa yang jadi pasangan hidup kita itu ibarat sama dengan menentukan nasib kita selanjutnya. Harus benar benar matang dan penuh pertimbangan. Oh ya Kak, bagaimana tiketnya? Sudah beres?" 242 "Besok saya bayar insya Allah. Dua hari lagi bisa saya ambil." "Baguslah. Tiket Aina sudah Aina ambil. Kita jadi ke Kuala Lumpur awal pekan depan, insya Allah Hari Ahad kita ikut seminar sehari tentang Ulama Perempuan di Asia Tenggara yang diadakan PMRAM, HW, PPMI, Wihdah dan ICMI di Auditorium Shalah Kamil. Hari Seninnya kita terbang ke KL. Keluarga saya akan menanti kita di air port. Kak Anna tak usah kuatir. Saya sudah cerita semua pada mereka. Mereka sangat berbahagia dengan kedatangan Kakak." "Terima kasih Wan. Mungkin dengan pergi ke Malaysia pikiranku bisa lebih jernih dan tenang. Dan kupikir masalah khitbah ini perlu aku musyawarahkan dengan abah dan ummiku di Indonesia." "Itu lebih baik Kak." "Kau sudah Tahajud Wan?" "Belum Kak." "Kita Tahajud bareng yuk. Kita gantian jadi imam biar sekalian muraja'ah." 56 "Boleh Kak. Tapi aku selesaikan satu halaman ini dulu ya. Kakak ambil wudhu dan shalat dulu saja di kamar kakak. Nanti saya ke sana." 56 Mengulang hafalan (Al-Quran). 243 "Baiklah." Jawab Anna dan langsung bergegas mengambil wudhu. * * * Jam beker di kamar Azzam terus berdering. Azzam masih saja pulas. Jarum menunjukkan pukul dua empat puluh menit. Tak lama kemudian jam beker itu berhenti. Lima menit kemudian jam beker yang satunya berdering. Sudah menjadi kebiasaan Azzam memasang dua beker untuk mengamankan dirinya agar bisa bangun malam. Ia masih ingat pesan ibunya sebelum berangkat ke Mesir, Jangan tinggalkan shalat malam!" Jam beker kedua sudah dua menit berdering, Azzam tidak juga bangun. Tiba-tiba... Dar... dar... dar..! Azzam tersentak. Seluruh penghuni rumah itu juga terbangun kaget! Dan... Dar..dar..dar...! Iftahil baab! If tahil baab! 57 Ada suara mengetuk pintu dengan keras disertai perintah untuk membuka pintu juga dengan suara keras Mata 57 Buka pintu! Buka pintu! 244 Azzam masih berkunang-kunang. Kepalanya masih terasa sangat berat. Namun telinganya bisa menangkap jelas suara perintah membuka pintu itu. Ia bisa menangkap dengan jelas itu adalah suara orang Mesir. Belum sempat beranjak dari tempat tidur. Gedoran keras kembali terdengar. Dar..dar..dar...! Iftahil baab! Iftahil baab! Ia tersadar dengan membawa kemarahan di ubun ubun kepalanya. "Orang Mesir tak tahu adab dan sopan-santun! Malammalam menggedor-gedor rumah orang seenaknya. Memang rumah mbahnya apa!" Sengitnya pada diri sendiri seraya berjalan cepat ke ruang tamu. Teman temannya yang lain sudah bangun. Nanang mengikutinya di belakang. Ketika ia hendak membuka pintu, gedoran di pintu mengagetkannya, Dar..dar..dar...! Iftahil baab! Iftahil baab! Spontan ia berteriak keras: "Na'am ya alilal adab! " 58 58 Ya, hai orang yang kurang ajar! 245 Lalu membuka pintu. Begitu pintu terbuka ia kaget bukan kepalang. Seorang berpakaian serangam hitam langsung menodongkan senjata kepadanya dan membentak, "Mana Wail!" Ia mundur. Ali menyalakan lampu. Seketika tiga orang berseragam hitam menerjang masuk dan langsung menutup pintu. Azzam berusaha tenang, meski nyalinya ciut saat itu. "Di rumah ini tak ada yang bernama Wail! Kami juga tidak mengenal Wail kecuali Wail Kafuri penyanyi pop yang terkenal itu." Jawab Azzam tenang dengan suara sedikit bergetar. "Jangan bohong! Kami yakin Wail El Ahdali ada di rumah ini! Kami akan periksa. Jika ia ada di rumah ini, kalian semua akan kami bawa! Kami mabahits 59 dari amn daulah! " 60 Orang Mesir tinggi besar dan berkumis tipis itu menjelaskan siapa mereka dengan nada ancaman yang membuat Azzam tersadar dengan siapa dia berhadapan. Azzam langsung pasrah. Jika Nasir mengabaikan perintahnya dan Wail masih ada di situ, menginap di situ, maka habislah orang satu rumah. Ia sangat berharap Nasir mematuhi perintahnya. Entah kenapa, ia yakin Wail tidak ada di situ, maka dengan tegas ia menjawab, 59 Inteljen. 60 Keamanan Negara. 246 "Kapten, meskipun kalian mabahits, kalian tidak bisa seenaknya masuk rumah kami tanpa ijin. Tidak bisa seenaknya menginjak-injak kehormatan kami. Kami tidak kenal siapa itu Wail yang kalian maksud. Di rumah ini tidak ada yang bernama Wail. Sebaiknya kalian segera keluar dari rumah ini. Karena kami tidak mengijinkan kalian masuk!" "Sebaiknya kau diam saja di tempatmu. Jangan macammacam!" bentak si Kumis Tipis pada Azzam, lalu memerintahkan tiga anak buahnya untuk memeriksa seluruh sudut ruangan. Ali, Nanang dan Fadhil berdiri gemetar. Bibir mereka biru. Tak sepatah kata pun mereka ucapkan. Tak terasa ada yang membasahi celana Fadhil. Anak Aceh itu didera ketakutan yang amat sangat. Trauma beberapa tahun silam langsung hadir kembali. Kejadian saat itu langsung mengingatkannya pada kejadian tujuh tahun silam di Aceh, saat rumahnya didatangi tentara berseragam tengah malam. Mereka menuduh ayahnya sebagai anggota gerakan pengacau keamanan yang dianggap paling menyengsarakan rakyat Aceh dan dianggap membahayakan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ayahnya yang hanya seorang guru ngaji biasa, dan pedagang biasa, jadi bulan-bulan tentara-tentara itu. Ayahnya lalu dibawa pergi. Satu bulan kemudian tentaratentara itu datang lagi membawa ayahnya ke rumah dalam kondisi antara hidup dan mati. Satu hari berikutnya ayahnya meninggal di pangkuannya dengan meninggalkan pesan singkat, 247 "Jangan menyimpan dendam. Jadilah Muslim sejati! Jadilah orang Aceh sejati!" Tiba-tiba Fadhil merasa tulang-tulangnya seperti hilang. Ia merasa seperti lumpuh. Lalu ingatannya hilang. Ia pingsan. Tubuhnya ambruk di lantai. Azzam kaget. Demikian juga Ali dan Nanang. Azzam terpaku sesaat di tempatnya. Ia ragu untuk mendekati Fadhil. Namun sebagai kepala rumah tangga ia harus bertanggung jawab. Maka dengan cepat ia melihat kondisi Fadhil. Ali dan Nanang masih mematung di tempatnya. "Jika ada apa-apa dengan temanku ini, kalian harus bertanggung jawab. Jika misalnya ia terkena serangan jantung dan mati, maka kalianlah pembunuhnya dan itu akan diselesaikan secara diplomatik!" Geram Azzam sambil memandang si Kumis Tipis. Ia lalu memeriksa denyut nadinya. Masih. Si Kumis Tipis ikut memeriksa lalu berkata, "Dia hanya kaget. Tak apa-apa. Nanti juga bangun!" Tiga orang intelijen berseragam hitam masih memeriksa di kamar. Mereka meneliti kondisi kamar dengan seksama. Termasuk buku-buku yang ada di semua kamar. Lima belas menit kemudian, mereka keluar dan memberikan laporan pada si Kumis Tipis, "Komandan, yang kita cari tak ada di rumah ini. Setelah kami periksa juga tak ada yang mencurigakan. Buku buku yang mereka baca biasa saja!" 248 "Hmm begitu ya! Tapi aku kok masih merasa laporan ke kita bahwa Wail ke sini adalah benar. Tukang sayur itu sangat tajam dan jarang meleset!" Kata si Kumis Tipis yang ternyata adalah komandan operasi mabahits itu. Azzam mendengar dengan seksama. Kalimat yang terakhir disampaikan sang komandan menjadi catatan baginya. Tukang sayur yang mana yang menjadi anggota mabahits itu. Azzam meminta Ali dan Nanang mengangkat Fadhil ke tempat tidurnya. Dalam hati ia bersyukur, Nasir dan Wail yang beberapa jam yang lalu ada di situ, saat itu tidak ada di situ. Komandan berkumis tipis itu melakukan pemeriksaan ulang dengan lebih teliti. Ia juga melihat ke kolong tempat tidur, kamar mandi dapur dan dua balkon. Ia tidak menemukan apa yang ia cari. Ia lalu mengorek-ngorek tempat sampah. Dan menemukan sesuatu. Beberapa biji tusuk kabab, dan bungkus roti. Ia bawa barang bukti yang membuatnya merasa menang. Di kamar Fadhil, Azzam memberitahu kepada Ali dan Nanang agar lebih banyak diam. Biar dia nanti yang bicara menghadapi para mabahits itu. Mereka diminta mengiyakan apa yang dikatakannya dan menidakkan apa yang ditidakkannya. Azzam menduga komandan mabahits itu akan melakukan penyelidikan serius dan akan menginterogasi dirinya dan teman-temannya untuk mendapatkan apa yang dicari. Ia sendiri tidak mau tahu apa urusan mabahits Mesir itu dengan Wail, pemuda yang dibawa Nasir. Yang paling penting baginya adalah 249 menyelamatkan dirinya dan seluruh anggota keluarganya dari bahaya yang sedang mengancam mereka. Dugaan Azzam benar. "Kalian bertiga keman! Temanmu yang pingsan itu biar ditunggui anak buahku. Tenang, aku akan bertanggung jawab jika ada apa-apa dengan temanmu yang penakut itu!" Kata komandan itu pada Azzam, Ali dan Nanang tegas. Azzam bangkit ke ruang tamu diikuti Ali dan Nanang. Meskipun ia sebenarnya sangat marah dan jengkel, tapi ia sadar bahwa dirinya tinggal di negeri orang. Azzam duduk di hadapan sang komandan. Ali dan Nanang duduk di sampingnya. Sang komandan memegang tusuk kabab sambil tersenyum, "Tolong jawab, siapa yang membeli kabab dan roti ini? " Azzam langsung sadar akan digiring ke mana ia dan teman-temannya. Maka dengan tegas Azzam menjawab, "Saya!" Dalam hati ia meneruskan: "tidak membelinya." Sebab ia tahu yang membeli adalah orang yang dicari mabahits itu. "Kamu?!" Komandan itu kaget dengan ketegasan Azzam. "Ya." tegas Azzam. Ali dan Nanang tegang. "Benarkah perkataannya? Hei kau, siapa namamu?" tanya komandan kepada Ali. 250 "Nama saya Ali. Jika dia yang mengatakan ya berati ya." Jawab Ali pelan. "Apa kau tahu kapan dia belinya?" "Persisnya saya tidak tahu. Saya tidur awal tadi. Dan dia selalu tidur paling akhir. Bisa jadi saat saya tidur dia membeli kabab dan roti itu untuk mengisi perutnya yang lapar. Sebab dia tidak bisa tidur jika perutnya lapar." Komandan itu mengerutkan dahi. Dengan sedikit mengejek Azzam berkomentar santai, "Malam ini adalah malam yang takkan kami lupakan. Selama ini kami merasa berada di sebuah negara yang sangat menjaga sopan santun. Dugaan kami ternyata keliru. Malam ini kami dibangunkan dengan paksa hanya untuk ditanya tentang siapa yang membeli tusuk kabab. Kenapa tidak memerintahkan kepada semua penjual kabab agar setiap pembelinya menyerahkan tanda pengenal untuk didata. Sehingga dengan mudah akan diketahui siapa saja yang membeli kabab." Kata-kata Azzam itu membuat telinga komandan mabahits panas. Serta merta ia menunjukkan bahwa dialah sebenarnya sang tuan rumah. "Tolong tunjukkan paspor kalian! Saya ingin tahu apa kalian legal berada di negeri ini!" Kata sang komandan dengan nada marah. 251 "Sebentar. Kami ambilkan!" Jawab Azzam. Ia lalu bangkit menuju kamarnya untuk mengambil paspor. Hal yang sama dilakukan oleh Ali dan Nanang. Mereka bertiga menyerahkan paspor kepada komandan itu. Sang komandan lalu memeriksa paspor-paspor itu dengan seksama. Tak ada yang tidak beres. Namun komandan itu masih belum puas. "Kalian satu rumah ini berapa orang?" Selidik komandan itu. Dengan tegas Azzam menjawab, "Lima orang, ditambah saya jadi ada enam orang! " Azzam tidak berani bohong. Sebab ia yakin komandan itu akan mencari kepastian dengan melihat akad kontrak sewa rumah. Yang biasanya, di akad kontrak itu, tertera berapa orang yang mengisi rumah itu. "Jadi enam orang ya?" Ulang komandan. "Ya." "Berarti dua orang tidak ada di rumah?" "Ya." "Di mana mereka?" Azzam pura-pura bertanya pada Ali, "Di mana mereka Li?" Ali menjawab jujur seperti yang ia ketahui "Yang satu sedang di Tanta dan yang satunya di Katamea." 252 "Di Tanta dan Katamea?" Ulang komandan . "Ya!" Jawab Ali tegas. "Untuk apa kira-kira teman kamu pergi ke Tanta? Dan untuk apa pergi ke Katamea," tanya komandan dengan tetap mengarahkan pandangan ke Nanang. "Ya, biasa berkunjung ke rumah teman. Sesama orang Indonesia. Mahasiswa Indonesia kan tidak hanya di Cairo." "Siapa nama teman kalian yang ke Tanta itu?" "Nasir." "Yang ke Katamea?" "Hafez." "Tolong saya ingin lihat surat akad perjanjian sewa rumah ini!" Pinta Sang Komandan. Dugaan Azzam kembali benar. Azzam langsung bergegas mengambil surat yang diminta. Sejurus kemudian surat akad sewa rumah itu telah ada di tangan sang komandan berkumis tipis. Surat itu diteliti dengan seksama terutama nama-nama penghuni rumah. Semua sesuai dengan keterangan Azzam. Komandan itu mengangguk- anggukkan kepala. "Mungkin benar kata an ak buah saya, kami salah rumah. Kami minta maaf atas kelancangan kami malam ini. Kami 253 minta diri!" Kata sang komandan dengan wajah lebih bersahabat. "Bagaimana dengan teman kami yang kalian buat pingsan. Kami minta pertanggung jawaban!" tukas Azzam. "Dia tidak apa-apa. Hanya ketakutan saja. Kau lihat kan dia sampai kencing. Nanti dia akan bangun dan baik kembali. Anggap saja ini latihan membina mental dia." jawab komandan itu diplomatis. "Kalau ada apa-apa dengan dia bagaimana? Apa kalian akan lepas tangan begitu saja? Kalau kalian tidak mau bertanggung jawab, kasus ini akan kami angkat ke permukaan. Akan kami tulis di koran-koran dunia. Kami akan minta wartawan yang bisa menulis untuk menulisnya." Azzam tak mau kalah, sebab ia merasa benar. Sudah menjadi watak Azzam untuk sebuah kebenaran ia siap berduel sampai mati. "Baiklah. Jika ada apa-apa temui saya di kantor mabahits Abbasea. Nama saya Hosam. Lengkapnya Letnan Kolonel Hosam Qatimi. Saya akan urus semua. Sekarang kau rawat dulu. Jangan banyak berbuat ulah di Mesir. Ijin kalian di sini hanya untuk belajar. Ingat itu!" Tanpa menunggu jawaban Azzam, komandan itu bangkit dan mengajak ketiga anak buahnya meninggalkan rumah itu. Ali dan Nanang cepat-cepat ke kamar Fadhil. Azzam mengucap hamdalah dalam hati. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan dialaminya jika Wail El Ahdali jadi menginap di situ. Ia menyandarkan punggungnya ke 254 kursi. Tiba-tiba ia teringat sesuatu: Nasir dalam bahaya. Dalam bahaya jika terus bersama Wail. Tetapi di mana Nasir berada malam itu? Ia tidak tahu. Yang jelas ia harus secepatnya tahu di mana Nasir berada. Baru ia bisa mengambil langkah. Azzam melihat jam dinding. Sudah jam setengah empat lebih dan ia belum shalat malam. Ia pernah mendengar dari seorang ulama bahwa shalat malam dapat menghapus kegelisahan dan mendatangkan ketenangan. Ia ingin shalat beberapa rakaat saja, baru ikut mengurus Fadhil yang masih pingsan. 255 14 HARI YANG MENEGANGKAN Matahari pagi mulai menyinari bumi Kinanah. Sinarnya hangat, sehangat celoteh anak-anak Mesir yang keluar dari rumahnya untuk berangkat ke sekolah. Di rumah Azzam suasana tegang belum hilang. Fadhil belum juga sadar sampai jam enam pagi. "Bagaimana ini Kang?" tanya Nanang cemas. Azzam berpikir sebentar. Ia memang yang harus memutuskan. Sebab ia yang paling tua di rumah itu. "Kita bawa ke rumah sakit . Kau cari taksi sana sama Ali. Fadhil biar aku yang tunggu!" kata Azzam. 256 "Baik Kang." Nanang dan Ali lalu keluar untuk mencari taksi. Lima belas menit kemudian mereka kembali dengan membawa taksi. Pagi itu juga Fadhil mereka bawa ke Mustasyfa 61 Rab'ah El Adawea. Dokter yang memeriksa mengatakan, Fadhil harus dirawat di rumah sakit. Pagi itu menjadi pagi yang sangat sibuk bagi Azzam. Ia teringat bahwa ia harus menyelesaikan pekerjaan pekerjaannya. Rendaman kedelai yang harus ia olah jadi tempe. Tempe-tempe yang sudah jadi yang harus ia distribusikan. Kemudian acara di Sekolah Indonesia Cairo (SIC) yang memesan bakso padanya. Jam sebelas ia dan baksonya harus siap di SIC. Jika tidak ia akan dimarahi banyak orang. Ia merasa perlu mendelegasikan tugas dan pekerjaan. Yang bisa dilakukan orang lain biar dilakukan orang lain. Sementara ia akan menangani yang hanya bisa ia tangani. Ia bergerak cepat. Ia meminta Ali menjaga Fadhil. Nanang ia minta menghubungi KMA, Keluarga Mahasiswa Aceh, juga adik perempuannya yang tinggal di Makram Abied. Sementara ia sendiri harus segera kembali ke rumah untuk menyelesaikan pekerjaannya. "Aku kembali ke sini bakda Zuhur, insya Allah. Habis dari KMA kau langsung balik lagi ke sini ya N ang?" kata Azzam. Nanang mengangguk. 61 Rumah Sakit 257 "Nasir bagaimana Kang?" Tanya Nanang. "Biar aku yang mengurus. Baik, aku tinggal dulu." Jawab Azzam. Sampai di rumah Azzam langsung mengontak Anam, Yayan dan Rio. Tiga orang yang selama ini ikut mendistribusikan tempe-tempenya. Agar nyaman Azzam membagi wilayah operasi mereka. Mereka sebenarnya tinggal enak, karena hanya mengantar ke rumah-rumah para pelanggan yang telah dirintis Azzam. Namun mereka juga diberi kebebasan mencari pelanggan baru di wilayahnya masing-masing. Untuk Anam, Azzam memercayakan beroperasi di Abdur Rasul, Rab'ah, Haidar Tuni. Sedangkan Yayan, beroperasi di Masakin Ustman, Hay Zuhur dan Hay Sabe'. Adapun Rio beroperasi di Katamea. Tiga mahasiswa itu langsung datang. Azzam meminta mereka segera mendistribusikan tempe-tempe yang telah jadi ke wilayah masing-masing, kecuali Rio. "Sementara Rio, kau membantuku membuat tempe saja." UjarAzzam pada Rio. Rio pun mengangguk setuju. Azzam langsung memberi petunjuk pada Rio. Pertama ia minta Rio merebus kacang kedelai yang direndam sampai matang. "Tanda kedelainya sudah matang, jika uapnya sudah berbau kedelai," jelas Azzam pada Rio. Jika sudah matang tiriskan sampai dingin. Baru diberi raginya," lanjut Azzam. 258 "Raginya seberapa Kang?" tanya Rio "Jangan banyak-banyak. Ini ragi keras. Segini saja," jawab Azzam sambil memberi contoh takaran ragi dengan mengambil ragi dengan tangannya. "Baru setelah itu dibungkus dengan plastik itu. Ukurannya seperti biasa," lanjutAzzam. Untuk membuat tempe Azzam hanya bisa percaya pada Rio. Anak dari Tuban itulah yang paling sering membantunya membungkus tempe. Dan hasil bungkusannya rajin dan bagus. Setelah semuanya ia rasa beres, ia menyiapkan segala kebutuhannya membuat bakso. Semua barang dan alat yang ia butuhkan ia masukkan ke dalam panci besar. Ia lalu memanggil taksi. Dengan taksi ia membawa panci besar itu menuju SIC yang letaknya cukup jauh dari rumahnya. Dalam perjalanan, ingatannya tertuju pada Fadhil yang saat ia tinggalkan masih pingsan. Ia berharap tidak terjadi apa-apa dengannya. * * * Pukul delapan Furqan baru terbangun. Ia sangat kaget. Bagaimana bisa terjadi? Seharusnya ia bangun jam empat. Bagaimana bisa kebablasan sampai pukul delapan. Ia merasa ada yang sangat menyiksanya. Ia tidak hanya kehilangan shalat Tahajud. Namun ia juga kehilangan shalat Subuhnya. 259 Ia beristighfar berulang kali. Belum juga kekagetannya reda. Ia kaget dengan keadaannya. "Laa haula wa la quwwata illa billah! Inna lillah!" Ia berkata setengah teriak. Ia kaget bagai tersengat listrik. Bagaimana mungkin ia bisa tidur tanpa busana. Tidur hanya bertutupkan selimut saja. Padahal ia tidur tidak dalam keadaan seperti itu. Ia tidur dengan kaos panjang dan celana panjang. Ia melihat kaos panjang dan celana panjangnya tergeletak di lantai. Ia bingung dengan diriya sendiri. Apa saat tidur dia mengigau dan melepas pakaiannya tanpa sadar. Ia merasa tidak yakin. Sepanjang hidupnya baru kali ini ia bangun tidur dengan kondisi yang menurutnya sangat memalukan. Ia langsung bangkit, mencuci muka dan mengambil air wudhu. Ia harus segera meng-qadha shalat Subuh. Pikirannya benar-benar kacau. Hatinya tidak tenang. Ia shalat dengan tidak bisa khusyuk sama sekali. Perasaan berdosa karena shalat tidak tepat pada waktunya terus menggelayut di pikirannya. Pagi yang bagi sebagian besar penduduk Kota Cairo sangat cerah itur baginya terasa sangat suram. Kekagetannya tidak berhenti sampai di situ. Selesai shalat ia bermaksud menghidupkan laptopnya dan untuk mendengarkan nasyid Raihan dengan winamp, namun ia tersentak dengan adanya sebuah foto di atas laptopnya yang tergeletak di atas meja. Poto itu adalah foto dirinya dengan seorang perempuan berambut pirang dalam kondisi sangat memalukan. Foto yang membuatnya gemetar dan didera kecemasan luar biasa, juga rasa geram yang 260 menyala. Sesaat ia bingung harus berbuat apa. Ia sendiri tidak tahu perempuan berambut pirang itu siapa? Bagaimana itu semua bisa terjadi? Dan dirinya? Apa yang sebenarnya telah dilakukan perempuan itu pada dirinya? Dan apa yang telah dilakukannya dengan perempuan itu? Serta merta ia disergap rasa sedih yang menusuk nusuk jiwa. Airmatanya meleleh. Ia merasa telah ternoda. Harga diri dan kehormatannya telah hancur. Ia merasa tidak memiliki apa-apa. Ia merasa menjadi manusia paling terpuruk dan terhina di dunia. Sesaat lamanya ia bingung. Ia didera rasa cemas dan ketakutan yang begitu besar sehingga ia tidak tahu harus berbuat apa? Foto itu ia rasakan bagaikan pedang yang siap menggorok lehernya. Dunia terasa hitam-pekat baginya. Ia berusaha mengendalikan dirinya. Ia meyakinkan dirinya bahwa ia adalah seorang lelaki. Ya. Seorang lelaki sejati tepatnya. Seorang yang berani menghadapi masalah yang ada di hadapannya. Ia adalah Mantan Ketua PPMI yang disegani. Ia harus bisa menguasai diri. Harus bisa bertindak tepat, cepat dengan akal sehat. Ia amat i foto itu sekali lagi. Ia balik. Ia menangkap sesuatu. Sebuah pesan singkat: Please read "myoptions.doc" in ur notebook! Furqan langsung menyalakan laptopnya dan mencari file yang beriudul myoptions.doc. Langsung ketemu. Ia buka. Sebuah pesan dengan bahasa Arab muncul di layar. 261 Tuan Furqan, begitu bangun tidur Anda pasti kaget dengan keadaanmu dan dengan apa yang kau temukan. Saya sudah tahu siapa Anda. Tak usah berbelit-belit. Kita langsung ke inti masalah. Ini murni masalah bisnis. Bisnis kecil-kecilan antara Tuan dan saya. Saya sudah punya foto-foto "menarik" dengan Tuan. ]ika Tuan ingin fotofoto ni tidak jadi konsumsi umum maka sebaiknya Tuan melakukan dua hal ini: Pertama, jangan lapor ke polisi. Kedua, silakan transfer uang sebesar 200.000 USD. ke nomor rekening ini: 68978967605323 Banca Com - merciale Italiana Roma (jangan lupa dicatat, sebab begitu file ini Tuan tutup, file ini akan langsung musnah). Saya beri tenggang waktu 2 x 24 jam untuk mentransfer. Ketiga, setelah uang masuk rekening saya, maka saya akan kirim seluruh film negatif dari foto-foto tersebut dan saya jamin tak ada yang saya tahan. Terima kasih atas kerjasamanya. Miss Italiana. Furqan tertegun di depan layar laptopnya. Ia diintimdasi. Ia mau diperas. Ia tidak percaya ini akan terjadi padanya. Ini seperti di film-film yang pernah ia tonton. Siapakah Miss Italiana itu? Tiba-tiba ia teringat Sara. Apakah ini semua ada hubungannya dengan undangan Sara? Juga kekecewaan Sara? Siapakah Sara sebenarnya? Benarkah ia putri Prof. Sa'duddin seperti yang diakuinya? Akal sehatnya mulai berjalan. Namun ia tetap dicekam kece262 masan dan ketakutan. Ia seperti diseret masuk ke dalam dunia yang kelam. 263 15 PESONA GADIS ACEH Begitu sampai di SIC, Azzam langsung membuat kuah untuk baksonya. Beberapa siswa SIC minta menyicipi bola bakso yang telah jadi. Ia tidak memenuhi permintaan mereka. Sebab jika satu anak diberi yang lain pasti akan minta. Dengan bijak ia menjawab, "Jangan kuatir, nanti kalian semua akan mendapat jatah, masing-masing anak satu mangkok bakso. Sabar sedikit ya." Seorang anak yang terkenal suka usil menukas, "Walah minta satu saja tak boleh. Dasar pelit!" 264 Azzam tersenyum mendengarnya. Ia tidak kaget mendengarnya. Sudah sering dan biasa. Maka ia tidak nenjawab apa-apa. Sebab saat nanti acara selesai, dan masih ada sisa bakso, anak-anak itu akan minta lagi Biasanya ia akan meluluskan permintaan mereka. Dan mereka akan berkata padanya, "Mas Insinyur memang pemurah dan baik hati. Makasih ya Mas." Acara di SIC selesai tepat pukul dua belas siang. Dari acara itu Azzam mendapat keuntungan bersih tujuh puluh dollar. Azzam langsung pulang ke Mutsallats. Nasir ternyata telah ada di rumah. Sedang menanak nasi dan membuat telur ceplok. "Eh Kang Azzam, baru pulang. Teman-teman pada di mana Kang kok sepi?" tanya Nasir santai sambil membalik telur ceploknya. Kelihatannya ia sama sekali tidak tahu apa yang telah terjadi di rumah itu. "Mereka sedang di rumah sakit Rab'ah?" jawab Azzam sambil meletakkan panci besar dan perkakasnya pada tempatnya. "Di rumah sakit? Siapa yang sakit Kang?" Nasir kaget. Pandangan matanya beralih dari telur ceploknya ke wajah Azzam. "Fadhil." Ucap Azzam datar. "Fadhil?! Sakit apa Kang?" "Sudahlah, kau makanlah dulu. Fadhil akan baik baik saja. Sudahlah nanti kuceritakan semuanya." 265 Azzam masuk ke kamarnya untuk istirahat. Sementara Nasir makan dengan sangat lahap. Nasi panas, telur ceplok dan kecap terasa begitu nikmat bagi pemuda yang pernah nyantri di Pesantren Buntet Cirebon itu. Guratan lelah masih tampak jelas di wajahnya. Namun guratan lelah itu masih belum seberapa jika dibanding guratan lelah wajah Azzam yang kini menelentangkan tubuhnya di atas tempat tidurnya. Azzam memejamkan mata, tapi pikirannya mengembara ke mana-mana. Mengembara ke ruang-ruang kelelahan demi kelelahan, tanggung jawab demi tanggung jawab, bakti demi bakti. Perjalanan hidup yang harus ditempuhnya di Cairo adalah kerja keras, tetesan keringat, mata yang kurang tidur, pikiran yang penuh, dan doa yang dibalut tangis jiwa. Ingatannya pada ibu dan adik-adiknya adalah tanggung jawab sebagai seorang lelaki sejati yang beriman. Ingatan pada ayahnya adalah kewajiban bakti seorang anak mengalirkan doa pembuka rahmat Allah di alam baka. "Kang apa yang sesungguhnya terjadi pada Fadhil?" Nasir duduk di sampingAzam. Ia tahu Azzam tidak tidur. Azzam bangkit perlahan lalu duduk. "Lebih tepat kalau kau bertanya, apa sesungguhnya yang telah terjadi di rumah ini," jawab Azzam. Nasir diam saja, ia tahu Azzam belum selesai bicara. Justru baru memulai bicara. "Tadi malam terjadi peristiwa besar di rumah ini. Peristiwa yang tak lain adalah getah dari tindakan ketidak hati-hatianmu," lanjut Azzam. Nasir kaget mendengarnya. 266 "Tindakan saya yang mana Kang?!" tanya Nasir dengan nada protes. Azzam lalu menceritakan semua yang terjadi dengan detil. Tak dikurangi dan tak dilebihi. Mata Nasir berkaca kaca. Ia baru mengerti dengan "tindakan ketidak-hatihatiannya yang dimaksud Azzam. "Maafkan saya Kang. Saya tidak tahu kalau akan sampai terjadi hal yang tidak diinginkan seperti itu. Saya beruntung satu rumah bersama orang yang berjiwa mengayomi dan melindungi seperti Sampeyan. Sekarang saya harus bagaimana Kang baiknya?" Ucap Nasir dengan disertai rasa penyesalan yang dalam. "Untuk sementara, selama kau di Mesir hapus itu nama Wail El Ahdali dari ingatanmu. Dan bergaullah dengan orang Mesir dan orang asing sewajarnya saja. Jangan sok terlalu akrab. Bergaul sewajarnya selain membuat kita waspada juga membuat kita lebih dihormati di negeri orang. Yang jelas mungkin kau sedang dicari mahahits. Bersikap biasa saja. Jika suatu kali diinterogasi mahahits jawablah yang wajar saja. Yakinkan mereka bahwa kau tidak berbuat macam macam di tanah mereka ini. Yakinkan mereka bahwa konsentrasimu adalah belajar di Al Azhar. Jangan pernah mengisyaratkan kau kenal dan punya hubungan dengan Wail El Ahdali." Azzam menasihati panjang lebar. Nasihat yang sangat penting bagi orang yang terlalu familiar dengan siapa saja seperti Nasir. Sikap familiar yang terkadang berlebihan, sehingga berpeluang mengundang hal-hal yang tidak diinginkan. 267 "Baik Kang. Tapi Wail itu orangnya baik kok Kang. Dia bukan penjahat. Aku pernah ke rumahnya di daerah Mahallet Marhum, dekat Tanta." "Aku tidak mengatakan Wail itu tidak baik Sir. Aku percaya kok teman -temanmu baik. Tapi yang terbaik bagi kita saat ini adalah tidak kenal Wail dulu. Amn Daulah Mesir merasa punya urusan dengan Wail. Kita biarkan itu sebagai urusan mereka. Kita di sini adalah tamu. Dia orang Mesir. Dia lebih tahu Mesir daripada kita. Wail pasti memiliki cara untuk menyelesaikan urusannya. Kita urus saja urusan kita sebaik-baiknya. "Bukankah urusan kita sendiri masih banyak?" tegas Azzarn. "Ya Kang." "Sekarang kita ke Mustasyfa Rab'ah." "Baik Kang. Aku mandi dulu sebentar dan ganti pakaian ya Kang? Tadi pagi aku belum mandi." "Ya. Tapi cepetan ya." "Ya Kang." Saat Nasir mandi, Azzam teringat akan tempe yang ia pasrahkan pembuatannya pada Rio. Ia harus memeriksanya untuk lebih merasa yakin bahwa pekerjaan anak buahnya itu beres seperti yang ia harapkan. Ia melihat beberapa calon-calon tempe di rak. Ia ambil satu, ia teliti. "Bagus. Rio bisa diandalkan," lirihnya. Ia merasa tenang, jika suatu saat nanti ia tidak bisa membuat sendiri tempenya, ia bisa menyerahkannya pada 268 Rio. Dengan begitu bisnisnya akan tetap lancar. Dan Rio juga senang, sebab dia akan mendapat tambahan gaji. Nasir benar-benar mandi cepat. Entah apa yang ia lakukan di kamar mandi. Rasanya baru masuk sudah keluar lagi. Ia langsung masuk ke kamarnya dan gan ti pakaian. Sepuluh menit kemudian mereka berdua sudah keluar rumah. Mereka berjalan kaki menuju jalan raya. Begitu ada bus nomor 65 mereka naik. Selama dalam perjalanan yang tidak lama itu Azzam tidur. Nasir masih didera rasa bersalah. Tadi malam ia nyaris mau nekat tetap menginapkan Wail di rumah. Namun ia ingat, jika Azzam marah, maka seisi rumah pasti akan juga marah. Karena itulah, begitu selesai makan roti dan kabab, ia mengajak Wail jalan kaki ke Tub Ramli. Ia dan Wail akhirnya menginap di rumah Mat Nazri, mahasiswa asal Pahang, Malaysia yang sama-sama agen tiket Malaysia Air Lines. Mat Nazri percaya saja padanya, bahkan sangat senang dengan kedatangan Wail. Mereka bertiga tidak tidur. Sebab Wail banyak bercerita tentang masa kecilnya dan juga kedamaian desanya. Cerita yang enak didengar dan mengasyikkan, karena Wail sering membumbui dengan humor-humor yang menyegarkan. Ia masih ingat cerita Wail tentang Abu Nuwas. Wail berkata, "Waktu kecil dulu aku paling suka mendengar cerita cerita lucu Abu Nuwas. Yang paling menarik membawakan cerita adalah Ammu Husni. Dulu dia yang mengajari anak-anak desa kami membaca Al-Quran. Sekarang dia bekerja di kementerian wakaf di Cairo. Saya masih 269 ingat satu cerita dari Ammu Husni tentang Abu Nuwas. Cerita yang jika saya mengingatnya masih bisa tertawa, paling tidak tersenyum sendiri. Ammu Husni bercerita begini: 'Suatu sore Khalifah Harun Ar Rasyid berjalan-jalan mencari angin di luar istananya. Ia melewati pasar. Di sana, ia berpapasan dengan Abu Nuwas. Sang Khalifah sangat kaget melihat Abu Nuwas membawa sebuah botol yang kelihatannya berisi arak dalam ukuran yang besar. Untuk meyakinkan apa yang dilihatnya Sang Khalifah pun menghampiri Abu Nuwas. 'Sejak kapan kamu jadi pemabuk Abu Nuwas?' selidik Khalifah. 'Saya tidak pernah mabuk. Khalifah jangan ngawur menuduh seenaknya!' jawab Abu Nuwas berkelit. 'Lalu apa yang kamu bawa itu?' 'Botol.' 'Lalu apa isi botol itu?' 'Susu, Khalifah.' 'Susu kok warnanya merah? Sungguh aneh, bukankah di mana-mana susu warnanya putih?' 'Harap maklum Khalifah. Susu ini mulanya berwarna putih. Tapi karena malu pada Khalifah jadi berubah merah. Ia lebih pemalu dari gadis pingitan, Khalifah,' jawab Abu Nuwas diplomatis. Mendengar jawaban Abu Nuwas itu Sang Khalifah tertawa terpingkal-pingkal. Kok bisa-bisanya susu memi270 liki sifat malu. Sungguh jawaban yang konyol, namun menyegarkan. Sang Khalifah lalu melanjutkan perjalanannya setelah tahu ternyata yang dibawa Abu Nuwas memang bukan arak, tapi minuman sejenis syirup dari kurma." Nasir tersenyum sendiri. Cerita tentang Abu Nuwas, yang kalau di Indonesia lebih di kenal Abu Nawas, sudah sangat sering ia dengar. Tapi ceria tentang susu yang bisa berubah merah warnanya karena malu baru ia dengar saat itu. Mesir memang kaya dengan cerita-cerita lucu, di samping juga kaya akan kisah romantis dan juga epik yang menggetarkan jiwa. Beberapa puluh meter sebelum sampai Mahattah Rab'ah ia membangunkan Azzam. Azzam bangun dengan mata merah. Mereka turun dan langsung ke rumah sakit. Di depan kamar Fadhil, mereka melihat Nanang danAli berdiri di samping pintu, "Kenapa di luar? Siapa yang di dalam?" tanyaAzzam. "Fadhil sedang ditunggui dua cewek," jawab Nanang. "Siapa?" tanya Azzam. "Cut Mala, adik perempuannya dan Cut Rika teman Cut Mala." "Fadhil gimana keadaannya?" "Sudah sadar. Kata dokter akan baik-baik saja. Tapi tadi pagi sempat diinfus dengan vitamin otak. Setelah di-scan, ada gegar ringan. Mungkin karena kepalanya membentur lantai saat dia jatuh tadi malam. O ya Kang, dia 271 menanyakan Sampeyan terus sejak sadar," kata Nanang menjelaskan. "Baik kalau begitu aku masuk dulu." Azzam langsung masuk. Dua mahasiswi berjilbab duduk di samping Fadhil. Yang berjilbab biru muda bercakapcakap dengan Fadhil. Sementara yang berjilbab putih membaca majalah. "Assalamu 'alaikum?" sapa Azzam. Seketika yang ada di kamar itu menjawab salam. Fadhil tersenyum melihat siapa yang datang. Ia langsung berkata pada gadis berjilbab biru muda, "Dik Mala, itu Kang Azzam, senior saya di rumah." Gadis berjilbab biru mengangguk kepada Azzam sambil menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada. Azzam juga melakukan hal yang sama sambil memperkenalkan diri, "Ya saya Azzam." "Saya adiknya Kak Fadhil. Cut Mala. Lengkapnya Cut Malahayati." Tukas gadis berjilbab biru berwajah putih bersih. Azzam melihat sesaat, ia tertegun sesaat. Baru kali ini ia bertatap muka dan melihat langsung wajah adik perempuan Fadhil yang membuat Hafez nyaris gila. Ia harus mengakui, memang memesona. Ia langsung menundukkan kepala, lalu tanpa sadar ia mengalihkan pandangan ke arah gadis yang satunya yang sedang menghadap ke arahnya dengan menundukkan kepala. 272 "Dia teman Mala. Masih ada hubungan keluarga dengan saya meskipun jauh. Namanya Cut Rika." Fadhil memperkenalkan. Sebab ia tahu teman adiknya itu sangat pemalu. Azzam hanya mengangguk-angguk. Gadis yang bernama Cut Rika itu diam saja. Maka Azzam mengalihkan perhatiannya pada Fadhil. "Bagaimana keadaamnu Dhil?" "Baik Kang. Tak ada yang perlu dicemaskan. Tapi aku perlu berbicara dengan Sampeyan tentang satu hal penting jawab Fadhil. "Apa itu?" tanya Azzam penasaran. "Sebentar Kang," jawab Fadhil sambil memberi isyarat kepada adiknya agar ia dan temannya meninggalkan kamar. Setelah keduanya keluar, Fadhil berkata, "Bisa nggak Kang saya pulang sore ini? " "Kenapa Dhil? Kau masih perlu perawatan? " "Terus terang Kang, saya tidak punya uang. Adik saya juga. Kami tidak mungkin minta ibu kami di Indonesia." "Sudahlah kau jangan memikirkan hal itu dulu. Biar hal itu aku yang memikirkan, yang penting kamu sehat kembali. Ujian tidak lama lagi. Ingat itu." "Kalau bisa pulang secepatnya. Cobalah bicara kepada dokternya, jika nanti dia datang." "Baiklah." "Terima kasih Kang." 273 "Ya sama-sama. Adikmu biar masuk lagi ya. Soalnya kelihatannya ia ingin terus dekat denganmu. Aku dan teman- teman shalat Ashar dulu." "Iya Kang." Azzam beranjak keluar memanggil dua gadis Aceh, lalu mengajak teman satu rumahnya shalat Ashar. Sebab saat itu azan tengah berkumandang. Setelah Ashar dokter datang. Azzam membicarakan kemungkinan Fadhil dibawa pulang. "Dia boleh pulang, paling cepat besok siang." Jelas dokter berambut putih meyakinkan. Menjelang Maghrib, Cut Mala dan Cut Rika minta diri. Tak lama setelah itu Azzam dan Nanang juga minta diri. Untuk jaga malam, Nasir dan Ali menawarkan diri. Atas permintaan Azzam, Hafez memang sejak awal tidak usah dikabari dulu. Dia biar menyelesaikan urusannya di Katamea dulu. Azzam tidak ingin Hafez tahu lalu langsung ke rumah sakit dan bertemu Cut Mala. Saat Azzam pamitan pada Fadhil, dengan nada bergurau Fadhil berkata, "Menurutmu Cut Mala, adikku, cantik tidak Kang?" Azzam menjawab dengan gurauan, "Tanyakan saja pada Nasir, dia paling tahu tentang perempuan cantik. Kelihatannya dia tadi mengamati betul adikmu itu." 274 Nasir tidak menduga akan jadi sasaran tembak. Serta merta ia berkata, "Ya kalau belum ada yang mengkhitbah, cantik sih. Tapi kalau sudah ada yang mengkhitbah, ya, tidak cantik." Azzam tersenyum lalu pergi. Ia jadi teringat dua adiknya kembali. Husna dan Lia. Apa mereka secantik Cut Mala, atau malah lebih cantik? Tiba-tiba ia malu pada diri sendiri. Hatinya benar-benar mengakui pesona gadis Aceh berjilbab biru muda itu tadi. Fadhil memang telah berkali-kali bercerita tentang adiknya yang baru satu tahun setengah menyusulnya kuliah di Cairo. Namun baru sore itu ia bertatap muka dengan gadis yang kata Fadhil, saat di Madrasah Aliyah pernah menjuarai MTQ se-Tanah Rencong, Aceh. Ia bisa memahami kenapa Hafez sedemikian jatuh hati padanya. 275 16 INSYAF Orang-orang baru saja pulang dari jamaah shalat Maghrib ketika Furqan menyalakan mobilnya dan membawanya meluncur dari Haidar Tony ke arah Hay Sabe'. Tujuannya adalah rumah Ustadz Saiful Mujab yang terletak di dekat Masjid Ridhwan. Ia merasa tidak bisa mengambil keputusan sendiri atas masalah yang menimpanya. Ia perlu pendapat Ustadz Mujab yang selama ini ia anggap seperti kakaknya sendiri. Sampai di rumah Ustadz Mujab ia disambut hangat oleh Abdullah, anak sulung Ustadz Mujab yang berumur tujuh tahun. 276 "Om Furqan, kok lama nggak main ke mana aja?" tanya Abdullah. "Om Furqan sedang sibuk persiapan ujian," jawab Furqan datar. "Om, om, tadi di sekolah aku dapat hadiah." Begitulah, tanpa diminta Abdullah pasti cerita tentang kejadian di sekolahnya. Anak itu sekolah di Madrasah Ibtidaiyyah Al-Azhar bersama anak-anak Mesir. Kemampuan bahasa Arabnya tidak diragukan. Bahkan dalam hal-hal tertentu ia lebih mengerti bahasa harian Mesir daripada kedua orangtuanya. Karena memang ia sama dengan anak Mesir. Lahir dan besar di Mesir. Bermain bersama anakanak Mesir. Juga tidak jarang, berkelahi dengan anakanak Mesir. "Hadiah apa?" "Hadiah karena aku telah hafal juz tiga puluh. Semua yang hafal juz tiga puluh mendapatkan hadiah." "Apa hadiahnya?" "Buku dan kaset nasyid anak-anak." Percakapan keduanya terputus begitu Ustadz Mujab keluar. Abdullah langsung masuk ke dalam. Sedangkan Furqan langsung menjabat tangan Ustadz Mujab. Tanpa basa-basi Ustadz Mujab berkata, "Begini Fur, sampai sekarang si Anna belum bisa memberi jawaban. Kau bersabarlah satu dua bulan lagi. Dia sedang sibuk untuk melakukan penelitian untuk tesisnya." 277 "Saya datang ke sini bukan untuk menanyakan masalah itu Ustadz." "Lalu untuk apa?" "Saya sedang menghadapi masalah besar yang saya merasa tidak bisa menuntaskannya sendirian." "Apa masalahmu?" Furqan lantas menceritakan semua yang dialaminya di hotel. Sejak dia masuk hotel sampai dia keluar hotel. Terutama tentang foto-foto yang membuatnya merasa tidak berharga dan permintaan mengirim uang sebesar 200.000 USD. Ustadz Mujab mendengarkan dengan seksama. Sesekali ia mengernyitkan dahi. Saat Furqan mengakhiri ceritanya dengan wajah bergurat kecemasan dan kesedihan, Ustadz Mujab mendesah dan mengambil nafas panjang. "Sekarang apa yang harus saya lakukan Ustadz?" Ustadz Mujab kembali menarik nafas dan berkata, "Yang paling penting, kau harus mengintrospeksi dan me-muhasabah-i dirimu sendiri. Ini teguran dari Allah atas cara hidupmu yang menurutku sudah tidak wajar sebagai seorang penuntut ilmu. Menurutku kau sudah berlebihan dengan menginap di hotel untuk alasan agar bisa konsentrasi mempersiapkan sidang tesismu. Apa kamarmu masih kurang nyaman, masih kurang luas?!" "Iya Ustadz, saya telah menyadarinya." "Menurutku kamu tidak perlu mengindahkan ancaman orang yang tidak kau kenal itu." 278 "Tapi, jika foto-foto itu benar-benar dijadikan konsumsi publik bagaimana Ustadz? Di mana saya menaruh muka Ustadz?" "Itu kan foto fitnah. Tidak benar. Yang penting kau kan tidak melakukannya." "Aduh mental saya belum kuat jika foto-foto itu diketahui mahasiswa Indonesia di Cairo Ustadz. Apalagi jika dipublikasikan juga ke Tanah Air, bisnis ayah saya bisa hancur Ustadz. Saya hidup tidak sendirian Ustadz. Masalahnya tidak sesederhana yang Ustadz bayangkan." Ustadz Mujab termenung mendengar perkataan Furqan. "Ya, saya lupa kalau ayahmu itu seorang pengusaha nasional. Masalahnya memang tidak sederhana. Aduh Furqan, saya belum bisa memberi saran untuk masalahmu ini. Maafkan saya." Ucap Ustadz Mujab. Furqan terdiam sesaat lamanya. Ia tidak tahu harus minta pendapat siapa lagi. Apa ia harus ke tempat bapak bapak KBRI? "Tidak ada salahnya." Ucapnya dalam hati. Ia melihat jam tangannya, masih agak sore. Ia harus segera meluncur ke Dokki, maka ia langsung minta diri. Sebelum pergi Furqan sempat berpesan, "Tolong jaga rahasia masalah ini. Doakan saya menemukan jalan keluar secepatnya." Furqan langsung meluncur cepat menuju Dokki. Di perjalanan ia masih berpikir rumah siapa yang akan ia tuju. Sampai di Ramsis ia baru bisa menentukan bahwa rumah orang yang paling ia kenal-lah yang harus ia tuju. 279 Yaitu rumah Pak Rusydan, Atase Pendidikan dan Kebudayaan. Semestinya memang lebih tepat ke Atase Bidang Politik, atau Atase Bidang Konsoler. Saat ini yang paling ia perlukan adalah saran terbaik, juga dukungan moril. Dukungan moril lebih bisa diharapkan dari orang orang yang benar-benar mengenalnya. Sedikit beruntung, malam itu ia langsung bisa bertemu dan berbicara dari hati ke hati dengan Pak Rusydan. Dengan penuh kearifan seorang bapak yang mengayomi anaknya, Pak Rusydan berkata pada Furqan, "Tenang, ini masalah kecil Nak Furqan. Jangan terlalu cemas. Ini bukan masalah yang tidak bisa diselesaikan. Menurut hematku, kita tetap harus minta tolong pada pihak keamanan Mesir. Tidak bisa tidak." "Tapi kalau penjahat itu tahu, maka saya bisa hancur Pak." "Tidak. Dia tidak akan tahu. Sebab kita tidak minta tolong pada polisi biasa. Tapi kita langsung minta tolong pada mahahits." "Mabahits?" "Ya. Kau kan pernah jadi Ketua PPMI, dulu pernah mengantongi nama-nama orang penting di kalangan mahabits. Telponlah orang itu malam ini juga. Besok pagi saya akan menguatkan dengan menelponnya." "Oh ya baik Pak." Setelah itu mereka memperbincangkan tema yang lain. 280 "Setelah selesai S.2 ini apa rencanamu Nak?" "Kalau bisa langsung aplikasi program doktor Pak." "Bagus. Memang kalau bisa agar Indonesia maju setiap KK melahirkan satu doktor. Saat ini ada seorang pakar yang berpendapat bahwa kemajuan suatu negara bisa dilihat dari jumlah doktor per satu juta orang penduduknya. Semakin banyak jumlah doktornya, maka akan semakin maju. Tapi doktor yang benar-benar doktor lho, bukan doktor hasil membeli. Sebab sekarang ini banyak gelar doktor diobral dengan harga sekian juta rupiah. Dan sudah banyak kasus terungkap, orang-orang Indonesia termasuk paljng gemar membeli gelar. Dan juga membeli ijazah." "Kondisi bangsa kita memang memprihatinkan Pak." "Karena itulah dibutuhkan generasi-generasi tangguh yang berprestasi seperti kamu." "Doanya Pak." Setelah merasa cukup Furqan pamit minta diri. Di sepanjang perjalanan dari Dokki sampai Haidar Toni Furqan tiada henti berzikir dan beristighfar. Ia masih terus diteror rasa cemas. Saat itulah ia benar-benar merasa membutuhkan kasih sayang Allah. Ia membenarkan nasihat Ustadz Mujab, "Yang paling penting, kau harus mengintrospeksi dan me-muhasabah-i dirimu sendiri. Ini teguran dari Allah atas cara hidupmu yang menurutku sudah tidak wajar sebagai seorang penuntut ilmu. Menurutku kau sudah berlebihan dengan menginap di hotel untuk alasan agar bisa konsentrasi." 281 Mungkin benar penilaian Ustadz Mujab atas dirinya. Ia telah melakukan sesuatu yang berlebihan. Sesuatu yang sejatinya kurang pantas bagi seorang penuntut ilmu. Ia langsung menyadari kekhilafannya itu. Ia yang mengambil spesialisasi sejarah dan peradaban Islam semestinya menyadari bahwa para pemikir dan ulama besar tidak ada yang berhasil meraih ilmu dengan hidup bermewah- mewah. Bagaimana mungkin ia bisa lupa bahwa dalam kitabkitab sastra, sejarah, manakib dan thabaqat banyak dijelaskan betapa para ulama lebih biasa bergelut dengan kemiskinan, penderitaan dan kesulitan hidup yang mencekik. Namun mereka meresapinya dengan penuh kesabaran. Dalam penderitaan yang mencekik itulah mereka mengais ilmu dan hikmah. Dalam kesulitan hidup itulah mereka menulis karya-karya besar yang monumental. Bagaimana mungkin, ia yang jebolan jurusan sejarah dan peradaban Islam Al Azhar University, dan sebentar lagi meraih gelar master di jurusan yang sama dari Cairo University bisa melupakan sunah para ulama itu. Bagaimana mungkin ia bisa lupa kisah mengharukan yang diriwayatkan oleh Imam Bakar bin Hamdan Al Maruzi yang mengatakan, bahwa Imam Ibnu Kharrasy pernah bercerita, "Demi mencari ilmu, aku pernah meminum air kencingku sendiri sebanyak lima kali. Ceritanya, sewaktu sedang berjalan melintasi gurun pasir untuk mendapatkan hadis aku merasa kehausan luar biasa tanpa ada yang bisa aku 282 minum. Maka dengan terpaksa aku rninum air kencingku sendiri." Ulama besar sekaliber Ibnu Kharrasy bahkan harus meminum air kencingnya sendiri demi mempertahankan hidupnya ketika mencari ilmu. Sedangkan dirinya, bisabisanya makan dan minum di restoran mewah Hotel Meridien. Bagaimana mungkin ia lupa cerita Imam Abu Hatim yang pernah mengalami keadaan sangat memprihatinkan. Imam Abu Hatim mengatakan, "Ketika sedang mencari hadis kondisiku benar-benar sangat memprihatinkan. Karena tidak mampu membeli sumbu lampu, pada suatu malam aku terpaksa keluar ke tempat ronda yang terletak di mulut jalan. Aku belajar dengan menggunakan lampu penerangan yang dipakai oleh tukang ronda. Dan terkadang tukang ronda itu tidur, aku yang menggantikannya ronda." Sementara dirinya masih juga tidak merasa cukup akan nyamannya lampu apartemannya. Harus lampu mewah Hotel Meridien. Bagaimana mungkin ia lupa kisah Imam Bukhari yang tidak memiliki apa-apa. Sampai pakaian pun tidak punya, sehingga ia terhalang dari menulis hadis. Bagaimana mungkin ia melalaikan kisah menggetarkan yang beberapa kali ia baca dan ia kaji itu? Bagaimana mungkin ia lupa pada kisah yang diriwayatkan oleh ulama besar seangkatan dengan Imam Bukhari yang bernama Umar bin Hafesh Al Asyqar. Al Asyqar mengatakan, 283 "Selama beberapa hari kami tidak mendapati Bukhari menulis hadis di Bashrah. Setelah dicari ke mana mana akhirnya kami mendapatinya berada di sebuah rumah dalam keadaan telanjang. Ia sudah tidak punya apa-apa. Atas dasar musyawarah kami berhasil mengumpulkan uang beberapa dirham lalu kami belikan pakaian untuk dipakainya. Selanjutnya ia mau bersama-sama kami lagi meneruskan penulisan hadis." Sementara dirinya selama ini memilih pakaian yang bermerk dan mahal-mahal. Bagaimana mungkin ia lupa akan penderitaan Imam Malik. Yang demi membiayai dirinya menuntut ilmu, beliau sampai mencopot atap rumahnya, lalu menjual papannya. Bagaimana mungkin ia lupa? Bukankah itu semua adalah sejarah yang benar-benar nyata. Bukan cerita fiktif yang mengada-ada. Datanya valid, tertulis dalam banyak kitab-kitab sejarah, sastra dan lain sebagainya. Bagaimana ia bisa melalaikan suatu kenyataan penting, bahwa para ulama salaf menganggap kemiskinan adalah teman akrab yang tidak mungkin ditinggalkan begitu saja. Justru kemiskinan itu, saat menuntut ilmu, harus benar-benar dinikmati. Sampai sampai ada seorang ulama menulis syair: Aku bertanya kepada kemiskinan. Di manakah kamu berada? Ia menjawab, aku berada di sorban para ulama. 284 Mereka adalah saudaraku. Yang tidak mungkin aku tinggal begitu saja. Bagaimana mungkin ia bisa melalaikan itu semua? Hati Furqan gerimis. Airmatanya meleleh. Ia benarbenar menginsyafi cara hidupnya yang selama ini sudah tidak wajar sebagai seorang penuntut ilmu. Ia benar benar merasakan bahwa ini semua adalah teguran dari Dzat Yang Maha Bijaksana. 285 17 PERTEMUAN YANG MENGGETARKAN Hari berikutnya Fadhil boleh dibawa pulang. Untuk membayar biaya rumah sakit, Azzam harus merelakan uang hasil kerja kerasnya berjualan bakso. Begitu Fadhil sampai di Mutsallats, Azzam langsung pergi ke Abbasea. Tujuannya satu, yaitu ke kantor mabahits mencari Letnan Kolonel Hosam Qatimi. Ia mau minta pertanggung jawaban. Sesampainya di sana semua pertugas keamanan di sana tak ada yang merasa mengenal nama Hosam Qatimi. Dan ia memang sama sekali tidak melihat Hosam Qatimi dan anak buahnya di sana. "Maaf, tidak ada nama Hosam Qatimi di sini. Kamu salah alamat, Orang Indonesia!" Ucap seorang petugas berpakaian seragam persis dengan seragam Hosam Qatimi. 286 Azzam meninggalkan kantor itu dengan perasaan marah dan kesal. Marah, karena ia merasa dipermainkan oleh Letnan Kolonel itu. Dan kesal, karena meskipun ia dipermainkan, ia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali pasrah, menerima yang sudah terjadi. Ya sudahlah. Ia tidak punya kekuatan untuk mengusut apalagi sampai memaksa Letnan Kolonel itu bertanggung jawab. Ia hanya mengatakan dalam hati bahwa kezaliman sekecil apapun akan ada hisabnya kelak. Biarlah pengadilan Allah kelak yang memutuskan. Ia melangkah pergi. Di luar gerbang ia berpapasan dengan sedan Fiat putih yang dikendarai oleh Furqan. Ia tidak tahu yang mengendarai mobil itu Furqan. Sebab ia memang tidak memperhatikan. Furqan pun tidak tahu kalau yang baru saja disimpanginya itu adalah Azzam teman satu pesawat saat berangkat ke Mesir sembilan tahun yang lalu. Azzam melangkahkan kakinya menuju Mahattah Abasea. Ia mau mencari bus ke Sayyeda Zaenab. Kembali belanja daging sapi. Ia harus membuatkan bakso untuk Bu Faizah yang punya hajatan syukuran. Syukuran menempati rumah baru. Sudah satu bulan yang lalu Bu Faizah pesan padanya. Ia harus menepatinya. Meskipun sebenarnya ia ingin istirahat. Sementara ia melaju di atas bus menuju Sayyeda Zaenab, Furqan telah berada di salah satu ruang kantor yang baru saja didatangi Azzam. Furqan berbincang bincang dengan seorang lelaki gagah berkulit putih bersih. Lelaki setengah baya itu memakai kemeja biasa. Tangannya biasa, tidak terlihat begitu kekar. Ia lebih mirip direktur sebuah perusahaan daripada anggota Mabahits Amn Daulah. "Bagaimana kejadiannya?" tanya lelaki itu. 287 Furqan lalu menjelaskan dengan detil segala hal yang dialaminya di hotel. Lelaki itu mendengarkan dengan seksama sambil memandangi wajah Furqan lekat-lekat. Begitu Furqan selesai bercerita, lelaki itu bertanya, "Jadi penjahat itu menamakan dirinya Miss Italiana?" "Ya," jawab Furqan. "Baiklah, seperti janjiku dulu. Aku akan membantumu agar kau nyaman belajar di Mesir ini. Tapi terus terang, ini kasus yang cukup rumit. Perlu kerja keras. Terus terang, aku juga akan minta bantuan beberapa anak buahku. Dan terus terang, mereka perlu uang lelah." Furqan langsung paham apa yang dimaksudkan lelaki yang menduduki jabatan menentukan dan sangat disegani kawankawan dan anak buahnya itu. "Baiklah, kolonel, saya akan kasih seribu pound jika berhasil menangani kasus ini." "Itu untuk anak buahku. Lha yang untuk aku?" "Itu sudah termasuk untuk kolonel." "Wah kayaknya tidak bisa. Aku tak sanggup, kalau cuma segitu. Jika kami berhasil mengatasi ingatlah nominal 200.000 USD yang seharusnya kau keluarkan." Furqan diam sesaat. Ia menghitung segala yang ia miliki. Ia tidak ingin minta uang ke Tanah Air. Uang di rekeningnya masih seribu dollar, dan itu ia cadangkan untuk beli tiket pulang setelah sidang tesis magisternya. Kalau seribu dollar ia lepas berarti untuk pulang ia harus minta kiriman. Tiba-tiba ia 288 teringat mobilnya. Mobil Fiat putihnya yang kondisinya masih sangat bagus. "Baiklah kolonel, bagaimana kalau mobil Fiat saya?" "Kau mau memberiku hadiah mobil?" "Ya, jika kolonel berhasil. Mobil Fiat saya di depan itu akan menjadi milik kolonel." "Boleh saya lihat mobilnya, saya tidak mau mobil rongsokan." "Mari kita lihat kolonel." Keduanya lalu keluar melihat mobil Fiat putih. Sang kolonel melihat dengan teliti. Bahkan mencoba menyalakan mesin segala. Ia mengangguk-anggukkan kepala dan mengajak Furqan kembali masuk ke ruangannya. "Baik, saya setuju. Saya akan bekerja keras menuntaskan kasus ini. Kau tenang-tenang sajalah belajar." "Kapan laporannya bisa saya terima." "Paling lama satu minggu." "Baiklah. Saya percaya pada kolonel. Saya pulang dulu. Mobil saya bawa dulu. Minggu depan mobil itu akan jadi milik Kolonel Fuad, jika saya telah melihat penjahat itu tertangkap dan meringkuk dalam penjara." "Insya Allah." *** 289 "Bagaimana keadaan kakakmu Dik?" Tanya Tiara pada Cut Mala. Saat itu hanya mereka berdua yang ada di dalam rumah. Yang lain sedang kuliah. Mereka berdua duduk di sofa sambil makan kwaci. Di Mesir makan kwaci adalah salah satu budaya yang sangat merakyat. "Sudah baik. Sudah dibawa pulang. Dia masih perlu istirahat beberapa hari," jawab Cut Mala. "Jadi tentang yang aku sampaikan di Hadiqah itu belum kamu sampaikan kepadanya?" "Sudah saya sampaikan lewat telpon. Sebelum Kak Fadhil sakit. Kak Fadhil minta agar aku menjelaskannya panjang lebar secara langsung, tidak lewat telpon. Kami sudah janjian mau bertemu di Masjid Nuri Khithab. Namun manusia hanya bisa berencana sedangkan yang menentukan adalah Tuhan. Belum sempat bertemu Kak Fadhil sudah sakit duluan. Jadinya saya belum menjelaskan dengan detil. Dan otomatis Kak Fadhil belum memberikan saran atau masukan." "Kau tahu kira-kira kenapa kakakmu minta penjelasan panjang lebar?" Tiara penasaran. Ada secercah cahaya harapan di hatinya. Ia berharap bahwa Fadhil memang menaruh perhatian padanya, bahkan menaruh hati padanya. "Saya tidak tahu persis, Kak. Tapi memang kakak saya sering begitu. Seringkali jika saya minta saran, minta ketemu langsung untuk menjelaskan dengan detil panjang lebar." "Kalau kau menemuinya hari ini dan menjelaskan panjang lebar tentang yang aku hadapi bisa tidak Dik? Nanti malam ayahku mau menelpon lagi. Kemarin beliau menelpon dan aku 290 janjikan nanti malam. Sampai sekarang aku belum punya pegangan untuk mengambil sikap. Tolonglah Dik." "Tapi kakak masih belum sehat benar Kak. Apa tidak bisa menunggu dua atau tiga hari lagi?" Tiara menghela nafas. Ia memejamkan kedua mata. Haruskah ia menjelaskan lebih dalam tentang perasaannya yang selama ini ia simpan di dalam dada kepada Cut Mala? Tak terasa matanya basah. Airmatanya tanpa bisa ia bendung keluar perlahan membasahi pipi. Cut Mala menangkap dengan jelas yang terjadi pada kakak kelasnya itu. "Kak Tiara menangis? Maafkan saya Kak, jika katakata saya tidak berkenan." Lirih Cut Mala. "Tidak apa-apa Dik. Kakak hanya merasa berat meresapi masalah ini. Kakak ingin segera jelas. Kakak ingin segera konsentrasi ujian. Hari-hari ini kakak sulit tidur. Tapi kau memang benar. Dua hari lagi tidak lama. Atau kakak akan ambil keputusan tanpa perlu saran dan penjelasan dari kakakmu. Suatu saat nanti kamu akan tahu kenapa kakak menangis." Jawab Tiara sambil tetap memejamkan mata. Cut Mala diam . Dari kalimat yang disamp aikan Tiara, ia bisa menangkap bahwa kakak kelasnya itu memendam sesuatu. Ia hanya bisa meraba bahwa Tiara susah untuk mengambil keputusan karena kelihatannya Tiara mengharapkan kakaknya, Fadhil. Namun Cut Mala tidak mau terlalu jauh menduga dan berprasangka. Bukankah sebagian pra-sangka adalah dosa? Untuk menenangkan hati Tiara, ia berkata, "Sore nanti saya akan menjenguk Kak Fadhil di rumahnya. Saya akan melihat keadaannya, jika mau mungkinkan saya akan jelaskan semuanya padanya." 291 Mendengar kalimat itu Tiara langsung membuka mata. Ada binar bahagia di wajahnya. "Benarkah Dik? Tolong ya Dik, jelaskan pada kakakmu, usahakan!" tukas Tiara penuh harap. "Insya Allah Kak. Sekali lagi jika keadaan memungkinkan." "Semoga memungkinkan." Melihat reaksi Tiara, Cut Mala memiliki sedikit petunjuk bahwa kakak kelasnya itu menaruh hati pada kakak kandungnya. Ia akan berusaha menjelaskan masalah kakak kelasnya itu pada kakak kandungnya. Namun ia tidak akan menceritakan segala petunjuk yang ia dapat bahwa Tiara diam-diam menaruh hati pada kakaknya. Ia ingin semuanya berjalan alamiah. Ia akan menceritakan apa adanya persis seperti yang diceritakan Tiara padanya di Hadiqah Dauliyah. *** Dari Pasar Sayyeda Zaenab Azzam naik bus 65. Ia memilih duduk di bangku paling belakang. Karena barang bawaannya agak banyak. Begitu bus merangkak berjalan, Azzam mulai memejamkan mata. Rasa kantuknya tak bisa ia tahan. Sepanjang perjalanan ia tidur. Pulas. Bahkan ketika bus yang ditumpanginya telah memasuki kawasan Nasr City ia tak juga bangun. Bis 65 itu melintas di depan Masjid Ar Rahmah. Di sebuah halte tak jauh dari situ bus berhenti menurunkan dan menaikkan penumpang. Seorang penumpang turun, dan seorang gadis berjilbab putih naik. Gadis itu membayar ongkos. Lima puluh piaster. Gadis itu mencari-cari tempat 292 duduk. Semua telah terisi. Kecuali satu kursi di bagian belakang. Tepat di samping Azzam yang sedang pulas tidur. Gadis itu ragu untuk duduk. Sang kondektur mempersilakan untuk duduk. Akhirnya gadis itu duduk. Azzam yang sedang tidur sama sekali tidak sadar, ada seorang gadis yang duduk di sampingnya. Ia sangat pulas. Wajah lelahnya tergurat jelas. Gadis itu memperhatikan wajah Azzam. "Benar kata kakak, dia seorang pekerja keras. Wajahnya adalah wajah lelah pekerja keras," kata gadis itu dalam hati. Gadis itu tak lain adalah Cut Mala, yang hendak menjenguk Fadhil kakaknya. Sampai di ENPI, kondektur bus berteriak keras, "Enpi! Enpi Enpi!" Azzam terbangun. Ia mengucek-ucek kedua matanya. Cepatcepat ia melihat ke jendela. Ia ingin tahu sampai di mana dirinya sebenarnya. Begitu melihat gedung Enpi ia lega. Ia tidak kebablasan. Ia berusaha keras menahan kantuknya. Ia tidak mau ketiduran dan kebablasan sampai akhir terminal. Ia harus turun di halte Mutsallats. Ia menggerak-gerakkan kepalanya yang pegal. Ia melihat ke depan dan ke sampingnya. Ia baru sadar ada seorang gadis duduk tepat di sampingnya. Ia terperanjat. "Mala ya?" lirihnya. Gadis itu memandang ke arahnya dengan tersenyum. Kedua tangannya menelungkup di dada. Isyarat mengulurkan salam. "Iya Kang Azzam. Dari belanja ya Kang?" 293 "Iya seperti biasa. Belanja kacang kedelai di Sayyeda Zaenab. Mala mau ke mana? Ke Mutsallats ya?" "Iya Kang. Mau nengok Kak Fadhil." "Oh iya. Insya Allah kondisi Fadhil sudah baik kok. Jangan cemas." "Ya semoga segara pulih seperti sedia kala. Sebentar lagi kan mau ujian. Saya kuatir kalau mengganggu ujiannya." "Jangan kuatir. Kakakmu itu termasuk orang cerdas yang bisa meresapi soal ujian dengan baik. Dia selalu naik tingkat dengan predikat jayyid tiap tahun. Semoga sakitnya kali ini menjadi penebus dosanya sehingga ia bisa lulus ujian akhir dengan nilai terbaik." "Amin." Keduanya lalu diam. Azzam tidak menemukan tema untuk dibicarakan. Demikian juga Cut Mala. Di samping itu rasa segan menghalangi mereka berdua untuk terus berbicara. Cut Mala sangat segan pada Azzam yang sangat dihormati oleh kakaknya. Cut Mala juga tahu jika selama ini kakaknya sering mendapat banyak bantuan dari orang yang duduk di sampingnya. Azzam segan pada Cut Mala, karena prestasi dan pesonanya. Ia sudah sering mendengar prestasi-prestasinya. Tahun pertama di Al Azhar gadis itu langsung lulus naik tingkat dua dengan predikat jayyid jiddan. Dan mendapat penghargaan dari Bapak Atase Pendidikan. Suaranya yang halus sedikit menggetarkan syaraf-syarafnya. Ia jadi teringat Hafez. Ia bisa membayangkan jika Hafez yang duduk di tempatnya saat itu, seperti apa rasa gembiranya. Segera ia mencegah hatinya untuk merasakan simpati berle294 bihan pada gadis Aceh itu. Ia teringat tiga adik perempuannya di Indonesia. Husna, Lia dan Sarah. Ia harus menghormati Cut Mala. Ia ingin orang lain menghormati tiga adiknya. Bus terus melaju. Sampai di Mutsallats. Bus berhenti. Cut Mala turun. Azzam menurunkan barang-barangnya. Cut Mala menunggu Azzam. Azzam meminta kepada Cut Mala agar duluan. Cut Mala langsung melangkah meninggalkan Azzam. Azzam istirahat sesaat. Ia melihat ke arah penjual buah. Ia ingin beli jeruk Abu Surrah. Ia memanggul kacang kedelainya. Tangan kanannya menenteng plastik hitam berisi bumbu. Ia berhenti di tukang buah dan membeli jeruk satu kilo. Lalu ia berjalan pelan-pelan ke arah rumahnya. Cut Mala sudah tidak kelihatan. Mungkin ia telah masuk flat-dan bertemu dengan kakaknya. Di pintu gerbang, Nanang telah menunggunya. "Kedelainya biar saya angkat Kang." Nanang menawarkan diri. Azzam yang sangat lelah menurunkan karungnya yang berisi kedelai. Nanang langsung memanggulnya. Mereka berdua menaiki tangga. "Ada siapa saja di rumah Nang?" tanya Azzam. "Semua ada Kang," jawab Nanang sambil tetap menaiki tangga satu per satu. "Hafez juga ada?" "Ya ada. Dia pulang jam satu siang tadi. Dia sempat marahmarah karena tidak diberitahu kalau Fadhi masuk rumah sakit." "Si Mala, adiknya Fadhil sudah masuk?" 295 "Sudah Kang. Dia yang tadi memberitahu kalau Sampeyan sedang berjalan. Katanya tadi satu bus Kang." "Iya." Azzam membayangkan bahwa telah terjadi pertemuan antara Hafez dan Cut Mala. Ia bisa membayangkan seperti apa kirakira perasaan Hafez. Ia pasti sedang panas dingin. Hanya ia yang tahu. Tentang Cut Mala, ia yakin gadis itu biasa-biasa saja. Sebab kepentingan gadis itu sangat jelas, yaitu menjenguk kakaknya. Saat Azzam masuk flat, yang ada di ruang tamu hanya Fadhil dan Cut Mala. Keduanya sedang berbincang-bincang. Ia mendengar suara minuman diaduk. Ia masuk dapur. Hafez sedang membuat teh. "Jangan sampai kurang manis. Dan jangan sampai terlalu manis lho Fez," ujar Azzam sambil meletakkan barang yang dibawanya. Nanang meletakkan karung di tempat biasanya, pojok dapur. "E e iya Kang," jawab Hafez gugup. Wajahnya memerah. "Jangan lupa itu ada buah. Setelah mengantar minuman. Antar juga buahnya ya. Setelah itu kembali ke kamar. Jangan menganggu kenyamanan pembicaraan kakak beradik itu ya." Kata Azzam santai sambil berlalu merunggalkan Hafez yang bersiap dengan dua gelas di atas nampan. Azzam masuk ke kamarnya. Nanang melakukan hal yang sama. Sementara Hafez membawa nampan ke ruang tamu dengan tangan bergetar. "Wah jadi merepotkan Kak Hafez," kata Cut Mala kala melihat Hafez datang membawa minuman. 296 "Ah tidak kok, sudah ada," jawab Hafez dengan nada sebiasa mungkin. Ia tidak ingin tubuhnya yang gemetar dan panas dingin diketahui oleh Fadhil maupun Cut Mala "Mari silakan diminum," Hafez mempersilakan. "Terima kasih Kak," sahut Cut Mala sambil menatap wajah Hafez. Pada saat yang sama Hafez juga sedang memandang ke arah Cut Mala. Cut Mala tersenyum lalu memandang kakaknya. "Kak Fadhil, Kak Hafez kan orang Palembang ya. Berarti dia bisa bikin empek-empek ya?" Fadhil menjawab dengan tersenyum, "Ya iyalah. Dia jagonya kalau bikin empek-empek. Kalau mau dia bisa bisnis empek - empek di Cairo ini, tapi dia tidak mau. Katanya takut kuliahnya terganggu." Hafez yang mendengar dirinya dipuji Fadhil di hadapan Cut Mala merasa sangat berbahagia. Kedua kakinya seperti tidak menginjak bumi. Ia seperti melayang. Ia segera menguasai diri. "Sebentar ya," katanya sambil melangkah ke dapur. Ia mengambil buah yang masih ada di dalam kantong plastik, meletakkannya di atas piring dan membawa ke ruang tamu. "Iya keluarkan semuanya Fez. Nanti kalau tidak habis biar dibawa pulang Mala," ujar Fadhil santai. "Iya nggak apa-apa. Siapkan sekalian kantong plastiknya biar nanti saya bawa pulang," tukas Cut Mala santai. Hafez kembali mencuri pandang ke wajah Cut Mala. Ia seperti tersengat listrik. Ada perasaan sangat indah yang sangat su297 sah dilukiskan. Kakinya seperti mau lumpuh. Keringat dinginnya keluar. Wajahnya memerah. Cepat-cepat ia membalikkan badan. "Mau ke mana Fez? Masih ada lagi?" celetuk Fadhil. Hafez sudah menguasai keadaan, ia langsung membalikkan badan dan menjawab dengan guyonan, "Masih. Di dapur masih ada banyak buah. Mala mau bawa?" "Boleh. Masih ada apa aja?" Spontan Hafez menjawab, "Kubis, lombok, kentang, terong, wortel dan buncis. Mau?" "Ah Kak Hafez punya rasa humor juga ya. Kalau itu sih di kulkas kami sudah penuh. Berlebih malah. Terima kasih deh," tukas Cut Mala santai. Hafez tersenyum. Ia punya kesempatan memandang Cut Mala lagi. Hatinya benar-benar bergetar. Tubuhnya panas dingin. "Sama-sama," jawabnya seraya melangkah, langsung menuju kamar Azzam. Itu adalah pertemuan yang sangat mengesan dan menggetarkan jiwanya. 298 18 AIRMATA CINTA Fadhil mengambil gelas berisi teh Arousa lalu menyeruputnya perlahan. Cut Mala melakukan hal yang sama. "Insya Allah, kakak sudah baik. Tak ada yang perlu dikuatirkan. Kakak akan segera konsentrasi untuk ujian. Kakak ingin lulus S.1 kalau bisa dengan predikat jayyid jiddan atau mumfaz," kata Fadhil pada adiknya. Tangan kanannya masih memegang gelas berisi teh. Ia kembali menyeruput isi gelas itu perlahan. "Syukur alhamdulillah. Untuk ujian Al-Qurannya kakak sudah siap?" tanya Cut Mala. 299 "Siap insya Allah. Sejak awal tahun pelajaran kakak sudah siap." "Selesai S.1 rencana kakak bagaimana? Mau pulang ke Indonesia atau bagaimana?" Fadhil mengambil nafas panjang. "Abah dulu berpesan agar kakak dan kamu menuntut ilmu setinggi mungkin. Ilmulah yang membuat derajat seseorang dan derajat suatu bangsa terangkat. Sebenarnya kakak ingin lanjut S.2 ke Sudan, atau ke Malaysia. Tapi biayanya, kau tahu sendiri, tidak ada. Mungkin kakak akan bertarung matimatian untuk melanjutkan S.2 di Al Azhar, sembari menunggu kamu selesai kuliah. Kalau menurutmu sebaiknya bagaimana Dik?" "Menurutku apa yang menurut kakak baik adalah baik. Kalau ada biaya memang S.2 di Sudan lebih cepat. Dan kakak bisa lebih cepat mengabdi dan mengamalkan ilmu di Tanah Air. Tapi menyelesaikan S.2 di Al Azhar jika bisa jauh lebih baik. Meskipun sedikit lebih lama. Walau bagaimanapun Al Azhar adalah universitas tertua di dunia. Wibawa dan kualitasnya sangat diakui di dunia." "Kau sendiri persiapanmu bagaimana Dik?" "Doakan prestasi Mala tidak menurun Kak. O ya Kak, biaya rumah sakit kemarin bagaimana. Kakak dapat uang dari mana?" "Alhamdulillah. Semua telah dibayarkan oleh Kang Azzam. Meskipun Kang Azzam tidak minta dikembalikan, suatu saat nanti jika ada rezeki pasti akan kakak kembalikan. Kang 300 Azzam terlalu baik bagi anggota rumah ini. Terkadang aku iri padanya. Iri akan kebaikan dan sifat pem urahnya." "O jadi Kang Azzam yang menutup semuanya." "Iya. Kemarin dia baru bekerja keras dapat order bikin bakso. Mungkin uang hasil dia bikin bakso itu yang digunakan untuk menutup biaya rumah sakit kakak." "Dia tingkat berapa Kak?" "Sudah tingkat empat. Tapi kelihatannya sengaja tidak ia luluskan." "Kenapa?" "Ia masih ingin bertahan di Mesir, demi adikadiknya." "Saya tidak paham maksud kakak." "Kang Azzam itu sama seperti kita, seorang anak yatim. Dia anak sulung. Adik perempuannya ada tiga. Dialah yang selama ini bekerja keras menghidupi adikadiknya. Terutama membiayai sekolah adik-adiknya. Ya dengan membuat tempe dan bakso. Ia ingin adiknya semua sekolah, maka ia korbankan dirinya. Sebenarnya Kang Azzam itu sangat cerdas. Tak kalah dengan dirimu. Dulu, tahun pertama di Al Azhar ia jayyid jiddan. Ia juga dapat beasiswa dari Majlis A'la. Namun tahun kedua ayah beliau meninggal. Sementara ibunya sering sakit sakitan. Ia akhirnya mengalihkan konsentrasinya. Dari belajar ke bekerja. Ia di Cairo ini untuk bekerja sambil belajar. Sejak itu prestasinya menurun. Beberapa kali tidak naik tingkat. Ia sudah sembilan tahun di Mesir tapi masih juga belum lulus S.1. Tapi kakak sendiri tidak merasa lebih baik dari dia. 301 "Dalam hal prestasi akademik mungkin orang mengatakan Kang Azzam gagal, atau tidak bisa dikatakan bisa dibanggakan. Namun kakak bisa melihat sendiri, dalam hal meresapi kehidupan real dia sangat bisa dibanggakan. Kakak sangat salut padanya. Kakak pernah hendak mengikuti jejaknya, bekerja. Tapi dia memberi nasihat untuk konsentrasi belajar saja. Dia bilang, 'Adik kamu kan cuma satu. Dan masih bisa ditanggung oleh ibumu. Lebih baik kamu menunaikan amanah abahmu agar kamu belajar dan menuntut ilmu dengan serius. Setiap orang memiliki kondisi yang berbeda-beda.' Nasihat Kang Azzam itu sangat berarti bagi kakak. " "Umurnya sudah berapa kak?" "Kira-kira 28 tahun." Cut Mala lalu diam. Ia tidak menyangka orang yang tadi duduk di sampingnya dengan wajah begitu lelah adalah seorang petarung yang mati-matian menghidupi keluarganya jauh di Indonesia sana. Tak banyak orang tahu bahwa di Cairo ada seorang mahasiswa seperti Azzam. "Kenapa dia tidak segera menyelesaikan S.1 -nya dan segera pulang ke Indonesia?" tanya Cut Mala. "Kang Azzam menurutku memiliki strategi hidup yang jenius. Jika pulang ke Indonesia, belum tentu bisa dapat masukan sebesar ketika dia bekerja keras di Cairo. Dia mentargetkan begitu ada salah satu adiknya selesai S.1, ia akan segera menyelesaikan studinya dan pulang. Bebannya lebih ringan. Dan dengan tetap di Cairo, dia masih bisa menimba ilmu. Setiap pagi bakda Subuh Kang Azzam selalu ikut belajar qira'ah riwayat Hafs dan Warasy pada Syaikh Abdul Adhim di masjid. Dengan tetap di Cairo, ia bisa lebih baik dalam memotivasi adikadiknya berprestasi. Saya pernah mendengar dari 302 Kang .Azzam, adiknya yang kuliah di UNS terpilih sebagai mahasiswi teladan tingkat nasional. Lebih dari itu Kang Azzam kelihatannya memang cinta sekali pada Mesir." Cut Mala mengangguk-angguk mendengar penjelasan kakaknya. "Jangan pernah kau ceritakan hal ini kepada siapapun ya Dik. Kalau Kang Azzam tahu aku menceritakan dirinya padamu, dia pasti akan sangat marah. Ia tidak ingin jati dirinya dikenal. Ia ingin dirinya hanya dikenal sebagai mahasiswa kawakan yang tidak lulus, dan dikenal sebagai pembuat tempe dan bakso. Itu saja. Ini amanah lho Dik!" Cut Mala kembali mengangguk. Mendengar kata kata amanah ia jadi teringat sesuatu "Oh ya Kak, nyaris lupa, aku dapat amanah dari Kak Tiara untuk Kakak." "Amanah apa Dik?" "Begini Kak, beberapa hari yang lalu aku diajak Kak Tiara ke Hadiqah Dauliyah. Dia menceritakan masalah yang saat ini dihadapinya kepadaku. Kak Tiara cerita, ia sedang menghadapi masalah serius. Aku diminta untuk tidak membuka hal ini kepada siapapun juga. Kak Tiara mendapat telpon dari ayahnya di Aceh yang memberitahu bahwa Kak Tiara dilamar oleh seorang Ustadz. Namanya Ustadz Zulkifli. Dia adalah salah seorang ustadz di pesantren Kak Tiara dulu. Namun tidak pernah mengajar Kak Tiara. Karena ketika ustadz itu masuk pesantren, Kak Tiara sudah kelas dua aliyah. Sedangkan Ustadz itu mengajar di kelas satu. Jadi Kak Tiara tidak tahu persis bagaimana sebenarnya ustadz itu. Ayah Kak Tiara memberitahu, Ustadz Zulkifli itu pernah satu pesantren de303 ngan Kak Fadhil. Kak Tiara minta masukan dan saran. Keputusan apa yang sebaiknya diambil Kak Tiara? Diterima atau tidak lamaran itu? Kak Tiara minta saran kepada Kak Fadhil keputusan apa yang harus ia ambil. Itulah amanahnya Kak. Bagaimana Kak?" Fadhil mendengarkan penjelasan adiknya yang panjang lebar itu dengan nafas tertahan. Dadanya sebenamya terasa sesak mendengar Tiara dilamar oleh Zulkifli. Ia kenal benar dengan nama itu. Zulkifli adalah teman akrabnya di pesantren dulu. Teman satu kamar. Ia memang sangat mengenalnya. Orangnya baik dan cerdas. Meskipun ada sedikit sifat sombongnya. Dan ia pernah tersakiti oleh sifat sombongnya. Namun telah ia maafkan. Tidak ada manusia yang sempuma di atas muka bumi ini kecuali Rasulullah Saw. Ia yakin, setelah menjadi seorang ustadz, Zulkifli pastilah sudah jauh lebih arif. Yang membuat dadanya sesak sebenarnya, karena ia sejatinya menyimpan harapan hendak melamar Tiara selepas ujian selesai. Ternyata telah didahului oleh orang lain. Dan orang lain itu adalah temannya sendiri saat di pesantren dulu, yaitu Zulkifli. Ada rasa nyeri menusuk-nusuk ulu hatinya. Sakit dan pedih rasanya. Memendam rasa cinta memang menyakitkan. Lebih menyakitkan lagi jika cinta itu tidak kesampaian. Begitulah para pujangga berkata. Dan begitulah keadaan Fadhil sepertinya. Tapi ah, benarkah begitu? Bisa jadi belum tentu? Fadhil terdiam sesaat lamanya. Cut Mala memperhatikan kakaknya dengan seksama. "Bagaimana Kak? Apa saran kakak untuk Kak Tiara?" Cut Mala tidak sabar. 304 Fadhil tersadar. Ia harus berani menghadapi realita . Realita - nya gadis yang diam-diam telah ia rancang hendak ia lamar selesai ujian—padahal ujian tinggal satu bulan lagi—telah dilamar orang. Ia merasa sangat jahat jika meminta kepada Tiara menolak lamaran itu, agar ia bisa melamarnya setelah ujian. Ia merasa jika melakukan hal itu, ia seperti menikam temannya sendiri. Ia merasa kebesaran jiwa dan kesabarannya benar-benar sedang diuji. Ia harus bisa memberikan jawaban sebagai seorang Muslim sejati. Ya, seorang Muslim sejati. Yaitu Muslim yang gentle, yang berani melepaskan Muslimah yang dicintainya kepada saudara Muslim lainnya yang lebih siap darinya dalam urusan menikah. "Katakan pada Tiara, Ustadz Zulkifli itu teman baik kakak selama di pesantren dulu. Ia orang yang baik. Susah dicari ala - san untuk menola k lamaran orang sebaik Ustadz Zulkifli. Itu pendapat kakak. Namun semuanya tentu kembali kepada Tiara. Sebaiknya dia shalat Istikharah dulu. Walau bagaimanapun dialah yang nanti akan menjalani apa yang diputuskannya." Jawaban Fadhil jelas, tegas dan tanpa ragu. Meski jauh di lubuk hatinya, ada jenis getar-getar suara aneh yang susah diartikan maknanya. Orang yang pemah jatuh cinta, pastilah bisa mendengar getar-getar suara itu. Cut Mala menangkap ketegasan dari ucapan kakaknya itu. Ia tidak menangkap sedikit pun keraguan dari kata -katanya. Ia sedikit kecewa kakaknya mengata kan hal itu. Ia sesungguhnya berharap kakaknya menunjukkan satu isyarat bahwa Tiara ada di hatinya. Namun dari sikap dan kata -kata kakaknya itu ia tidak menemukan isyarat yang ia cari itu sama sekali. Ia menyimpulkan bahwa Tiara sama sekali tidak terpikir oleh kakaknya. Meskipun kecewa diam-diam ia bangga dan 305 salut pada kakaknya. Kakaknya adalah pemuda yang tegas, yang selalu mengutamakan ilmu dan belajar di atas segalanya. Cut Mala benar-benar tak bisa menangkap getar-getar suara aneh yang ada di relung hati terdalam kakaknya. Tidak pernahkah Cut Mala terselubungi selimut cinta yang merindu dendam dalam dada seperti kakaknya? Sehingga ia tak bisa menangkap getar-getar suara aneh yang ada di relung hati terdalam kakaknya itu? Ah, entahlah! Setelah mendengar jawaban kakaknyar Cut Mala minta diri. Hari sudah mulai sore. Ia harus segera pulang ke Masakin Utsman untuk menyampaikan jawaban dan saran kakaknya kepada Tiara agar bisa segera mengambil keputusan. *** Tepat pukul lima lebih lima sore, Cut Mala sampai di flatnya. Cut Mala langsung masuk ke kamarnya diikuti Tiara. Tiara sepeffi tidak sabar mendengar berita yang dibawa Cut Mala. Setelah menutup pintu Tiara langsung mencercar Cut Mala dengan sebuah pertanyaan, "Bagaimana Dik, sudah kausampaikan pada Kak Fadhil?" Cut Mala mengangguk dan berkata lirih, "Sudah." "Apa sarannya?" "Intinya Kak Tiara diminta Istikharah dan memutuskan sendiri." 306 "Tentang Ustadz Zulkifli bagaimana?" "Kata Kak Fadhil, dia orangnya baik." Agaknya Tiara belum juga puas dengan jawaban singkat Cut Mala. Tiara mengajak Cut Mala duduk lalu berkata, "Tolong Dik, ceritakan dengan detil apa yang disampaikan Kak Fadhil padamu. Tolong kau ulangi kata -katanya. Jangan kau kurangi dan kautambahi kalau bisa." "Apa tadi kurang jelas Kak?" "Jelas Dik, tapi aku perlu yang lebih jelas." Kata Tiara dengan nada sedih. Cut Mala menatap dalam-dalam wajah kakak kelasnya. Ia merasa ada sesuatu yang dipendam oleh kakak kelasnya itu. Sambil memandang wajah Tiara, ia berkata, "Baiklah Kak. Saya akan berusaha tidak mengurangi dan menambahi apa yang disampaikan Kak Fadhil. Setelah aku sampaikan semua amanah kakak, panjang lebar. Kak Fadhil terdiam sesaat, lalu tanpa keraguan ia berkata begini, 'Katakan pada Tiara, Zulkifli itu teman baik kakak selama di pesantren dulu. Ia orang yang baik. Susah dicari alasan untuk menolak lamaran orang sebaik Ustadz Zulkifli. Itu pendapat kakak. Namun semuanya tentu kembali kepada Tiara. Sebaiknya dia shalat Istikharah dulu. Walau bagaimanapun dialah yang nanti akan menjalani apa yang diputuskannya.' Begitulah kata Kak Fadhil. Masih ada yang kurang jelas?" "Jadi dia mengatakan: Susah dicari alasan untuk menolak lamaran orang sebaik Ustadz Zulkifli?" Cut Mala mengangguk. 307 "Itu berarti dia menyarankan saya untuk menerima lamarannya," kata Tiara parau. "Kak Tiara jangan salah paham. Menurut pemahamanku kok Kak Fadhil tidak menyarankan apa-apa berkaitan menolak atau menerima. Kak Fadhil berusaha objektif menilai Ustadz Zulkifli. Bahkan Kak Fadhil tetap meminta Kak Tiara untuk shalat Istikharah," tanggap Cut Mala. "Dengan mengatakan, susah dicari alasan untuk menolak lamaran orang sebaik Ustadz Zulkifli, itu sama saja memberi saran jangan menolak lamaran Ustadz Zulkifli," tukas Tiara pelan dengan mata berkaca-kaca. "Sepertinya Kak Tiara kecewa ya mendengar apa yang dikata - kan Kak Fadhil?" raba Cut Mala. Tiara diam. Matanya yang berkaca -kaca terpejam dalam. Dari sikap Tiara itu, Cut Mala bisa menyimpulkan apa yang dirasa kakak kelasnya itu. "Kenapa Kak Tiara tidak terus terang kepada Mala!?" kata Cut Mala sedikit keras. "Terus terang apa Dik?" tukas Tiara parau. "Berterus terang kalau Kak Tiara mencintai Kak Fadhil," tegas Cut Mala. Tiara kaget mendengar kata-kata Cut Mala. "Bagaimana kau bisa berkata begitu Dik?" tanya Tiara dengan nada mengingkari apa yang ia dengar. "Karena kedua mata Kak Tiara yang berkaca -kaca dan pengingkaran Kak Tiara atas apa yang dikatakan Kak Fadhil. Kak, 308 jujurlah Kak! Kak Tiara mengharap Kak Fadhil kan? Jujurlah Kak?" Tiara mengangguk kemudian menutupi mukanya dengan kedua tangannya dan menangis lirih. Cut Mala melihat hal itu. Ia meneteskan air mata. Ia sendiri tidak tahu kenapa hatinya terasa perih dan sedih. Ia merasa tak bisa banyak membantu Tiara. Kakaknya sudah mengatakan dengan tegas, jelas dan tanpa keraguan bahwa susah dicari alasan untuk menolak lamaran orang sebaik Ustadz Zulkifli. Ia tahu persis watak kakaknya yang tidak mungkin mencabut apa yang dikata - kannya. Tapi benarkah ia tahu persis watak kakaknya? Termasuk dalam hal cinta -mencinta? Kita lihat saja nanti kisah selanjutnya. Dalam hati Cut Mala berpikir, bahwa kejadiannya akan berbeda jika sejak awal Tiara berterus terang padanya. Ia akan berusaha bagaimana caranya agar kakaknya bisa bertemu hati dengan Tiara. Sebab, sejak dulu sejatinya terbersit sebuah harap di dalam hatinya, Tiara bisa menjadi pendamping hidup kakaknya. Tiara, meskipun tidak secantik Masyithah. Namun memiliki akal budi yang memesona. Dalam haru Cut Mala masih menaruh harap mereka berdua akhirnya bisa bertemu dalam akad penuh barakah. Ia hanya bisa menaruh harap dan catatan takdirlah yang pada akhirnya akan menentukan segalanya. Selesai shalat Maghrib, Cut Mala langsung menghubungi kakaknya lewat telpon. Panjang lebar ia menjelaskan perasaan Tiara yang sesungguhnya, juga harapan Tiara sebenarnya. Namun persis seperti yang ia duga, kakaknya telah kukuh dengan pendiriannya Bahkan kakaknya mengatakan lebih tegas lagi tepatnya lebih ditegas-tegaskan lagi, "Memang sebaiknya Tiara menerima lamaran Zulkifli. Itu yang lebih baik secara 309 syariat daripada mengharap cinta seorang lelaki yang belum jelas iya dan tidaknya!" Cut Mala kecewa dengan jawaban kakaknya, tapi ia tidak punya kuasa apa-apa. Ia hanya bisa menyampaikan apa yang baru saja dikatakan kakaknya itu pada Tiara. Setelah mendengar penuturan Cut Mala, Tiara berkata lirih dengan mata nanar berkaca-kaca, "Baiklah, akan aku turuti saran kakakmu itu. Semoga di kemudian hari kakak kandungmu itu tidak menyesal memberikan saran itu!" Hati Cut Mala bergetar mendengarnya. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia hanya bisa menghela nafas dan memejamkan mata. Ia merasa tak ada yang lebih misterius dalam hidup ini melebihi cinta. Ia pernah mendengar bahwa cinta bukanlah apa yang kita pikirkan, tetapi ia adalah suratan takdir, suratan nasib. Benarkah demikian? 310 19 SURAT DAR1 INDONESIA Malam itu Hafez berpamitan pada teman-teman satu rumahnya. Kepada teman-temannya ia mengaku memerlukan suasana baru untuk menyongsong ujian. Ia minta ijin pindah ke Katamea untuk selama dua bulan. Di Katamea ia akan tinggal satu kamar dengan Salman. Tak ada yang tahu sejatinya Hafez pindah ke Katemea karena apa kecuali Azzam. Hafez membawa buku-buku muqarrar-nya, pakaian dan barang-barang yang ia anggap penting. Barang yang ia bawa satu koper dan dua kardus ukuran sedang. Ditemani oleh Nanang ia pergi dengan taksi. Kepergian Hafez yang katanya untuk menenangkan diri membuat Fadhil, Nasir dan Ali semakin sadar bahwa ujian tidak lama lagi. Hanya Azzam yang tidak terpengaruh apaapa. Sebab bebannya tinggal satu mata kuliah saja, yaitu Tafsir 311 Tahlili. Kalau ia ingin lulus, ia hanya perlu sedikit serius. Namun kalau masih ingin di Mesir, ya diktat dibaca tapi saat menjawab soal ya sekenanya. Baginya jika masih ingin di Mesir ya sebaiknya tidak lulus. Dengan begitu ia masih bisa mendapatkan visa tinggal gratis. Azzam sendiri meskipun statusnya masih belum lulus, ia merasa telah lulus. Sebab, ya itu tadi bebannya tinggal satu mata kuliah saja. Ia bahkan sudah bisa memprediksi yudisium yang akan tertulis dalam ijazahnya. Meskipun nilainya mepet, tapi tetap jayyid, alias baik. Dengan yudisium jayyid, jika ada rezeki ia masih memiliki peluang untuk melanjutkan S.2 di beberapa universitas terkemuka di dunia, seperti di IIUI Pakistan maupun IIUM Malaysia. Jadi, meskipun orang mengenalnya sebagai pembuat tempe, tapi ia tetap memiliki standar minimal prestasi akademik. Malam itu ia minta tiga anak buahnya Rio, Yayan dan Anam yang bekerja membuat tempe. Ia merasa harus istirahat. Ia tak mau jatuh sakit. Jam setengah sembilan setelah minum madu hangat dicampur air habbah sauda, Azzam masuk kamar untuk tidur. Ia mengatur jam bekernya dan menyalakan murattal Syaikh Sa'ad Al Ghamidi pelan. Ia rebahan di atas kasur dengan nyaman. Matanya belum terpejam. Ia memandang langit-langit kamarnya yang putih polos. Di langit-langititu ia seolah melihat wajah ibunya dan ketiga adiknya, Husna, Lia, dan Sarah. "Sudah sembilan tahun aku berpisah dengan mereka. Aku seharusnya segera pulang," lirihnya. Tiba-tiba ia merasa begitu rindu pada mereka. Ia bangkit dan mengambil buku agendanya. Di sana terselip surat terakhir dari Husna. Surat yang ia terima tiga bulan yang lalu. Husna juga mengirimkan foto terbaru mereka. Ia ingin melihat foto mereka. Ia duduk di meja belajarnya dan meman312 dangi foto yang ada di tangannya dengan seksama. Husna dengan jilbab putihnya. Lia tersenyum dengan tangan mengacungkan bravo ke udara. Sarah yang duduk di atas pasir dengan tertawa. Dan ibundanya yang bersahaja, kerudungnya berkelebat ke kanan seakan hendak lepas ke udara. Di bela - kang mereka terhampar lautan dengan ombaknya yang indah. Di balik foto itu tertuliskan keterangan singkat: "Rekreasi di Pantai Kartini Jepara saat mengantar Dik Sarah ke Kudus." Kedua matanya berkaca-kaca. Ia jarang menangis. Namun jika didera rindu pada ibunda dan adik-adiknya ia mudah sekali menangis. Ia pandangi wajah ibundanya yang mulai tampak gurat-gurat tuanya. Bersamaan dengan airmatanya yang merembes keluar, ia berkata lirih, "Ibu kapan kita kembali bertemu?" Tiba-tiba ia merasa berdosa. Sebenarnya, ia yang lebih bisa menjawab pertanyaannya itu daripada ibunya. Ibunya hanya bisa menunggu. Ialah yang harus memutuskan dan mengambil tindakan nyata, kapan pulang ke Indonesia dan bertemu ibu. Ia bangkit dan membawa foto itu ke kasur. Ia merebahkan badannya dan meletakkan foto itu di dadanya. Ia memejamkan mata. Sambil terus membayangkan wajah ibu dan adikadiknya ia berdoa dalam hati memohon kepada Dzat Yang Maha Kuasa, agar mempertemukan dia dengan ibu serta adikadiknya dalam tidurnya. Baginya, bertemu mereka dalam mimpi mampu sedikit meredam kerinduannya yang membara. Matanya terpejam, tapi pikirannya masih sadar. Telinganya menangkap suara seseorang mengetuk pintunya. Ia tak jadi tidur. Kenyamanannya buyar. Hatinya sedikit marah tidurnya diganggu. 313 "Ada apa!?" ucapnya setengah berteriak. "Maaf Kang, ini ada surat buat Sampeyan dari Indonesia." Mendengar itu rasa marahnya hilang seketika, berganti rasa bahagia yang luar biasa. Ia langsung bangkit dari tempat tidurnya. "Surat dari Indonesia?" tanyanya seolah tak percaya. "Iya Kang dari Indonesia." "Dari siapa?" "Biasa, dari adik Sampeyan, dari Husna." Azzam langsung melompat dan membuka pintu. Di depan pintu kamarnya Ali berdiri dengan senyum mengembang. "Ini Kang suratnya." Kata Ali sambil menyodorkan sepucuk surat beramplop cokelat muda. "Siapa yang bawa?" tanya Azzam. " Seperti biasa, suratnya tadi jatuh ke rumah Miftah di Abdur Rasul. Yang membawa ke sini si Miftah sendiri. Ia langsung pergi. Katanya sedang punya janji" jawab Ali tenang. Azzam menerima surat itu dengan hati luar biasa bahagia. Ia menutup pintu dan mengamati amplop surat itu dengan seksama. Di bagian depan amplop tertulis, "Radio Jaya Pemuda Muslim Indonesia (JPMI) Solo." Di bawahnya tertulis nama dirinya dan alamat suratnya. Ia mengambil gunting dan membuka surat itu. Berisi dua lembar kertas HVS putih yang dilipat. Surat itu ditulis dengan komputer. Azzam membaca surat itu dengan segenap perasaan rindu dan cintanya: 314 Menjumpai Kakakku Tercinta Abdulllah Khairul Azzam Di Bumi Para Nabi Assalamu'alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh. Dari pojok Kota Kartasura tercinta kami tiada henti mengirimkan doa, semoga Kak Azzam senantiasa sehat, terjaga dari segala keburukan, dan berada dalam selimut rahmatNya siang malam. Amin. Kak, alhamdulillah, kami semua di rumah baik, sehat wal afiyat, berlimpah rahmat Allah. lbu alhamdulillah baik dan sehat. Beliau sudah sangat rindu pada Kakak. Husna sendiri juga sehat. Dua minggu yang lalu Husna menerima ijazah profesi, Husna sudah bisa praktik sebagai psikolog. Segala puji bagi Allah Swt. Ini tak lepas dari jasa Kakak. Lia sudah menyelesaikan D.2. PGSD-nya. Ia kini mengajar di SDIT Al Kautsar Solo. Dan Sarah masih belajar di Pesantren Al-Quran di Kudus. Terakhir Husna ke Kudus ia sudah hafal Juz 27, 28, 29 dan 30. Kak Azzam tercinta, Selama delapan tahun ini sejak ayah berpulang ke rahmatullah, engkau telah menunaikan kewajibanmu dengan baik. Lihatlah kami, kini adik-adikmu sudah bisa engkau banggakan. Kami sangat berterima kasih dan bangga kepadamu Kak. Selama ini kami tahu engkau tidak lagi memikirkan dirimu Kak. Studimu di Al Azhar yang seharusnya bisa selesai dalam empat tahun, bahkan sampai sekarang, belum juga selesai. Padahal kau sudah sembilan tahun di Mesir. Kami tahu bahwa engkau mengorbankan dirimu dan segala idealismemu demi untuk membiayai hidup dan sekolah kami. Kak Azzam tercinta, Aku sendiri masih ingat surat kakak ketika kakak berhasil naik tingkat tahun pertama di A1 Azhar. 315 (Surat itu masih kusimpan baik-baik Kak). Dalam surat itu kakak menjelaskan kepada ayah, bahwa kakak adalah satu-satunya mahasiswa dari Indonesia tingkat pertama yang meraih predikat jayyid jiddan, atau Sangat Baik. Saya masih ingat Kak, begitu membaca surat kakak, ayah langsung sujud syukur dan menangis haru dan bahagia. Ayah sangat bangga. Ayah langsung meminta ibu masak enak dalam porsi besar. Malam harinya ayah mengundang tetangga kanan kiri untuk syukuran. Saat itu aku juga sangat bangga pada Kakak. Kak Azzam tercinta, Satu bulan setelah menerima surat dari kakak, ayah dipanggil Allah. Ayah meninggal karena kecelakaan. Tahukan engkau kakakku, ternyata di saku baju ayah yang berlumuran darah itu ada suratmu. Sedemikian bangganya ayah pada dirimu, bahkan suratmu itu selalu dibawanya ketika ayah pergi kerja. Saat ayah tiada, kami merasakan dunia terasa gelap. Namun, kau dari negeri para nabi menguatkan kami. Kepada kami, adikadikmu ini kau berpesan untuk terus tenang dan konsentrasi belajar. Sejak itu kau datang tiap bulan dengan kirimanmu yang kautransfer lewat bank ke rekening ibu. lbu yang memang sering sakit dan tidak bisa lagi bekerja keras sering menangis, aku yakin ibu menangis haru bercampur bangga, setiap kali menerima transferan uang dari kakak. Tak lama setelah itu aku tahu dengan detil apa yang kakak lakukan di Mesir untuk kami. Kakak bekerja keras membuat tempe, berjualan tempe dan membuat bakso demi kami. Kakak rela mengorbankan studi kakak demi kami. Kami tahu itu pasti sangat berat bagi kakak. Sebab kami tahu mental kakak sejatinya adalah mental berkompetisi dan berprestasi. Sejak SD sampai Madrasah Aliyah kakak selalu rangking satu. Dan karena prestasi kakak itu, di setiap pelepasan kelulusan, dari SD sampai Madrasah Aliyah, ayah selalu diminta pihak sekolahan untuk maju ke panggung pelepasan, sebagai wali murid dari siswa paling berprestasi. Tak henti hentinya ayah membanggakan prestasi kakak itu kepada kami, anak-anaknya. Kami pun terlecut karenanya. 316 Kak Azzam, Sungguh, saat mengetahui hal itu aku menangis. Nun jauh di sana, di negeri para nabi kakak mati-matian jualan tempe dan bakso demi kami. Sungguh Kak, semangatku untuk survive, untuk maju dan berprestasi semakin terlecut, terlecut dan terlecut. Adik-adik juga terlecut. Hari berganti hari. Matahari terus terbit dan tenggelam. Sudah delapan tahun kakak membanting tulang dan berkorban. Kini kakak bisa segera pulang untuk melihat adik-adik kakak yang alhamdulillah sudah bisa menatap masa depan dengan kepala tegak berlimpah rahmat Tuhan seru sekalian alam. Kak Azzam tercinta, Kami tahu sebentar lagi kakak akan menghadapi ujian. Sudah saatnya kakak menata masa depan kakak. Kami berharap saat ini kakak kembali konsentrasi ke studi kakak. Kakak harus segera selesai dan segera pulang. Kami semua sudah rindu. Sementara jangan pikirkan kami dulu. Insya Allah kami berkecukupan. Aku sendiri sejak dua bulan ini sudah menjadi pengisi rubrik psikologi remaja di Radio JPMI (Jaya Pemuda Muslim Indonesia) Solo, juga diminta sebagai asisten dosen di UNS. Dik Lia sudah menjadi pengajar tetap di SDIT. Gaji kami berdua Insya Allah cukup untuk hidup layak. Jika kakak ada rezeki dialokasikan saja untuk membeli tiket pulang dan mungkin membeli buku-buku referensi yang pasti akan sangat kakak perlukan jika nanti mengamalkan ilmu di Tanah Air. Kak Azzam tercinta, Harapan kami kakak bahagia membaca surat ini. Lia titip salam. Salam rindu dan kangen tiada tara katanya. Sarah titip kecupan cinta katanya. Ibu titip setetes air mata cinta dan bangga untukmu kakakku tercinta. Ini dulu ya. Selamat menempuh ujian. Semoga lulus dan segera pulang ke Tanah Air. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan taufik-Nya kepada kakak. Amin Wassalam, Dengan sepenuh cinta, Adikmu, Ayatul Husna 317 Azzam membaca surat dan adiknya dengan air mata berderaiderai. Selesai membaca surat itu ia langsung tersungkur di atas karpet. Sujud syukur kepada Allah Swt. Ia menangis merasakan keagungan kasih sayang Allah Swt. Kerja kerasnya membuahkan hasil. Ia sangat bahagia. Ia merasa ini semua adalah karena kasih sayang Allah Swt. Dalam sujudnya ia meminta kepada Allah agar diberi tambahan kekuatan untuk belajar dan diberi tambahan ilmu yang bermanfaat. Ia menguatkan azzam untuk lulus tahun itu juga. Tinggal satu mata kuliah, Tafsir Tahlili. Dan ia akan mempelajarinya dengan penuh konsentrasi. Selesai ujian ia akan fokus mencari dana untuk pulang. Hatinya tiba-tiba riang dan bahagianya membuncah-buncah. Dengan penuh penghayatan ia berdoa, "Ya Allah kabulkan harapanku untuk lulus dan pulang tahun ini. " Malam itu Azzam tidur dengan penuh kedamaian. Ia bermimpi dirinya telah berada di Indonesia makan pagi bersama ibu dan adik-adiknya. lbunya membuat bubur dengan sambel tumpang yang sangat sedap. Sementara Husna membuat bakwan dan mendoan. Lia membuat teh tubruk kesukaannya. Dan Sarah bercerita tentang pengalaman indahnya selama berada di Pesantren Al-Quran. Pagi itu ia makan bubur buatan ibunya dengan sangat lahap. Ibunya memperhatikan dengan kedua mata bersinar-sinar bahagia. "Iyo Le. mangano sing akeh. Ben awakmu seger. Trus ndang cepet kawin."62 Kata ibunya yang disambut tawa riang adik-adiknya. 62 Iya, Nak, makanlah yang banyak. Biar badanmu segar. Terus segera menikah. 318 Azzam lalu ikut juga tertawa. Rasanya sangat bahagia. "Kawin sama siapa tho Bu." Sahut Azzam. "Ya sama mahasiswi Indonesia yang cantik-cantik itu tho. Apa kau kira ibu tidak tahu. Ada Cut Mala, ada Laila, Masyithah, ada Cut Rika, ada Hilda, ada Erna, dan ada Anna. Kau tinggal pilih salah satu dari mereka." Jawab ibunya, menyebut namanama mahasiswi Indonesia di Cairo yang ia ketahui. Ia tidak mengerti dari mana ibunya tahu nama-nama itu. "Kok ibu tahu nama mereka?" Tanyanya heran. "Lho kamu ini bagaimana tho, kan mereka semua kemarin ke sini menemui ibu. Mereka menginap di pesantrennya Anna. Dan sebentar lagi mereka mau datang ke sini?" "Datang ke sini? Ke rumah kita ini?" "Iya. Kamu itu bagaimana tho. Katanya kamu ingin ketemu mereka. Kamu ingin menunjukkan gadis yang kamu pilih pada ibu dan adik-adikmu." Azzam sama sekali tidak bisa mengerti dengan apa yang didengarnya. Bagaimana mungkin mahasiswi mahasiswi itu bisa datang ke rumahnya. Kapan mereka pulang dari Mesir. Belum hilang keheranannya. Tiba-tiba ada suara memberi salam sambil mengetuk pintu. Itu suara Cut Mala, ia hafal betul dengan suara itu. "Lha itu mereka datang!" Seru ibunya dengan wajah bahagia. Ketiga adiknya juga menampakkan wajah sangat bahagia. Ia 319 masuk terpaku di tempatnya. Sementara ibu dan adik-adiknya bergegas ke ruang tamu. Sayup-sayup ia mendengar ibunya menanyakan kabar pada mereka. Tak lama kemudian, Husna, adiknya memintanya untuk ke ruang tamu. Ia berjalan dengan kaki gemetar. Ia masuk ke ruang tamu dengan menundukkan kepala. Ia lalu duduk di samping ibunya. Pelan-pelan ia mengangkat kepalanya. Di depannya duduk tujuh orang gadis dengan pesona masing-masing. Ya ada Cut Mala, Erna, Masyithah, Cut Rika, Hilda, Laila dan seseorang memakai cadar. Ia tidak tahu siapa dia. Ibunya berkata, "Yang pakai cadar ini namanya Anna. Anna Althafunnisa." "Anna Althafunnisa?" Kagetnya. Perempuan bercadar itu mengangguk. Ia semakin penasaran dan bingung. Selama ini ia hanya mendengar berita kecantikan Anna Althafunnisa, tapi tidak pernah tahu seperti apa. Dan saat itu, ketika Anna ada di hadapannya pun masih juga menyembunyikan wajahnya. Dan ia bingung, kenapa Anna Althafunnisa ikut datang, bukankah ia telah dilamar Furqan? Terus Cut Mala, kenapa juga ikut datang. Bukankah Cut Mala seharusnya telah dikhitbah Hafez, teman satu rumahnya. "Apakah kau ingin aku membuka cadarku? Agar kau bisa melihat wajahku?" Kata Anna seolah tahu rasa penasarannya. Dengan suara bergetar ia menjawab, "I...iya." "Baiklah." Perlahan Anna menyingkap cadar penutup wajahnya. Baru seperempat yang disingkap, tiba-tiba ia merasakan tubuhnya 320 melayang. Wajah itu bercahaya. Anna tidak langsung menyingkap semua. Anna menahan sesaat. Lalu kembali menggerakkan tangannya untuk menyingkap. Tiba-tiba.... Kriing... kriing... kriiing... Jam bekernya berbunyi keras sekali. Ia terkesiap bangun. Ia sangat kecewa, itu semua hanya mimpi belaka. Lebih kecewa lagi, ia belum sepenuhnya melihat wajah Anna Althafunnisa. "Yah hanya mimpi." Lirihnya pada diri sendiri. Ia lalu berpikir, mana mungkin ia bisa memiIih salah satu dari tujuh mahasiswi Cairo itu. Mana mungkin mereka datang ke rumahnya. Mana mungkin mereka mau menjadi pendamping hidup penjual tempe seperti dirinya. "Ah mimpi itu ada-ada saja." Tiba-tiba ia tersenyum sendiri. Ia bersyukur masih bisa memimpikan hal yang indah. Ia bersyukur doanya minta bertemu dengan ibunya dalam mimpi benar-benar terkabul. Tiba-tiba ia berpikir: "Bisa jadi kalau aku berdoa, meminta dijodohkan dengan salah satu dari tujuh gadis dalam mimpiku itu juga akan terkabul. Apa salahnya berdoa?" Ia tersenyum. Saatnya Tahajud dan bermunajat pada Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang. 321 Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji 63 63 QS. Al Israa'(Memperjalankan di Malam Hari) [17]: 79 322 20 BINTANG YANG BERSINAR TERANG Anna baru saja pulang dari Khan Khalili. Ia membeli Papyrus, kaos, celak, siwak, gantungan kunci khas Cairo, dan minyak wangi. Ia tidak membeli banyak oleh-oleh untuk pulang, terutama makanan. Sebab ia masih akan mampir di Kuala Lumpur beberapa hari. Ia bisa membeli tambahan oleh-oleh di Kuala Lumpur nanti. "Wah jadi pulang nih Kak." Sapa Zahraza begitu Anna meletakkan barang belanjaannya di atas meja ruang tamu. "Insya Allah." Jawab Anna pelan sambil mengusap peluh di wajahnya. Hari ini lebih panas dari biasanya. Dan Anna naik taksi yang AC-nya sedang rusak. 323 "Belanja sendirian Kak?" "Tidaklah Zah. Tadi aku pergi bertiga. Aku ditemani Cut Mala dan Erna. Cut Mala turun di Rab'ah sedangkan Erna itu masih di bawah. Ada penjual buah keliling. Ia ingin beli buah." "Cut Mala itu yang mana sih Kak. Aku sering dengar namanya tapi kok belum pernah ketemu orangnya." "Cut Mala, anak Aceh yang kemarin jayyid jiddan itu lho. Anaknya cantik dan ramah. Ia sering nulis di buletin Citra. Kalau mau kenalan nanti sore jam empat dia mau datang ke rumah ini. Dia mau tanya tentang beberapa masalah Ushul Fiqh." "Wah kebetulan. Awak penasaran banget dengan yang namanya Cut Mala Kak. Dia katanya pernah diminta membaca Al- Quran oleh teman-teman mahasiswi di rumah Negeri Kedah. Suaranya katanya sangat indah. Ia jadi pembicaraan. Sayang awak tak hadir saat itu." "Iya dia memang pernah menjuarai Musabaqah Tilawatil Quran se-Aceh." "Oh ya, Wan Aina mana Zah?" "Dia baru saja tidur. Dua puluh menit yang lalu. Baru pulang dari rapat panitia seminar." "Seminarnya jadi positif hari Ahad?" "Insya Allah positif, Profesor Razlina Afif, Guru Besar Sejarah Islam dari Universiti Malaya bahkan sudah tiba di Cairo. Profesor Sherly Lombard, Pakar Sejarah Asia Tenggara dari Birmingham University juga positif bisa datang." 324 "Syukur alhamdulillah kalau begitu." "Tapi ada sedikit masalah?" "Apa itu?" "Seminarnya kan memakai bahasa Inggris, jadi moderatornya harus benar-benar yang bisa berbahasa Inggris. Rencana panitia yang menjadi moderator adalah Wan Faiza Wan Nuh, yang sedang menempuh master di Cairo University . Wan Faiza tiba-tiba mengundurkan diri karena ia harus ke Damaskus untuk suatu urusan yang katanya sangat penting. Sampai sekarang panitia belum menemukan moderator yang tepat." "Lha Wan Aina kan bahasa Inggrisnya bagus." "Dia bilang tidak berani." "Masak tidak berani?" "Dia sendiri yang bilang begitu," kata Zahraza meyakinkan. "Benar Kak Anna, saya tidak berani menghadapi audiens yang begitu banyak," tiba-tiba Wan Aina menjawab dari pintu kamarnya. "Tapi panitia, atas usulan saya sudah menemukan moderator yang tepat insya Allah," lanjut Wan Aina. "Siapa Wan?" tanya Zahraza. "Kak Anna Althafunnisa." "Apa? Aku? Kau jangan bercanda Wan !?" Anna kaget. "Aku tidak bercanda Kak Anna. Aku serius. Dan aku diamanahi panitia untuk membereskan masalah ini. Dengan sepenuh harap aku minta Kak Anna mau menjadi moderator untuk acara seminar besok." 325 "Kau jangan main-main Wan, bahasa Inggrisku jelek" "Kak Anna selalu merendah. Saya sudah lama hidup dengan Kak Anna, sudah lama mengenal Kak Anna. Hanya kakak yang menurut saya paling tepat untuk memoderatori seminar besok. Kakak pernah ikut pertukaran pelajar ke Wales selama satu tahun sebelum kuliah di Al Azhar. Bahasa kakak halus khas Wales," kata Wan Aina meyakinkan Anna. "Tapi rasanya susah Wan. Segala sesuatu perlu persiapan. Aku tak ada persiapan sama sekali untuk tema seminar ini Wan. Aku bisa seperti badut nanti." "Jangan kuatir Kak. Dalam satu jam ke depan, saya akan kasih Kakak print out makalah yang akan disampaikan oleh Profesor Razlina Afif dan Profesor Sherly Lombard. Juga makalah yang ditulis Prof. Dr.Nadia Hashem dari Cairo University. Dengan modal tiga makalah itu paling tidak Kakak punya persiapan yang cukup ditambah beberapa literatur yang nanti akan saya usahakan segera ada di meja belajar Kakak. Bagaimana Kak?" Anna diam tak menjawab. "Ingat Kak, kita harus saling tolong menolong dalam kebaikan. Tolonglah panitia Kak!" desak Wan Aina. Anna sama sekali tidak bisa mengelak, akhirnya ia menjawab, "Baiklah akan aku coba semampuku." "Terima kasih Kak." Seperti yang dijanjikan Anna pada Zahraza, jam empat tepat Cut Mala tiba di rumah itu. Zahraza sangat senang berkenalan dengan gadis dari Aceh yang rendah hati itu. 326 "Saya pernah sekali ke Banda Aceh. Saya sempat tengok Masjid Baiturrahman. Rumah kamu jauh tak dari Masjid Baiturrahman?" tanya Zahraza pada Cut Mala "Kalau rumah saya dari Masjid Baiturrahman jauh sekali. Saya tinggal di Pidie. Kalau tempat kelahiran saya cukup dekat dengan Masjid Baiturrahman. Masih satu kota. Saya lahir di Ulee Kareng, Banda Aceh," jelas Cut Mala. Zahraza yang memang suka ngobrol mengajak Cut Mala berbicara ke mana-mana. Obrolan mereka berhenti ketika Anna mengajak Cut Mala masuk ke kamarnya. Cut Mala sangat hormat dan kagum pada gadis yang judul tesisnya sudah diterima itu. Ia sendiri bercita-cita bisa mengikuti jejak Anna Althafunnisa. Cut Mala membawa diktat kuliahnya. Segala yang musykil baginya ia tanyakan dengan tanpa rasa malu pada Anna. Anna menjawab sejelas jelasnya dengan penuh kesabaran. "KakAnna, maksud kaidah ini apa?" tanya Cut Mala. "Coba baca apa kaidahnya!" pinta Anna. "Kaidahnya begini Kak: Al Itsar bil qurbi makruuhun wa fi ghairiha mahbuubun! Di sini tidak ada penjelasan dan contohnya sama sekali Kak. Saya belum benar-benar paham." Anna langsung menjawab dengan tenang, "Kaidah itu artinya, itsar, mengutamakan orang lain, dalam hal mendekatkan diri kepada Allah, atau mengutamakan orang lain dalam beribadah, itu hukumnya makruh. Adapun mengutamakan orang lain pada selain ibadah itu dianjurkan. Dalam ibadah yang dianjurkan dan disunahkan adalah berlombalomba mendapatkan yang paling afdal. Mendapatkan pahala 327 yang paling banyak. Maka mengutamakan orang lain sangat tidak dianjurkan alias makruh. "Contohnya, jika seseorang memiliki air yang hanya cukup buat berwudhu untuk dirinya saja, maka ia tidak boleh mem - berikan air itu pada orang lain, agar orang lain bisa berwudhu sementara ia tayammum. Yang disunahkan adalah dia menggunakan air itu untuk berwudhu biarkan orang lain tayammun. Kecuali jika ada orang lain yang membutuhkan untuk minum karena kehausan, maka ia sebaiknya memberikan air itu padanya dan ia bisa bersuci dengan tayammum. "Contoh lain, jika seorang Muslimah memiliki satu mukena. Lalu datang waktu shalat. Ia tidak diperbolehkan mempersilakan orang lain shalat dulu menggunakan mukenanya dan ia menunggu setelah orang-orang selesai menggunakan mukenanya. Yang benar adalah ia harus segera shalat sebelum yang lain. Ia harus mengutamakan dirinya. Sebab shalat di awal waktu itu lebih baik. Baru setelah ia shalat ia bisa meminjamkan pada orang lain. Dalam ibadah sekali lagi dimakruhkan mengutamakan orang lain. Begitu maksud kaidah itu Dik. Kau bisa menganalogikan dengan yang lain." Cut Mala tampak puas mendengar jawaban itu. Tiba-tiba ia terpikir sesuatu yang menarik untuk ia tanyakan, "Maaf Kak saya mau tanya. Kalau misalnya. Sekali lagi ini misalnya lho Kak. Misalnya ada seorang gadis Muslimah, dilamar oleh seorang pemuda yang sangat baik. Baik agamanya, akhlaknya, prestasinya, juga wajahnya. Lalu ia mengalah, mengutamakan saudarinya yang menurutnya lebih baik darinya dan lebih pantas menikah dengan pemuda Muslim tadi. Apa ini termasuk makruh Kak?" 328 Anna menatap kedua mata Mala. Sebuah pertanyaan yang membuatnya tersenyum sekaligus kagum akan kreativitas gadis dari Aceh ini. Bukankah pertanyaan yang baik adalah separo dari ilmu? "Menurutmu menikah itu ibadah nggak Dik?" tanya Anna. "Ibadah Kak. Bukankah menikah itu menyempurnakan separo agama?" "Jadi jelas kan jawabannya. Aku pribadi kalau menemukan pemuda yang baik, yang menurutku sungguh baik dan ada yang menjodohkan aku dengannya ya aku akan mengutamakan diriku dulu. Tidak akan aku tawarkan pada akhwat lain. Menikah kan ibadah. Cepat-cepat menikah kan juga bagian dari berlomba-lomba dalam kebaikan. Kalau aku itsar, mengutamakan akhwat lain, berarti aku akan kalah cepat. Akhwat itu akan menikah duluan, dapat jodoh duluan dan aku belum. Jadi tertunda. Dan, tambah lagi belum tentu aku akan dapat jodoh yang lebihbaik dari itu. Meskipun jodoh ada yang mengaturnya yaitu Allah. Tapi kita kan harus ikhtiar. Di antara bentuk ikhtiar, ya, ketika menemukan yang baik tidak usah mengutamakan orang lain. " Cut Mala merasa mendapatkan wawasan baru belajar pada Anna. Cut Mala terus bertanya dan bertanya. Kurang lebih satu jam setengah Cut Mala berada di kamar Anna. Menjelang Maghrib ia minta diri. Zahraza mengingatkan agar datang ke seminar. "Jangan lupa datang dan ajak teman-teman satu rumahmu ya. Besok moderatornya Kak Anna," ucap Zahraza. "Insya Allah," jawab Cut Mala lirih. 329 *** Hari yang dinanti oleh mahasiswa Asia Tenggara tiba. Seminar sehari membahas sejarah ulama perempuan di Asia Tenggara digelar juga. Peserta membludak. Di antara daya tariknya, selain nara sumbernya adalah tiga profesor dari universitas terkenal di dunia, juga lantaran dimeriahkan oleh Group Nasyid terkemuka dari Malaysia. Auditorium Shalah Kamil Al Azhar University penuh sesak. Peserta yang hadir di luar prediksi panitia. Karena sudah mendekati ujian panitia mentargetkan enam puluh persen kursi ruangan Shalah Kamil terisi sudah bagus. Beberapa mahasiswa yang tidak bisa masuk ruangan sempat protes. Tapi panitia bisa menenangkan keadaan. Seminar itu berjalan sangat hidup. Anna Althafunnisa jadi bintang yang bersinar cemerlang. Bahasa Inggrisnya yang khas Wales serta pengetahuannya yang luas, ditambah guyonan- guyonan segarnya benar-benar menghidupkan suasana. Hadirin selalu berdecak kagum dan tersihir oleh kepiawaian mahasiswi dari Indonesia yang selama ini tidak banyak dikenal itu. "Uedan, moderatornya siapa itu Cak? Cuantik, pinter dan bahasa Inggrisnya fasih buetul! Anake sopo yo kae?"64 Seorang mahasiswa dari Surabaya berkomentar pada temannya. Sejak saat itu Anna menjadi buah bibir di kalangan mahasiswa Asia Tenggara. Cut Mala yang menjadi staf redaksi buletin Citra, bersiap menulis profil orang yang dikaguminya itu. Cut Mala, tiba-tiba merasakan bahwa prestasinya selama ini tak ada artinya apa-apa dibanding dengan yang telah diraih Anna 64 Anaknya siapa ya dia itu? 330 Althafunnisa. Ia merasa harus banyak belajar pada perempuan yang begitu sabar menjelaskan kaidah-kaidah fikih padanya. Di pojok auditorium itu seorang pemuda memandangi Anna dengan hati harap-harap cemas. Ia menaruh harapan besar bisa menyunting moderator yang sangat cemerlang itu. Namun kejadian di hotel membuatnya sangat cemas bisa menggagalkan harapannya. Pemuda itu adalah Furqan yang telah melamar Anna lewat Ustadz Mujab. Furqan sama sekali tidak mengira kalau moderator pada hari itu adalah Anna. Hari itu ia benar-benar tersihir oleh pesona gadis yang telah dipinangnya, tapi belum juga memberi jawaban iya atau tidak. Furqan merasa jika ia gagal meminang sang bintang itu, ia benar-benar menderita kerugian yang tiada terkira besarnya. Sementara di sisi lain, seorang pemuda agak kurus memperhatikan pesona Anna dengan mata berkaca -kaca. Dalam dada pemuda itu membuncah perasaan cemburu, kaget, bahagia juga sedih. Cemburu karena ia pernah mencoba untuk melamar gadis yang sedang menjadi pusat perhatian. Bahagia karena pada akhirnya ia bisa mengetahui wajah gadis yang pernah ia lamar itu dengan jelas. Bahkan menyaksikan sendiri kepiawaian dan kecerdasan gadis itu. Memang bukan sembarang gadis. Dan kaget karena gadis itu adalah gadis yang pernah ia tolong bersama kawannya untuk ikut taksinya saat pulang belanja dari Pasar Sayyeda Zaenab. Ia pernah berbincang-bincang dan pernah berada dalam jarak yang sangat dekat dengan gadis itu. Ia sangat menyesal bahwa ia tidak berterus terang mem - berikan nama aslinya pada gadis itu. 331 Pemuda itu adalah Khairul Azzam yang begitu mendengar ada seminar dengan moderator Anna Althafunnisa, ia langsung datang untuk menghilangkan penasarannya. Dalam hati pemuda itu berkata, "Alangkah bahagianya Furqan, jika ia benar-benar bisa menyunting Anna. Semoga kebaikan selalu menyertai kalian." Pemuda itu mengusap matanya yang basah. Hanya basah.Tak sampai ada airmata yang tumpah. Anna menunaikan tugasnya dengan baik. Ia tampil biasa saja. Tidak ada yang ia buat-buat. Mengalir alamiah. Selesai seminar pikirannya cuma satu: besok terbang ke Malaysia bersama WanAina untuk melakukan penelitian tesisnya. Ia sama sekali tidak sadar kalau ia telah menyihir banyak orang dan telang menjadi seorang bintang. Bintang di kalangan mahasiswa Asia Tenggara di Mesir. Bersambung.... Sabar plen, kalau sudah ketemu lanjutannya, akan segera aku pajang di EBOOK CENTER - AQUASIMSITE - http://jowo.jw.lt